48

236 51 8
                                    

***

Setelah panggilannya dengan Lisa berakhir, Seunghyun menelepon Jiyong. Pria itu tidak langsung menjawabnya, Seunghyun perlu menelpon dua kali sampai Jiyong menjawab teleponnya. "Bagus, kau menjawabnya," kata Seunghyun begitu panggilan mereka tersambung. "Kalau kau tidak menjawab teleponku sekarang, kau pasti akan menyesalinya," susulnya, sama sekali tidak membuat Jiyong tertarik.

Jiyong ada di lounge hotelnya sekarang. Masih sangat pagi untuk mabuk-mabukan. Jiyong hanya duduk di sana, memesan segelas whiskey sambil melihat staff lounge bersiap-siap, juga beberapa pebisnis yang sudah siap untuk meeting. Tempat ini buka dua puluh empat jam, tapi di pagi hari begini, mereka yang duduk di sana biasanya hanya datang minum kopi, duduk di sana untuk membicarakan bisnis masing-masing.

"Aku baru saja menelepon Lisa," kata Seunghyun kemudian, sebab Jiyong tidak mengatakan apapun, hanya mendengarkannya, bersiap untuk mengakhiri telepon itu kalau Seunghyun hanya akan berbasa-basi.

Jiyong tidak keberatan dengan semua omong kosong Seunghyun, tapi ia punya kenangan buruk tentang wanita bersamanya. Ia tidak pernah menyukainya, kalau Lisa terlalu dekat dengan Seunghyun. Atau ia memang tidak pernah suka melihat kekasihnya dekat dengan pria manapun?

"Sepertinya kami punya semacam koneksi," kata Seunghyun. Seolah sengaja mencari-cari pilihan kata paling menyebalkan dalam pembicaraan mereka sekarang. "Saat aku menelepon dia sedang resah? Uhm... Seperti... Kau tahu? Situasi saat kau butuh seseorang untuk bicara dan ada seseorang yang datang untukmu? Aku rasa begitu-"

"Akan aku matikan kalau kau hanya ingin membuatku semakin kesal," potong Jiyong. Tidak terdengar bersemangat, bahkan untuk marah saja pria itu tidak punya tenaga sekarang. Masalahnya dengan Lisa sudah menyita banyak energinya. Ia tidak ingin membuang-buang sisa energinya pada hal lain.

"Lisa memberitahuku sesuatu yang mengejutkan," kata Seunghyun, akhirnya langsung mengatakan alasannya menelepon. "Dia melarangku memberitahumu, dia yang akan memberitahumu, tapi aku rasa kau perlu tahu lebih dulu. Berpura-pura lah tidak tahu, saat dia mengatakannya padamu."

"Apa yang ingin kau katakan? Jangan bertele-tele, tidak cocok untukmu," jawab Jiyong.

"Lisa merasa dia hamil-" Seunghyun tidak melanjutkan ucapannya, sebab di dengarnya sesuatu baru saja jatuh dan pecah.

Jiyong akan menyesap whiskeynya, bersiap untuk mendengar kabar buruk dari Seunghyun. Ia sempat meyakinkan dirinya— tidak mungkin Lisa ingin putus tapi memberitahu Seunghyun lebih dulu. Tapi apa yang dikatakan Seunghyun kali ini benar-benar di luar prediksinya.

"Oh, sorry," katanya, pada pelayan yang cekatan membantunya. Ia berdiri sekarang, pindah ke kursi lain setelah memesan minuman yang sama. Setelah si pelayan memberitahunya, kursi mana yang bisa ia tempati. "Apa katamu tadi?" tanya Jiyong, setelah ia kembali duduk. Merasa dirinya tidak salah dengar, merasa cukup tenang untuk mendengar detail informasinya.

"Lisa merasa dia hamil. Tapi dia tidak mau mengeceknya. Dia tidak berani melakukannya. Dia masih denial sampai kami selesai bicara di telepon tadi. Dia bilang, dia tidak datang bulan karena stres, urusan kontrak barumu, pekerjaanmu bla bla bla semuanya membuatnya kelelahan, jadi wajar saja dia telat datang bulan, begitu katanya. Tapi entah apa yang kau katakan padanya, dia merasa seperti sedang hamil sekarang dan dia membencinya. Dia tidak mau hamil sekarang. Dia takut kalau dia benar-benar hamil. Mungkin takut dimarahi orangtua kalian? Bisa juga takut pada penggemarmu. Dia juga memikirkan karirmu."

"Karena itu dia sangat marah tadi? Dia sampai pindah kamar karena tidak mau melihatku," katanya, asal menanggapi cerita Seunghyun. "Kalau begitu aku akan menemui-"

"Jangan dulu, aku tidak memberitahumu untuk itu," tahan Seunghyun. "Kau hanya akan membuatnya semakin stress kalau tiba-tiba datang lalu bilang— aku sudah tahu semuanya— aku berkata begini karena kakakku pernah mengalaminya, dia bisa keguguran kalau lebih stress lagi dari sekarang. Tunggu saja dia yang datang sendiri padamu."

"Ya! Bagaimana bisa aku diam saja menunggu-"

"Karena itu aku memberitahumu, agar kau bisa bersiap dan tidak membuatnya lebih tertekan lagi. Tapi dimana kau sekarang? Bar? Bisa-bisanya kau pergi ke bar saat kekasihmu-"

"Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?"

"Mana aku tahu? Pikir sendiri, aku tidak pernah menghamili seseorang," santai Seunghyun, lantas mengakhiri panggilan itu setelah ia terkekeh. Tertawa geli membayangkan wajah teman-teman mereka saat tahu kalau ramalan dalam interview waktu itu benar-benar terjadi.

Setelah panggilannya berakhir, Jiyong duduk sendirian di lounge hotel itu. Ia terus menatap ke handphone yang diletakkannya di atas meja. Whiskey kedua yang ia pesan belum di sentuhnya sama sekali. Di saat begini ia merasa tidak boleh mabuk. Sambil menunggu-nunggu Lisa menghubunginya, pria itu sudah menenggak dua botol air mineral. Akan ia pesab botol ketiganya, tapi seorang perempuan menghampirinya.

"Pertama kali ke sini?" tanya perempuan itu. Kulitnya putih, dengan rambut pirang dan Jiyong tidak pernah mengenalnya. Kalau dilihat dari pakaian yang ia kenakan, Jiyong hanya bisa melabelinya sebagai seorang wanita karir yang punya cukup uang untuk membeli setelan dari designer terkenal. Alih-alih mengenali perempuan itu, Jiyong justru mengenal designer yang membuat pakaiannya.

"Uhm? Ya?" bingung Jiyong, sebab wanita tadi tiba-tiba saja menyesap whiskey miliknya. Ia melihat sekeliling sekarang, bertanya-tanya apa yang harus dilakukannya. Haruskah ia ketakutan? Memanggil petugas keamanan? Atau ia boleh mengusir sendiri gadis pirang ini?

"Aku memperhatikanmu sedari tadi, kau kelihatan gugup," katanya kemudian. Meletakan lagi gelas whiskey yang berhasil ia cicipi. Mungkin gadis itu tidak tahu, kalau Jiyong memang tidak berencana menenggak alkoholnya. "Kalau kau gugup, kau boleh menggenggam tanganku?" susulnya, akan meraih tangan Jiyong tapi pria itu sudah lebih dulu menghindarinya.

Gadis di depannya ini ingin menggodanya, Jiyong menyadarinya sekarang. Tapi alih-alih tergoda dengan perempuan pirang bertubuh seksi dengan rok pendek itu, Jiyong justru merasa takut. Kalau ada seorang pria yang tiba-tiba telanjang di depanku, daripada terangsang, aku justru akan takut melihatnya— rasanya ucapan Lisa kemarin ada benarnya. Jiyong merasa tidak nyaman berada di sana, dengan gadis asing yang berusaha mendekatinya itu. Tapi bereaksi berlebihan juga tidak akan baik untuk karirnya. Pria itu ingin berusaha untuk tetap sopan sekarang. Menolak dengan sopan, lalu pergi— begitu misinya.

Tanpa mengatakan apapun, gadis itu terus menatap Jiyong. Tersenyum padanya seolah tengah melemparkan sinyal-sinyal romantis kepadanya— atau bisa dianggap erotis karena kaki perempuan itu sekarang menyentuh kaki Jiyong? Ia akan berdiri. Jiyong akan berdiri tapi untungnya, bak seorang penyelamat yang sudah lama ditunggu-tunggu, Lisa datang.

Jiyong melihat gadis itu datang. "Aku harus pergi," katanya. "Kau bisa menghabiskannya," susulnya sembari menggeser gelas whiskeynya.

Di belakang punggung gadis yang menahan kekasihnya, Lisa berdiri. "Nona, dia sudah punya pacar," kata Lisa, menegur si perempuan pirang yang sama sekali tidak melihatnya. Sama sekali tidak menyadari kedatangannya.

"Oh ya? Aku tidak melihatnya," kata gadis itu, masih menyentuh tangan Jiyong, sambil perlahan menoleh ke arah suara tadi datang.

"Turn around," balas Lisa. "Sekarang kau melihatnya," susulnya, menatap tajam pada perempuan yang ingin menggoda kekasihnya itu. Mereka bertukar tatap sekarang— Lisa dengan si pirang yang menggoda Jiyong. "Oppa, ayo ke kamar," ajak Lisa kemudian, merasa tidak punya waktu untuk berdebat dengan seorang pelacur yang sengaja datang ke lounge hotel itu untuk menggoda pria-pria kaya kesepian.

***

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang