24

321 67 8
                                    

***

Di sana, Lisa melihat orang-orang lewat. Melihat mereka berjalan di depannya, seolah tengah melihat bunga liar yang bergerak lembut, mengikuti arah angin. Ia merasa terlalu takut untuk mendekat. Merasa mereka terlalu panas untuk ia dekati. Merasa mereka terlalu indah untuk ia dekati. Sepanjang hidupnya mungkin begitu caranya melihat orang-orang. Mereka terlalu panas, terlalu menakutkan, karenanya ia memilih untuk bersikap dingin. Karenanya ia menghindari orang-orang itu. Karenanya, ia menjauh dari keramaian. Ia menjauh dari mereka yang tidak akan bisa diatasinya.

Lalu karenanya, bunga-bunga liar itu menjauh. Mereka tidak bisa bernafas dalam air. Mereka tidak bisa mengatakan apapun. Mereka tidak punya pilihan lain, selain balas menjauhinya. Sekarang, ia bertanya-tanya, benarkah ia yang ditinggalkan? Benarkah tidak seorang pun menyukainya? Atau ia yang terlalu berduri? Atau ia yang terlalu dingin? Atau ia yang mendorong semua orang pergi?

Ia rasa, dirinya perlu pulang sekarang.

Sama seperti saat berangkat kemarin, malam ini pun ia berjalan ke rumahnya. Satu jam lebih gadis itu berjalan, sambil sesekali melihat orang-orang yang dilewatinya. Melihat mereka sambil berharap seseorang akan memanggilnya. Bukan karena kakinya lelah, bukan karena ia kelaparan. Tolong panggil aku, tolong selamatkan aku, karena rasanya aku akan tenggelam kesepian sekarang— begitu yang ia teriakan, tanpa sedikit pun suara yang keluar. Seolah ada balon sabun besar yang menyelimutinya, membuat ia terisolasi diantara keramaian.

Tiba di rumah, dilihatnya Kwon Jiyong ada di sana. Pria itu masih memakai pakaiannya hari ini. Setelan jas berwarna gelap, dengan kemeja biru cerah. Jasnya ia taruh di ranjang, kemejanya tidak lagi ia masukan rapi ke dalam celananya. Tiga kancing tertingginya pun sudah ia lepas. Rambutnya acak-acakan, dan pria itu sedang meremas handphonenya. Mereka sempat bertukar tatap, tapi belum sempat mengatakan apapun, Jiyong sudah menariknya masuk. Jiyong peluk tubuhnya, begitu erat seolah ia takut akan kehilangannya lagi.

"Ya Tuhan, terima kasih!" katanya, tetap memeluk Lisa. "Kemana saja kau hari ini? Aku pikir kau benar-benar pergi!" seru pria itu, melepaskan sebentar pelukannya, agar ia bisa menatapnya, lantas memeluknya lagi. "Aku minta maaf, aku tidak akan melakukannya lagi, aku minta maaf, jangan menghilang lagi, aku benar-benar khawatir tidak bisa melihatmu lagi. Maaf, aku tidak akan bicara seperti kemarin lagi, sungguh... Aku minta maaf," kata pria itu, tetap memeluk.

"Hm..." Lisa menggumam, mengangguk mengiyakannya. Ia balas juga pelukan itu, tapi tidak seberapa lama. Lisa mendorongnya sekarang. Melepaskan dirinya dari pelukan Jiyong. "Aku lapar sekarang, bisa buatkan aku makanan? Aku mau mandi sebentar," ucap lemah gadis itu.

Jiyong tidak bertanya, apa saja yang terjadi pada Lisa. Jiyong hanya menganggukkan kepalanya. Bergerak mundur untuk memberi Lisa jalan, sementara gadis itu berjalan ke lemarinya. Ia mengambil pakaiannya, lantas masuk dan menutup pintu kamar mandinya.

Suara air menyala terdengar sampai ke depan pintunya. Jiyong berharap Lisa memakai air hangat untuk mandinya sekarang. Berharap gadis itu tidak akan terlalu kedinginan, karena sudah beberapa kali melewatkan jam makannya. Sejak kemarin pagi Lisa belum makan— ingat Jiyong, yang ragu Lisa menelan sesuatu dalam pelariannya hari ini. Gadis itu masih memakai pakaiannya yang kemarin. Jiyong ragu Lisa sempat pulang dan mengambil uang tunai dalam dompetnya.

Jiyong membuatkan makanan untuknya. Hanya nasi dengan telur goreng dan minyak wijen, sebab tidak ada caviar di sana. Ia tata meja makannya, meletakan juga beberapa lauk yang ada di lemari es. Lisa yang memasak dan menyimpan lauk-pauk itu, setelah sebagiannya ia antarkan untuk orangtua Jiyong.

Lisa mandi lebih lama dari biasanya. Mungkin karena ia terlalu lemas untuk bergerak. Mungkin juga karena ia terlalu sedih untuk tergesa-gesa. Jiyong berdiri di sebelah meja makan, menghadap ke pintu kamar mandi, memperhatikan Lisa yang sekarang berdiri di sana. Berdiri di atas keset lantai tanpa sandal rumahnya. Rambut gadis itu masih basah, beberapa bagian tubuhnya pun basah, seolah ia tidak memakai handuknya setelah mandi.

"Peluk aku," pinta Lisa, menatap Jiyong dengan wajah sedihnya. "Tolong peluk aku," ulang gadis itu, sebab Jiyong hanya diam, hanya melihat wajahnya dengan raut yang sama sedihnya.

Jiyong menghampirinya sekarang. Memeluk gadis itu. Lengannya melingkar di pinggang Lisa, sedang lengan lainnya melingkar ke bahu sampai bagian belakang gadis itu. Memeluk sambil mengusap-usap rambut basah Lisa yang sama sekali tidak diseka handuk.

"Maaf," bisik Lisa, setelah beberapa detik ia merasakan pelukan Jiyong. Setelah ia balas memeluk pria itu. "Maaf, sepertinya aku rusak. Aku rasa, aku sudah rusak. Sesuatu di dalam diriku sepertinya sudah rusak. Meski kau tidak melukaiku, aku tetap terluka. Although you did nothing to me, I burned and crashed myself," katanya, memeluk sambil menyandarkan wajahnya pada dada pria itu. Sekali lagi menangis, tapi kali ini pelukan Jiyong meredam suara tangis itu.

Setelah lama bertahan dalam posisi itu, Lisa akhirnya duduk di meja makan. Dengan gemetar gadis itu memegang sendoknya sekarang, akan mengisi perutnya meski rasanya sendok itu terlalu berat baginya. Ia begitu lelah hingga rasanya tidak bisa mengangkat sendoknya sendiri.

Jiyong duduk di sebelahnya, mengambil sumpit gadis itu. Membantu meletakan lauk di atas suap nasinya. Sesekali Jiyong mengusap rambut Lisa, menyingkirkan helai basah yang mengganggu di wajahnya. "Makan lah yang banyak, jangan sakit," pelan Jiyong, ingin memastikan Lisa menghabiskan semangkuk nasinya.

"Bagaimana hari ini?" tanya Lisa, setelah ia punya cukup tenaga dari setengah mangkuk nasinya.

"Aku makan sup ayam di kantor polisi tadi siang, lalu makan lagi sup tulang sapi saat sore, seperti di drama," tenang Jiyong, tapi Lisa menoleh padanya. Menatap pria itu dengan sebelah alis yang terangkat. Bukan itu jawaban yang Lisa inginkan. "Aku rasa sudah beres. Tidak ada bukti aku pergi ke club bersamanya. Tidak ada bukti kami memakai narkoba bersama. Aku juga sudah tes urine, lalu memberikan rambutku juga untuk di tes. Sebanyak apapun mereka mengambil rambutku, mereka tidak akan menemukan apapun, jangan khawatir," katanya kemudian.

"Aku tahu," pelan Lisa. "Aku tidak mungkin tidak tahu kalau kau memakainya," susulnya. Mengingatkan Jiyong kalau mereka hampir selalu bersama, setiap hari, sepanjang satu tahun belakangan ini.

"Bagaimana kau meyakinkan agensi? Untuk membiarkanku pergi ke kantor polisi? Sampai polisi memanggilku, biasanya mereka tidak akan melakukannya. Mereka hanya akan memintaku untuk sembunyi."

"Aku tidak meyakinkan mereka," jawab Lisa. "Lebih baik minta maaf daripada minta izin. Jadi aku menghubungi polisinya lebih dulu," susulnya, sekarang benar-benar menghabiskan makanannya.

Jiyong memeluknya lagi sekarang. Dari samping sebab gadis itu baru saja melepaskan sendoknya. Perlahan, ia putar badan gadis dalam pelukannya itu, meminta Lisa untuk balas memeluknya. "Aku ingin mengenalmu sekarang," pelan pria itu, dalam pelukannya. "Aku ingin tahu apa yang kau suka, tempat yang kau suka, hobimu, pekerjaan yang kau inginkan, semua tentangmu. Saat kau pergi, rasanya aku tidak bisa bernafas. Aku ingin mencarimu, tapi aku tidak tahu apa yang kau suka, kemana kau mungkin akan pergi, aku tidak tahu apa pun, jadi aku hanya bisa menunggumu di sini. Aku benar-benar ingin tahu sekarang, apa yang kau suka," katanya kemudian.

"Aku menyukaimu."

***

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang