***
"Aku juga hampir mematahkan lehernya saat dia bilang begitu! Bagaimana bisa dia bilang begitu tentang anaknya sendiri?!" pengawal yang tadi mengikuti Lisa ikut berkomentar sekarang. Di dalam mobil, mereka bertiga duduk. Lisa dan Jiyong duduk di kursi belakang, sedang sang pengawal lah yang mengemudikan mobil baru itu.
"Iya kan?! Bajingan itu jahat sekali!" kata Lisa, amarahnya semakin menggebu-gebu saat seseorang mendukung ceritanya. Membuat Jiyong harus mengatasi dua emosi sekaligus. "Dia sudah membunuh istriku, dia juga harus hidup baik-baik saja? Bagaimana ada manusia yang bisa bilang begitu tentang anaknya sendiri?! Bahkan monyet saja tidak menyakiti anaknya sendiri!" kesal Lisa, di sepanjang perjalanannya.
Lisa terus marah di sepanjang perjalanan pulang. Jiyong mendengarkan ceritanya, menghiburnya dengan beberapa usapan lembut, sesekali juga memeluknya. Mencoba membantu Lisa mengurangi sedikit saja emosinya. Jadwal mereka belum selesai hari ini. Mereka harus bekerja di tempat lain lagi sekarang.
Setelah pertemuan itu, Kim Junghyun terus menemui Lisa. Entah darimana ia mendapatkan nomor telepon Lisa, tapi pria itu selalu menghubunginya setidaknya tiga hari sekali. Ia menelepon untuk tahu apa Lisa punya waktu senggang. Ia ingin melihat Lisa sekali lagi. Mengatakan kalau Lisa mengingatkannya pada Lalice, istrinya.
Kim Junghyun gila, tapi pria itu tidak pernah memaksa Lisa untuk menemuinya. Di telepon, atau pesan kirimannya pun terdengar sopan. Selamat siang, ini aku Kim Junghyun. Apa kau senggang hari ini? Aku sangat merindukan istriku hari ini, apa kita bisa bertemu?— meski sedikit mengganggu, begitu pesan yang ia kirim. Saat menelepon, pria itu juga mengatakan hal yang sama.
Beruntung, Lisa selalu punya kesibukan setiap kali Kim Junghyun menghubunginya. Meski di hari Kamis sekali pun, di hari liburnya, Lisa selalu punya alasan untuk menolak pertemuan itu. Ia harus punya alasan untuk menolaknya. Pertama karena ia tidak mau mendengar ocehan pria gila itu, kedua karena ia takut pria gila itu akan melukainya.
Hampir tiga bulan lamanya, Lisa terus menolak ajakan kakeknya yang jahat itu. Sampai akhirnya pria itu tidak bisa menahannya lagi. Di bandara, sepulangnya Lisa dan Jiyong dari Paris, Kim Junghyun ada di sana. Berdiri diantara para reporter, para penggemar, mengekori Lisa dan kekasihnya seperti yang lainnya. Ia ada di sana hanya untuk melihat Lisa. Hanya untuk membayangkan istrinya yang sudah meninggal, berjalan di depannya.
Sore ini Jiyong, asisten juga beberapa staff lainnya tiba setelah satu minggu menginap di Paris. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Jiyong ke Paris untuk acara fashion. Keluar dari pintu kedatangan, Jiyong berjalan di depan. Pria itu melangkah sembari melepaskan headphonenya. Sementara Lisa ada beberapa langkah di belakangnya, sibuk menelepon di tengah-tengah keramaian itu.
Jiyong bisa saja langsung masuk ke mobilnya. Tidak akan ada yang melarang pria itu masuk ke mobilnya, tapi ia memilih untuk menoleh ke belakang. Mengulurkan tangannya, memberi tanda agar Lisa segera menyusulnya. Lebih dulu mempersilahkan kekasihnya masuk, lalu menyusul tepat di belakangnya.
Lisa mengakhiri teleponnya begitu masuk. "Siapa itu?" tanya Jiyong, pada asistennya yang mulai menelepon sejak di keramaian tadi.
"Restoran cina di dekat rumahku," jawab Lisa, tenang lalu berbaring di kursi mobilnya, menjadikan paha Jiyong sebagai bantalnya.
"Restoran cina? Wah... Aku pikir kau bekerja tadi," kata Jiyong, mengusap rambut kekasihnya yang kelihatan lelah itu.
"Aku memang bekerja-"
"Apa? Kau mau aku jadi model iklan restoran cina?"
"Oppa mau?" potong Lisa, membuat Jiyong lantas memutar bola matanya. Memberi tatapan yang seakan sedang bilang— kau serius? Yang benar saja. Lisa terkekeh melihatnya, lalu ia katakan kalau memberi makan artisnya juga termasuk dalam pekerjaannya.
"Siapa yang bilang aku mau makan masakan cina sekarang?"
"Aku?" santai Lisa, kemudian mengatakan pada supir yang sore ini mengantar mereka untuk mampir lebih dulu ke restoran cina dekat rumahnya. Lisa sudah memesan makanan untuk dibawa pulang hari ini. Jadi setelah sampai di rumah, ia tidak perlu keluar lagi.
"Saat aku bilang pada ibuku kalau aku akan pulang besok, dia tahu aku membohonginya," cerita Jiyong, masih sembari mengusap-usap dahi kekasihnya.
"Ah? Jadi oppa akan pulang ke rumah hari ini?"
"Tidak, aku tetap ke rumahmu malam ini," santai Jiyong. "Ibuku bilang, daripada hanya menginap di rumahnya, cepat nikahi saja dia. Istrinya Yongbae sekarang hamil, kakakmu juga hamil, bagaimana kalau dia hamil juga karenamu? Nikahi dia, jangan sampai hamil sebelum menikah," susulnya, mengikuti cara ibunya bicara.
"Wah... Bagaimana ini? Kalau begitu oppa tidak boleh menginap-"
"Kenapa aku tidak boleh menginap? Kau tidak mau menikah denganku? Kenapa? Kau mau menunggu Eden saja?" potong Jiyong, menunjukan wajah kesalnya yang ia buat-buat.
"Aku pikir-pikir dulu, siapa ya yang lebih menguntungkan?" santai Lisa, balas menggoda Jiyong.
"Apa yang mau kau pikirkan? Ibunya tidak merestuimu," balas Jiyong, balik menyerang dan sekarang Lisa kalah. Gadis itu hanya bisa menunjukkan wajah terkejutnya, tidak lagi bisa membalas ejekan kekasihnya.
Tiba di rumah, Lisa meletakan makanannya di meja dapur. Sementara Jiyong membawa koper mereka masuk. Seolah sudah biasa melakukannya, Lisa menata makanan di meja makan sekarang. Sedang Jiyong membuka salah satu koper, lalu memasukan semua pakaian kotor di sana ke dalam mesin cuci di kamar mandi. Pria itu juga mengganti pakaiannya, kemudian naik ke ranjang sambil mengeluh kelelahan.
"Tidak mau makan sekarang?" tanya Lisa, sudah lebih dulu duduk dan membuka makanannya.
"Aku nanti, aku makan di pesawat sebelum landing tadi," kata pria itu. "Bangunkan aku kalau sudah waktunya bekerja lagi, aku mau tidur," susulnya, langsung menarik selimut untuk mulai tidur.
Ia berdecak karena Jiyong tidak mau menemaninya makan. Tapi penolakan pria itu tidak pernah jadi masalah baginya. Hanya dengan melihat punggung pria itu di ranjang, di depannya, Lisa sudah menyukainya. Meski sama-sama makan sendirian, dimasa ini ia tidak lagi merasa kesepian. Meski Jiyong tidak ada di rumahnya, makan sendirian tidak terasa menyedihkan di sana.
Ia mensyukurinya, bisa datang ke sana. Bertemu Kwon Jiyong di sana. Ia bersyukur karena kedatangannya di terima. Meski beberapa hal membuatnya kesal. Meski ada beberapa penguntit yang mengganggunya. Meski ada penggemar kekasihnya yang membencinya. Meski pekerjaannya melelahkan, Lisa senang dirinya bisa berada di sana.
Tapi setelahnya, setelah ia tersenyum menikmati semua kemewahannya di sana. Pelan-pelan senyumnya pudar. Bagaimana kalau aku tiba-tiba kembali ke garis waktuku sendiri? Bagaimana kalau tanpa aba-aba aku ditarik pergi dari sini? Bagaimana kalau saat aku lahir nanti, aku juga harus pergi dari sini? Bagaimana kalau waktuku untuk tetap di sini tidak lama lagi?
Kekhawatiran sekarang melenyapkan nafsu makannya. Tidak lagi bisa ia telan makanannya, jadi setelah menghela nafasnya gadis itu menutup lagi kotak-kotak makanannya. Dilangkahkannya kakinya ke ranjang, lalu dirinya bersimpuh di sebelah ranjangnya. Ditariknya ujung baju Jiyong, meminta pria itu untuk berbalik untuk melihatnya.
Jiyong berbalik, bergumam untuk bertanya apa yang Lisa inginkan darinya. "Oppa mau menikah?" tanya gadis itu, dengan suara lembutnya. Dengan tatap sendunya. Hal yang seharusnya membahagiakan, Lisa bicarakan dengan mata sedihnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ashes
FanfictionI can't hold you like the ashes You're spreading out Searching for your scent to call you back I can't see you through the flash My eyes are blurred Searching for your flashback in my mind 🎶 Ashes - Zior Park ft. Ai Tomioka