***
Harusnya aku curiga, saat sepanjang tahun ini aku terus merasa bahagia. Tuhan tidak akan sebaik itu, memberiku kebahagiaan selama satu tahun penuh dengan cuma-cuma. Sekarang, untuk bayaran atas semua kebahagiaan yang aku rasakan selama beberapa bulan terakhir ini, Ia harus melukainya lagi— Lisa menangis dengan rasa marah yang tidak bisa ditahannya. Lagi-lagi seseorang ingin meninggalkannya. Lisa tidak bisa mengatasinya lagi. Apapun alasan pria itu, Jiyong tidak bisa mengurangi rasa sesak yang telah ia berikan pada Lisa.
Jiyong meraih pisau yang Lisa lempar. Tidak berencana untuk memakainya, bagaimana ia bisa melukai dirinya sendiri setelah mendengar semua ucapan Lisa? Kalau gadis itu akan bilang pada orang-orang dia yang melukai Jiyong? Ia meletakkan pisau itu di atas meja makan, lalu menghampiri Lisa yang menangis di depannya.
"Maaf, aku tidak akan melakukannya, maaf," kata pria itu, akan memeluk Lisa tapi gadis itu menolaknya. Lisa mendorong Jiyong, sekuat Jiyong berusaha menenangkannya. Sekuat Jiyong berusaha memeluknya.
"Aku tidak akan melakukannya, aku tidak akan meninggalkanmu," bujuk Jiyong. Tapi Lisa tetap tidak mau mengalah. Gadis itu meninggalkan Jiyong sekarang. Melangkah ke arah meja riasnya, dengan kasar gadis itu mengambil handphone serta dompet lamanya di sana. Ia meletakan apa yang ada di sakunya ke atas meja. Melepaskan juga anting-anting juga cincin yang sudah satu minggu ini dipakainya. "Lisa, dengar dulu- kemana kau akan pergi?" tahan Jiyong, setelah dilihatnya Lisa melangkah ke arahnya. Ke arah pintu keluar.
"Aku harus kembali," ketus gadis itu. Menepis tangan Jiyong yang menahannya miliknya.
"Bagaimana kau akan-"
"Ditabrak mobil atau truk, apapun, aku mau kembali," potong gadis itu, terlihat begitu serius dengan ucapannya.
Jiyong menariknya agar ia tidak pergi, menahan gadis itu untuk memakai slippernya. Menahannya, agar ia tidak bisa meraih pintunya. Menghalangi Lisa untuk keluar rumah.
"Lepaskan aku! Apa hakmu menahanku?!" marah Lisa, menarik-narik tangannya yang sekarang digenggam rapat, diremas kuat-kuat agar ia tidak melarikan diri.
"Hentikan! Aku tidak akan melakukannya! Jadi berhenti! Aku tidak akan mati! Hentikan sekarang!" Jiyong ikut marah, kesal karena gadis keras kepala itu terus bertingkah meski ia sudah berhenti.
Jiyong sudah lama menghentikan niatannya. Ia hanya belum sempat membuang briketnya ketika Lisa tiba-tiba menemukannya. Ia tengah memikirkan caranya mengatasi masalah itu ketika Lisa datang. Ia tidak lagi punya keinginan itu ketika Lisa ada di sana. Tapi Jiyong juga tidak bisa menyalahkan respon Lisa sekarang, gadis itu pasti terkejut, gadis itu pasti khawatir. Pria itu hanya tidak bisa bersabar untuk mengatasi respon Lisa sekarang.
Ia yang tidak bisa menahan emosinya sekarang melempar tangan gadis yang ia genggam itu. Gerakannya yang tiba-tiba, gerakan kuat itu kemudian mendorong Lisa. Tidak sengaja ia buat Lisa jatuh tersungkur di lantai dapurnya. Lengan gadis itu membentur rak sepatu kosong di sebelahnya.
"Aku sudah punya banyak masalah, kau masih harus melakukan ini juga?" ketus Jiyong, tidak lagi bisa menyembunyikan emosinya. "Kau asistenku, kau harusnya membantuku menyelesaikan masalah ini! Kau dibayar untuk membantuku! Apa-apaan semua daging itu? Kau bisa menghabiskannya?! Kau akan pergi menabrakan dirimu di jalanan? Sekarang?! Kau yakin bisa kembali kalau melakukannya? Bagaimana kalau kau hanya terluka atau mati?! Kau ingin aku mengurusmu juga? Kau sama sekali tidak membantu! Berhenti saja disini, kau dipecat," marah pria itu, yang selanjutnya menjawab telepon managernya.
Ia juga memarahi managernya karena terus menelepon, membentak pria itu, mengatakan kalau ia akan segera menemuinya. Lantas bergegas pergi dari sana. Meninggalkan Lisa duduk sendirian di rumahnya. Meninggalkan gadis yang terluka itu seorang diri.
Gadis itu menangis. Seorang diri di rumahnya, seperti yang biasa ia lakukan. Lama ia menangis, hampir dua jam ia duduk di lantai dapurnya. Terus menangis hingga dirasakannya matanya sakit. Ia lelah sekarang, tapi tinggal di sana pun menyesakan. Akhirnya, tanpa membawa apapun selain yang sudah disimpannya dalam saku— handphone serta dompet lamanya— gadis itu pergi meninggalkan rumah.
Ia melangkah di lorong, berdiri di dalam lift, kemudian berjalan di trotoar dengan kepalanya yang tertunduk. Ia sudah familiar dengan jalan-jalan di sana setelah satu tahun tinggal, tapi memilih untuk pergi keluar dari pekarangan apartemen. Gadis itu sekarang berdiri di persimpangan. Melamun di sana, membayangkan bagaimana jadinya kalau ia melempar dirinya sendiri ke jalanan. Apa yang akan terjadi, kalau sebuah mobil menghantam lagi tubuhnya. Akan kah ia kembali? Atau hanya mati, Lisa ingin tahu tapi terlalu takut untuk mencobanya.
Dipejamkan matanya sekarang. Lalu ia langkahkan kakinya. Melangkah kemanapun kakinya mau pergi, membayangkan dirinya ada di tahun 2051. Kemana kakinya akan melangkah di tahun itu? Tempat apa yang selalu di datanginya saat sedih? Sambil membayangkan jalan-jalan yang biasa ia lalui, sambil membayangkan dirinya sudah kembali ke waktu dimana ia seharusnya berada, gadis itu akhirnya tiba di Sungai Han.
Ia berdiri di tepian sungainya. Akhirnya kelelahan dan duduk di atas sebuah bangku taman. Di depannya ada sebuah jembatan, yang kalau malam, lampu-lampunya akan menyala, sangat cantik. Ia menghela nafasnya di sana. Ini tempat yang biasa ia datangi dengan Kim Eden. Ciuman pertama mereka pun dilakukan di sana. Ia menerima cinta pria itu pun di sana. Ia biasa datang untuk mengingat Eden. Mengingat bagian paling menyenangkan dalam hidupnya. Tapi kali ini, justru Jiyong lah yang muncul di kepalanya.
Telur goreng yang pria itu buatkan. Mie instan yang pria itu bawakan untuknya. Usapan tangannya. Wajah pria itu ketika terlelap, Lisa mengingat segalanya di sana. Tempat ia mengingat semua hal baik dalam hidupnya, malam ini dipenuhi oleh Kwon Jiyong.
Lama Lisa duduk di sana. Hanya duduk, sembari melamun seperti yang pernah ia lakukan di depan gedung YG. Bahkan setelah matahari terbit, ia tetap disana. Ia terus duduk, tanpa tahu kalau sekarang Kwon Jiyong sedang mencarinya. Pria itu meneleponnya, datang ke rumahnya, tapi tidak ia temukan Lisa dimana pun.
Sekarang kekhawatiran balas menyerang Jiyong. Bagaimana kalau gadis itu ternyata sudah kembali? Bagaimana kalau ia benar-benar menabrakan dirinya ke mobil? Bagaimana kalau Lisa sakit atau terluka di suatu tempat? Jiyong memikirkan banyak skenario buruk dalam kepalanya.
Namun sayang. Sampai managernya datang, Jiyong tidak bisa menemukan Lisa. Kemarin, sebelum mereka bertemu Lisa menyelesaikan masalahnya. Tidak benar-benar selesai, tapi gadis itu menelepon polisi dan mengatakan kalau Jiyong akan datang ke kantor polisi untuk pemeriksaan. Awalnya pihak agensi tidak setuju— lebih baik diam daripada memperkeruh keadaan. Tapi Lisa mengatakan kalau mereka harus bergerak lebih dulu daripada polisi.
"Aku tahu kalian khawatir, tapi percayalah, aku bersamanya hampir dua puluh empat jam sehari, aku bisa jamin dia bersih," yakin gadis itu, sebelum ia berpamitan untuk pergi ke Pocheon, mencari Jiyong.
"Tolong cari Lisa," pinta Jiyong, pada managernya sebelum ia turun dari mobil di depan kantor polisi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ashes
FanfictionI can't hold you like the ashes You're spreading out Searching for your scent to call you back I can't see you through the flash My eyes are blurred Searching for your flashback in my mind 🎶 Ashes - Zior Park ft. Ai Tomioka