51

259 57 7
                                    

***

Lisa hamil. Meski tidak ada perubahan apapun pada bentuk perutnya, pada tubuhnya. Dalam perjalanan pulang dari rumah sakit, Lisa tidak mengatakan apapun. Jiyong pun sama, keduanya diam sebab di kursi belakang, ayah ibu pria itu terus bicara. Tuan dan Nyonya Kwon sibuk menelepon sekarang. Menyebarkan kabar bahagia itu pada keluarga mereka. Menelepon Dami, menelepon Minjoon, memberitahu kerabat-kerabat mereka, memamerkan calon cucu kedua mereka.

"Memang yang kita lakukan ini pantas dipuji?" bisik Lisa, berharap dua orang di kursi belakang tidak mendengarnya. Berharap kedua orang paruh baya itu tidak peduli dengan ucapannya.

"Tidak tahu, aku kira kita akan dimarahi," jawab Jiyong, sama herannya. "Bisa-bisa mereka akan menelepon reporter juga sekarang," susul Jiyong, yang kakinya kemudian Lisa pukul, ditepuk tidak seberapa keras.

"Jangan memberitahu siapa-siapa, aku mau merahasiakannya," kata Lisa, meski keinginannya itu tidak mungkin terjadi— sekarang saja, setengah keluarga besar Jiyong sudah tahu tentang berita kehamilan itu. Lalu di salon nanti, Jiyong tidak akan bisa menahan dirinya untuk pamer pada semua orang.

"Heish! Kenapa itu jadi masalah? Mereka hanya perlu mendaftarkan pernikahannya. Minggu depan mereka akan mendaftarkannya," kata Tuan Kwon, tentu saja bicara pada seseorang yang ia telepon. "Kalau pesta pernikahannya, mereka bisa melakukan itu kapan pun mereka mau, tidak ada masalah," susulnya, membuat Lisa juga Jiyong bertukar lirikan bingung sekarang.

"Mendengarnya membuatku lapar," komentar Lisa, segera berpaling sebab ia tahu kalau sekarang Jiyong sama bingungnya seperti dirinya.

Mereka sampai di rumah untuk mengantar orangtua Jiyong pulang. Rencananya mereka berdua akan langsung pergi ke salon sekarang, Jiyong punya jadwal pemotretan siang ini. Tapi begitu sampai, kedua orangtua Jiyong meminta keduanya untuk masuk lebih dulu. Mengatakan kalau ada beberapa hal yang perlu mereka bicarakan, mumpung Jiyong belum terlambat terlalu lama.

Keempatnya kembali ke meja makan sekarang. Tuan Kwon duduk di depan putranya, sementara Lisa ada di sebelah Jiyong. Sepertinya omelan yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Nyonya Kwon berada di dapur sekarang. Tidak mengatakan apa yang akan ia lakukan di sana.

Tentu saja awalnya Tuan Kwon hanya bertanya bagaimana rencana mereka kedepannya. Bertanya apakah Jiyong sudah punya rencana untuk mengatasi reporter, menanyakan rencana pernikahannya juga. Lisa tidak punya rencana apapun. Ia tidak memikirkan rencana apapun selama tiga pekan terakhir ini. Yang ia pikirkan hanya ketakutan-ketakutannya sendiri.

Pembicaraannya berjalan cukup lama, meski tidak ada banyak hal yang bisa langsung mereka putuskan saat itu juga. Jiyong perlu waktu untuk memikirkannya. Lisa juga perlu waktu untuk menyiapkan dirinya, mentalnya.

"Ternyata kita tetap dimarahi," pelan Lisa, sekarang melangkah ke tempat parkir bersama Jiyong di sebelahnya.

"Aku kira mereka akan sangat senang sampai lupa memarahiku," susulnya.

"Aku juga dimarahi," senyum Lisa, yang tadi dimarahi karena melarikan diri selama hampir satu bulan— tiga minggu, termasuk saat di New York. Mereka bilang sesuatu yang buruk bisa saja terjadi selama Lisa mengurung diri, Lisa dilarang melakukannya lagi sekarang. "Tapi itu artinya mereka menerimaku kan?" susulnya, kali ini sembari menunjukan tas bekal yang dibawakan Nyonya Kwon untuknya. "Apa Minjoon oppa juga pernah dimarahi orangtuamu?" tanyanya, sekarang penasaran.

"Sepertinya tidak? Apa dia pernah melakukan kesalahan?" balas Jiyong, sekarang membuka kunci mobilnya. Tidak akan ia biarkan Lisa menyetir sekarang. "Tapi apa kau tidak keberatan tinggal di rumahku? Ibuku mungkin akan sering memarahimu." tanya Jiyong kemudian.

Mereka masuk ke mobil sekarang, jadi obrolannya sedikit tertunda. Begitu duduk, Lisa bilang ia tidak keberatan tinggal dimana pun. Masalahnya justru ada pada pekerjaannya— Lisa tidak ingin berhenti bekerja. Tapi kalau terus bekerja dengan Jiyong, pria itu tidak akan mengizinkannya melakukan apapun. Ia hanya akan digaji tanpa melakukan pekerjaan apapun.

"Kita perlu meeting untuk membicarakan pekerjaanku, kapan oppa bisa meluangkan waktu?" tanya Lisa, dalam perjalanannya ke salon.

"Sekarang?"

"Tidak, aku perlu pertemuan formal. Kau tidak akan mendengarkanku kalau kita membicarakannya sambil lalu," kata gadis itu.

"Nanti malam? Sebelum tidur?"

"Kalau oppa tidak mau membicarakannya, aku akan mengambil keputusan sendiri," jawab Lisa. "Nanti, apapun keputusanku, jangan protes," susulnya, memberi peringatan.

Tiba di salon, Jiyong menata rambutnya. Pria itu juga perlu merias wajahnya. Sementara sambil menunggu, Lisa membuka bekalnya. Akhir-akhir ini gadis itu terus lapar. Ia makan dua kali lebih banyak dari biasanya, tapi berat tubuhnya justru turun. Entah kemana perginya semua makanan itu, mungkin menguap bersama stress yang dialaminya.

Di sana, tidak seorang pun berani bertanya, kemana saja selama dua pekan terakhir. Tidak seorang pun berani penasaran, apa saja yang terjadi di New York, apa alasan ia menjauhi kekasihnya, lalu bagaimana cara mereka berbaikan. Lisa duduk beberapa langkah di belakang Jiyong. Ia duduk di kursi tunggu, memangku sekotak makanan yang Nyonya Kwon bawakan untuknya. Menghabiskan makanannya tanpa diganggu siapapun.

"Sudah baikan?" Taehyun yang bertanya, berbisik sembari ia menata rambut Jiyong.

"Hm... Sudah," jawab Jiyong sama pelannya. "Tapi suasana hatinya masih naik-turun, aku masih perlu hati-hati," susulnya.

"Kenapa? PMS?"

"Berjanji lah noona tidak akan memberitahu siapa pun, jangan dulu, kebalikannya," jawab Jiyong sekali lagi. Diam-diam tersenyum, tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Sesekali ia melirik Lisa, memastikan gadis itu tidak mendengar mereka. Memastikan gadis itu tetap melamun menelan makanannya.

Taehyun menoleh ke belakang sekarang. Melihat pada Lisa dengan tatap tidak percaya. Lisa balas menatapnya, tapi buru-buru wanita itu menoleh. Kembali melihat pada Jiyong lewat pantulan cermin.

"Sungguhan?"

"Hm," Jiyong menggumam untuk mengiyakannya. "Hanya orangtuaku yang sudah tahu, ini rahasia," kata pria itu, pada semua orang yang bicara padanya. Pada semua orang yang bertanya padanya. Sama seperti kedua orangtuanya yang tidak bisa menahan kabar baik itu sendirian, Jiyong juga menyebarkan berita bahagianya. Pada rekan-rekannya, pada teman-teman dekatnya.

Sementara Jiyong yang membagi berita bahagianya itu dengan embel-embel "ini rahasia, jangan beritahu siapapun," diwaktu berbeda, ketika Jiyong tidak ada di sisinya, Lisa harus berurusan dengan pesan, telepon dan ucapan selamat. Pada akhirnya Lisa tetap tahu, kalau Jiyong sudah menyebarkan beritanya. "Dia benar-benar tidak bisa menjaga mulutnya," gerutu Lisa, yang dapat belasan pesan berisi ucapan selamat dari rekan-rekan kerjanya.

***

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang