***
Apartemen studionya luas. Sangat luas hingga Lisa bisa membayangkan membuat tiga sampai empat ruangan di dalamnya. Ia hanya perlu membeli beberapa papan partisi, membuat dinding-dinding, lalu ia akan punya rumah dengan empat ruangan. Tapi tinggal di sebuah ruangan besar pun tidak buruk. Dari ranjangnya, ia bisa melihat ke semua sudut rumahnya.
Ia seharusnya mulai menempati rumah itu kemarin. Tapi karena jadwal padat Jiyong, baru malam ini ia tiba di rumahnya sendiri. Rumah yang disewakan untuknya. Ia masuk dengan sebuah koper berisi pakaiannya yang tidak seberapa. Menarik koper itu sampai ke ranjang, lantas duduk di sana.
Di dalam rumahnya sekarang, ada ranjang berukuran standar. Ranjang yang cukup besar untuk dipakai seorang diri, tapi terlalu sempit untuk berdua. Beberapa langkah di depan ranjang itu, sebuah sofa diletakan. Menghadap ke TV besar yang tidak Lisa tahu kapan datangnya.
Di sebelah kiri ranjangnya ada dinding sekaligus pintu kaca mengarah ke balkon, dengan tirai tebal untuk menghalangi seseorang mengintip, menghalangi juga sinar matahari masuk. Sedang di sebelah kanannya ada dapur sederhana dengan kompor dan microwave, tapi tidak ada perlatan makan apapun di sana. Lisa perlu membeli peralatan makan, juga peralatan memasak. Di antara ranjang dan dapurnya, ada sebuah meja makan kecil untuk empat orang. Saat ini meja itu kosong. Lalu di depan dapurnya, di sebelah kanan pintu masuk, kamar mandinya berada. Sebuah kamar mandi besar dengan bathtub di dalamnya.
Sekarang Lisa berjalan ke lemari pakaian di sebelah kamar mandi. Ia buka kopernya di sana, kemudian meletakkan beberapa pakaiannya ke dalam lemari. Pakaiannya hanya mengisi satu per sepuluh bagian lemari itu. Lemarinya yang terlalu besar atau pakaiannya yang terlalu sedikit, Lisa tidak memikirkannya. Karena masih ada banyak ruang di lemarinya, Lisa meletakan kopernya di sana. Baru setelahnya ia kembali ke ranjang dan berbaring di sana. Menghela nafasnya dalam-dalam.
"Sepinya," komentar gadis itu, yang kemudian memilih untuk menyalakan TV. Mengisi sepi di dalam rumah besarnya sekarang.
Lisa sempat khawatir, dirinya akan sangat kesepian— lagi— setelah tinggal sendirian di apartemen studio itu. Baru sebulan ia merasakan tinggal bersama orang lain, bersama keluarga lain, tapi gadis itu sudah melupakan rasanya tinggal sendirian. Padahal, ia selalu tinggal seorang diri sejak ibunya menikah.
Untungnya, kekhawatiran itu tidak pernah jadi kenyataan. Jiyong membuatnya luar biasa sibuk. Jadwal padat pria itu membuat Lisa hampir tidak pernah pulang. Sesekali ia pulang untuk mencuci pakaiannya dan tidur beberapa jam, tapi janji pria itu akan memberinya hari libur, hampir tidak pernah ditepati. Seolah tidak cukup dengan jadwalnya yang padat, Jiyong masih mengambil kesempatannya untuk berkunjung. Setiap kali datang, ia tidak mau pulang. Ia ajak Lisa berjalan-jalan di sekitaran gedung apartemennya. Sesekali mereka juga makan berdua di minimarket. Sekedar jalan-jalan, sekedar berbincang, Jiyong terus datang setiap kali ada kesempatan. Terus begitu selama hampir satu tahun lamanya.
"Bulan depan akan jadi bulan kedua belasmu tinggal di sini," kata Jiyong, di bangku taman dekat minimarket lingkungan rumah Lisa.
"Oh ya? Wah... Aku hampir satu tahun di sini," balas Lisa, berlaga tidak mengingatnya. "Harusnya Min Hyorin sudah hamil sekarang, mereka belum mengabarimu?" susulnya, ingin tahu. Masih seperti awal kedatangannya, hanya Jiyong satu-satunya temannya di sana. Teman sekaligus rekan kerjanya.
"Sepertinya aku terlalu banyak menyita waktumu, iya kan?" kata Jiyong, mengabaikan pertanyaan Lisa barusan. "Sudah hampir satu tahun kau disini, tapi kau masih belum tahu alasanmu dikirim ke sini, kau juga tidak tahu siapa ayahmu. Lalu bagaimana kau bisa kesini, dan bagaimana caranya untuk kembali. Karenaku kau tidak sempat mencari jawabannya," susulnya, sedang gadis di sebelahnya tetap duduk santai seolah ia memang berasal dari sana. Seolah ia tidak pernah dilempar dari tahun 2051.
"Ah... Alasan aku dikirim ke sini? Tentu saja aku harus mencarinya, kalau mau pulang," angguk Lisa, seakan ia tidak pernah memikirkan itu sebelumnya.
"Kau tidak ingin pulang?"
"Aku mau pulang," tenang Lisa. "Sekarang, aku mengantuk," susulnya, kemudian tersenyum. Ia bangkit dari duduknya, mengulurkan tangannya agar Jiyong juga segera berdiri.
Pria itu menolak. Jiyong menggelengkan kepalanya, balas menarik Lisa agar kembali duduk di sebelahnya. Pria itu belum mau pergi, malam belum terlalu larut sekarang.
"Baiklah, aku tidak akan membicarakannya kalau kau tidak mau, duduk lagi... Bicarakan yang lainnya," kata pria itu, memaksa untuk tetap di sana.
Lisa menurutinya. Ia kembali duduk, kembali berbincang di taman sepi itu. Hanya obrolan-obrolan ringan biasa, sampai Lisa akhirnya punya jawaban atas pertanyaan yang ia hindari tadi. Lisa tidak ingin kembali, ia mengakuinya sekarang.
"Sebenarnya ada banyak hal yang lebih baik di sana. Cuaca, udara, transportasi, internet, air, hampir semua fasilitas di sana lebih baik, lebih murah juga daripada di sini. Pekerjaan pun lebih nyaman di sana. Jam kerjaku jelas, aku bisa melakukan pekerjaan lain di hari liburku, aku juga bisa bersantai tanpa memikirkan apapun di sana," katanya, tiba-tiba mengembalikan lagi topik yang sebelumnya ia hindari. "Aku harus kembali, karena tempatku di sana. Ibuku juga pasti menungguku di sana. Dia mungkin panik karena aku pergi begitu saja. Tapi... Disini aku terlihat. Mungkin karena orang yang pertama aku kenal itu G Dragon? Semua mata melihat ke arahnya, jadi aku pun terlihat. Disini, orang-orang juga tidak bisa menemukan siapa aku yang sebenarnya. Tidak ada yang bisa mereka bicarakan tentang ibuku. Karenamu, orang-orang juga tidak berani bergunjing di sebelahku. Rasanya seperti... Aku diterima di sini. Karena itu aku tidak ingin pergi, tidak... Aku belum ingin pergi sekarang. Aku masih ingin merasakan perasaan ini, diterima," akunya.
"Seberapa jahat mereka merundungmu sampai kau merasa begitu?" heran Jiyong.
Sebab sekarang pun, orang-orang tidak menerima baik keberadaan Lisa di sana. Mereka hanya tidak mengganggunya. Mereka hanya tidak membencinya. Hanya formalitas normal yang orang-orang tunjukan di depan kenalan baru. Kalau Lisa sangat diterima di sana, kalau semua orang menyukainya, ia pasti akan punya banyak teman sekarang. Bukan hanya Jiyong.
"Tidak sejahat dalam drama," geleng Lisa. "Mana ada yang berani membakar tanganku dengan hairdryer? Aku pasti akan membalas mereka, dengan lebih kejam. Tapi... Di sana mereka tidak akan merasa bersalah kalau bilang— jangan bergaul dengannya, ibunya pelacur. Meski awalnya orang-orang bersikap baik padaku, setelah tahu bagaimana aku hidup, mereka meninggalkanku. Menemaniku hanya akan membuang waktu berharga mereka, tidak ada yang bisa mereka ambil dariku, aku tidak cukup menguntungkan untuk dijadikan teman. Kekasihku pun begitu," susulnya lantas mengeluarkan dompetnya, menunjukan selembar foto pada Jiyong. Foto yang tidak pernah ia singgung sebelumnya, seseorang yang tidak pernah ia bicarakan sebelumnya.
"Kekasihmu?" tanya Jiyong, setelah ia lihat foto itu. Ia ingat, ia pernah melihat foto itu sebelumnya.
"Aku rasa sudah bisa dibilang mantan kekasihku," tenang Lisa. "Dia pria pertama yang aku kencani, yang terakhir juga. Setelah aku menceritakan padanya bagaimana hidupku, dia tidak meninggalkanku. Aku menyukainya, tapi masalahnya, dia datang dari keluarga yang kaya raya. Dia bilang keluarganya baik. Dia bilang ayah ibunya tidak akan menentang kami. Dia bilang, dia sudah memberitahu ibunya tentangku dan ibunya menerimaku. Selama putraku menyukaimu, aku tidak apa-apa, akan aku perlakuan kau seperti putriku sendiri— kira-kira begitu yang dia gambarkan tentang keluarganya. Tapi, saat kami bertemu... Ayah ibunya membenciku. Setelah itu aku tidak melihatnya lagi. Teman kami bilang, dia pergi ke luar negeri. Tanpa pamit, hanya pergi," ceritanya.
"Berengsek," komentar Jiyong. "Bagaimana bisa dia pergi meninggalkanmu begitu saja? Laki-laki seperti itu-"
"Dia keponakanmu, Kim Eden," potong Lisa, menunjuk foto yang sekarang Jiyong pegang. Sudah pasti, Jiyong luar biasa terkejut sekarang. Sangat terkejut hingga ia tidak bisa mengatakan apapun.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ashes
FanfictionI can't hold you like the ashes You're spreading out Searching for your scent to call you back I can't see you through the flash My eyes are blurred Searching for your flashback in my mind 🎶 Ashes - Zior Park ft. Ai Tomioka