19

361 75 8
                                    

***

Mereka tidak bisa makan bersama Nyonya Kwon. Sang ibu tidak ada di rumah sore ini, ia pergi bersama suaminya ke rumah kerabat mereka. Jiyong mengetahuinya, ia bertukar pesan dengan ibunya sedari tadi. Tapi Lisa sudah terlanjur menyetir sampai ke rumah, jadi mereka tetap masuk.

"Ah? Bibi tidak ada?" tanya Lisa, setelah Jiyong memberitahunya kalau ibunya belum pulang.

"Harusnya kau bilang lebih awal kalau mau makan di rumah," kata Jiyong sekarang menunjuk meja makannya. Menyuruh Lisa untuk duduk di sana. "Duduk, kau akan makan apapun yang disiapkan untukmu kan?" tanyanya sekali lagi, memastikan Lisa tidak akan berubah pikiran.

"Oppa akan menyiapkan sesuatu untukku?"

"Kau akan makan apapun kan? Kau punya alergi?" tanya Jiyong, memaksa Lisa untuk menjawab pertanyaannya.

Tapi alih-alih menjawab, gadis yang sudah terlanjur duduk itu tiba-tiba menjerit, tidak seberapa keras tapi ia langsung mengangkat kakinya. Membuat lututnya membentur meja makan dari kayu itu. Jiyong mengerutkan dahinya sekarang. Pria itu membungkuk, melihat ke bawah meja lalu menemukan Iye tengah menggosok-gosokan tubuhnya ke kaki kursi tempat Lisa duduk. Ekornya yang panjang hampir mengenai kaki Lisa, karenanya gadis itu pelan-pelan bergerak mundur.

"Kau takut kucing?" tanya Jiyong. "Bukan alergi tapi takut?" susulnya dan Lisa mengangguk.

"Tolong bawa dia pergi," pinta Lisa kemudian.

"Jangan takut, dia tidak akan menyakitimu- akh! Ya!" Jiyong merangkak di bawah meja, akan meraih Iye tapi kucing itu justru mencakarnya. Bukan cakaran berbahaya, Iye hanya ingin bermain, di bawah meja. Di dekat seorang yang tidak berani bersentuhan dengannya. Saking takutnya, Lisa menahan nafasnya sekarang. Berfikir kalau ia mematung, kucing itu akan pergi meninggalkannya.

Jiyong berhasil mengambil Iye. Ia gendong kucingnya itu, sesekali mengusap perutnya. Tapi Zoa justru datang. Seolah tahu kalau Lisa akan takut padanya, Zoa menggoda gadis itu dengan naik ke pangkuannya. Selama Lisa tinggal di sana, kucing-kucing itu tidak pernah mendekatinya. Mereka sesekali berpapasan di tangga, tapi Nyonya Kwon selalu datang menyelamatkannya. Tanpa bertanya apapun, Nyonya Kwon biasanya memanggil kucing-kucing itu, kemudian memasukannya ke dalam kamar.

Sekarang Lisa menahan jeritannya. Tiba-tiba kaku di atas kursinya, mengangkat tangannya yang ia kepalkan kuat-kuat. Raut ketakutan benar-benar tergambar jelas di wajahnya. Beruntung Zoa hanya menjadikannya pijakan, sebelum kemudian ia melompat lagi ke meja lalu menghampiri ayahnya, memaksa Jiyong untuk menggendongnya juga.

"Tenang... Tidak perlu takut, aku akan membawa mereka ke kamar, tenang di sana, tarik nafasmu selama aku pergi," kata Jiyong, sebelum ia tinggalkan Lisa yang ketakutan. Jiyong tidak ingin melewatkan tontonan ini barang sedetik pun.

Saat Jiyong kembali dari kamarnya, Lisa sudah mengganti pakaiannya. Gadis itu baru saja keluar dari kamarnya, dengan pakaian yang lainnya. Jiyong memperhatikannya, lantas mereka turun bersama ke dapur. "Sebenarnya kau itu alergi atau hanya takut?" tanya Jiyong, dalam langkahnya menuruni tangga.

"Takut," jawab Lisa, terdengar santai, seolah ia tidak malu karena merasa takut pada hewan manis tadi. "Aku tidak pernah melihat kucing sebelumnya," susulnya. "Kucing, anjing, kelinci, semua hewan, butuh banyak uang kalau mau memelihara mereka. Memberi makan hewan liar juga dilarang. Tidak boleh ada hewan liar di jalanan, apalagi di sekitaran tempat makan. Kalau ketahuan, orang yang memberi makan hewan liar akan di denda. Lalu restoran atau toko yang ada hewan liarnya, akan ditutup sementara. Kalau mau memelihara hewan, kau perlu mengisi belasan formulir, membayar belasan vaksin, tes kesehatan dan lainnya, di tahunku begitu," ceritanya.

"Kalau kau memeliharanya di rumah tapi tidak punya formulir atau lupa vaksinnya?"

"Kurang satu saja syaratnya, hewan peliharaanmu akan dianggap hewan liar dan di ambil petugas penanganan hama," kata Lisa. "Ibuku bilang punya peliharaan lebih sulit daripada melahirkan seorang bayi, maksudnya, syarat-syarat yang harus dipenuhinya. Sakitnya tidak dihitung," ceritanya. "Kalau aku merengek ingin punya peliharaan, dia akan bilang— hamil saja sana, buat sendiri peliharaanmu— benar-benar ibu yang baik, augh!" katanya, kali ini menghina ibunya sendiri. "Jadi, oppa mau makan apa?" tanyanya kemudian, berencana untuk menebus kesalahannya. Mereka bisa langsung makan kalau Lisa memilih salah satu restoran di dekat sana, bukan justru bersikeras untuk pulang.

Sekali lagi, Jiyong menyuruhnya untuk duduk. Sembari mendorong bahu gadis itu untuk duduk, ia kembali memastikannya, kalau Lisa akan makan apapun yang ia siapkan. Gadis itu mengangguk, mengaku kalau ia bisa makan apapun— meski hangus.

Jiyong menyiapkan makan malam mereka hari ini. Tidak hangus, tapi tidak juga luar biasa. Di depan Lisa, ia taruh sebuah mangkuk berisi nasi, telur mata sapi dan sesendok caviar beluga. Pria itu juga memberi sedikit minyak wijen untuk menambah aromanya. Makan malam sederhana, cepat, tetap sehat dan yang pasti mahal. Harga sekaleng kecil caviar itu jutaan.

"Whoa! Kelihatannya enak... Cantik," kata Lisa, mengomentari tampilan manis makan malamnya.

Jiyong menaruh mangkuk yang sama di sebelah Lisa, lantas ia duduk di sana. Siap untuk makan juga. "Oppa bisa memasak juga? Sedikit sulit dipercaya," kata gadis itu, menggoda Jiyong dengan menyenggol lengannya.

"Hanya menggoreng telur, memang siapa yang tidak bisa menggoreng telur?" balas Jiyong, yang sambil menyembunyikan senyumnya mulai mengacak nasinya, mulai memakan makanan buatannya sendiri.

"Apa karena orang lain yang membuatnya? Rasanya luar biasa," komentar Lisa, setelah merasakan suapan pertamanya. "Aku suka makanan yang dibuatkan orang lain untukku," susulnya dengan mulut yang masih penuh.

"Kenapa?"

"Karena aku lebih sering makan makanan sisa daripada makanan yang dibuatkan khusus untukku," santai Lisa. "Ibuku bekerja di restoran, kalau kokinya sudah membuat banyak makanan, tapi tidak jadi dijual, ibuku selalu membawanya pulang, untukku. Setelah dia menikah dengan kekasihnya, kalau mereka membeli banyak makanan dan tidak habis, ibuku juga memberikannya padaku," cerita gadis itu.

Jiyong menoleh ke arah gadis itu sekarang. Tapi Lisa tersenyum, dengan bibir yang bergetar. Untuk menyembunyikan perasaannya, gadis itu mengambil sesendok nasi lagi, memasukan semuanya ke mulut.

"Dia bermaksud baik," kata Lisa. "Dia ingin aku makan makanan yang enak, yang mahal, yang tidak akan pernah bisa kami beli," susulnya. "Dia hanya malas berbohong, dia hanya malas membuat kesan yang bagus. Dia hanya... Apa adanya," cerita gadis itu.

"Kalau begitu, makan yang banyak," balas Jiyong. Menepuk-nepuk puncak kepala Lisa dengan tangannya. "Tidak perlu menangis, kau hanya perlu bilang padaku kalau ingin makan telur lagi, aku akan membuatkannya. Aku juga bisa memasak mie, atau menghangatkan masakan ibuku. Sayangnya ibuku jarang memasak," katanya, tersenyum lantas menularkan senyum itu pada Lisa.

Gadis itu mengangguk. Dengan ulasan senyumnya, Lisa mengatakan kalau ia akan sering-sering meminta Jiyong memasak untuknya. Ia bilang dirinya akan terus merepotkan Jiyong karena selalu lapar dan pria itu menertawakannya. Jiyong mengangguk dan bilang ia tidak keberatan memasak, kapan pun Lisa lapar.

***

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang