6

363 64 12
                                    

***

Sekarang, Lisa duduk sendirian di depan gedung agensi itu. Jiyong mengusirnya, marah karena merasa dipermalukan. Juga kesal karena Lisa terlihat berbahaya sekarang- ia berlari, menerobos masuk, berteriak memanggil Jennie. Membuat Jennie ketakutan, sampai petugas keamanan harus turun tangan. Gadis itu terlihat benar-benar gila sekarang.

Dari jendela di lantai atas agensi itu, Jiyong juga Yongbae bisa melihat Lisa sekarang. Melihat gadis itu duduk tertunduk sembari sesekali mengusap pipinya- menghapus air matanya sendiri. Sekarang Lisa sadar, ia sudah menghancurkan kesempatannya.

Sejak di kantor polisi tadi, ketika disadarinya kalau sekarang ia gelandangan, Lisa menyesalinya- pertengkarannya dengan ibunya sore tadi. Ia merindukan ibunya sekarang. Berfikir bagaimana hidupnya kalau ia tidak bisa kembali? Bagaimana dengan ibunya? Bagaimana kalau ia selamanya terjebak di tahun itu? Lisa baru menyadarinya sekarang, betapa mengerikannya posisinya saat ini.

"Anak itu benar-benar datang dari masa depan?" Yongbae bertanya, menegur Jiyong yang masih melihat pada Lisa di bawah sana.

"Dia bukan anak-anak," balas Jiyong, mengatakan berapa umur Lisa sekarang- 27, seperti yang Lisa katakan, juga seperti yang ia lihat di kartu identitasnya.

"Kau mempercayainya?"

"Tidak tahu, tapi setelah melihatnya lebih lama, dia tidak terlihat seperti anak-anak," kata Jiyong.

"Kau menyukainya?"

"Tidak," bantah Jiyong. "Aku baru beberapa jam lalu bertemu dengannya, mana mungkin menyukainya. Aku hanya penasaran, kenapa dia mengaku datang dari masa depan? Kau tidak penasaran, apa yang akan terjadi padamu di masa depan?"

"Dia bilang aku akan punya anak akhir tahun depan, kita lihat saja dia berbohong atau tidak," balas Yongbae.

Mereka sepakat untuk mengabaikannya. Meski sepanjang malam Jiyong tidak bisa berhenti memikirkannya. Ia luar biasa penasaran dengan apa yang terjadi di masa depan. Ingin ia percayai Lisa- setelah melihat rekaman black box mobilnya- namun ia merasa bodoh jika mempercayainya begitu saja.

Sepanjang malam, sementara Jiyong sibuk dengan pikirannya sendiri, Lisa pun sama. Tetap gadis itu duduk di depan kantor agensi. Menunggu ibunya keluar, tanpa tahu kalau Jennie pergi lewat pintu lainnya. Tanpa makan, tanpa minum, malam berubah pagi, berubah lagi jadi siang dan kembali malam, Lisa tetap di sana. Duduk menunggu ibunya, sebab tidak tahu kemana lagi ia harus pergi. Tidak ada petunjuk tentang apa yang bisa dan harus ia lakukan. Sekeras apapun ia memikirkannya, tidak ada satupun jawaban yang bisa menyelesaikan masalahnya.

Haruskah aku menabrakkan diriku ke mobil lagi? Lisa bertanya-tanya, tapi ia khawatir tubuhnya justru akan remuk karena terlindas. Lebih dari dua puluh empat jam Lisa berada di sana, memikirkan caranya kembali tanpa sedikit pun makan dan minum. Malam terasa sangat dingin, sedang siang terasa begitu terik, tapi karena terlalu fokus berfikir, Lisa tidak bisa merasakan semuanya.

Tidak perlu tertabrak mobil, hanya dengan berada lebih lama lagi di sana, gadis itu bisa tumbang dan mati. Petugas keamanan agensi, sudah mengusirnya. Khawatir mereka harus berurusan dengan seseorang yang mati lemas di depan gedung. Namun gadis itu hanya berlaga pergi, melangkah beberapa meter, lalu duduk di sana. Ia hanya mengganti tempat duduknya, tanpa benar-benar meninggalkan sekitaran gedung itu.

"Harusnya aku tidak minta untuk jadi gelandangan," pelan gadis itu, sebelum akhirnya ia jatuh dan tumbang di tepi trotoar tempatnya duduk.

Jiyong tidak pernah berencana menampung gadis yang mengaku datang dari masa depan itu. Tapi gadis itu kebetulan tumbang di depannya. Ia baru saja datang ke agensi, ketika sebuah ambulance membawa seorang pasien pergi dari sana. Awalnya, pria itu hanya bertanya- siapa yang dibawa ambulance? Staff? Trainee?- lantas setelah ia diberitahu siapa yang dibawa mobil bersirene itu, ia pergi menyusul ambulancenya. Melewatkan meeting yang seharusnya diikutinya.

Dokter sudah memerikanya. Sudah juga memberinya vitamin, karena tidak menemukan tanda-tanda kelainan dalam tubuhnya. Mereka hanya perlu menunggunya bangun, tapi gadis itu tidak juga sadarkan diri.

Baru setelah tiga puluh jam lamanya, ketika hari sudah hampir pagi, gadis itu membuka matanya. Hanya kelelahan- begitu diagnosis dokter, tapi karena hari masih gelap, Lisa belum diizinkan untuk pergi. Terlebih karena gadis itu sekarang berada di dalam kamar untuk satu orang, entah itu kamar VIP atau bukan, Lisa tidak mengetahuinya. Satu yang pasti, ia tidak akan bisa membayar apapun di sana, kecuali mereka mau menerima uangnya. Yang kelihatan seperti uang mainan itu.

Satu yang Lisa sadari setelah beberapa menit duduk di sana- handphonenya hilang. Ia melihat dompetnya ada di nakas, tergeletak begitu saja, tapi handphonenya tidak di sana. "Bahkan sekarang aku dicopet juga? Luar bisa, hebat sekali Lalisa. Kau terdampar tanpa apapun di tempat asing ini," komentarnya. Meratapi nasibnya sendiri.

Kini gadis itu bangkit, ia menggerakkan tangannya, merasa sedikit nyeri ketika tangannya yang di infus itu bergerak. "Di tahun ini mereka masih memakai yang begini?" katanya, menatap selang infus serta tiang dan kantong cairannya. Ia menghela nafasnya, untuk yang kesekian kalinya. Lantas, ia langkahkan kakinya menuju jendela besar dalam ruangan itu. Ia tidak perlu membuka jendela itu hanya untuk merasa sejuk, pendingin ruangan di kamar itu menyala sempurna.

"Apa aku tinggal di sini saja?" gumamnya, menyerah mencari cara untuk kembali.

Kalau bisa jujur, ada sedikit rasa senang dalam dirinya. Sedikit rasa lega, sebab sekarang ia tidak perlu bertemu dengan ayah tirinya lagi. Selain ibunya, Lisa tidak kehilangan apapun meski menetap di tahun itu. Tapi ketika Tuhan mengirimnya ke sana, perjalanannya tidak mungkin tanpa alasan.

"Kenapa aku harus datang ke sini?" katanya, bicara pada pantulan wajahnya sendiri di jendela itu. "Apa Kau mengirimku kesini untuk membantuku melarikan diri? Aku tidak tahu kalau Kau sebaik itu... Tapi akan lebih baik lagi kalau kau memberiku uang, apa-apaan ini? Aku gelandangan di sini, selain tubuhku aku tidak punya apapun. Apa aku harus menjual tubuhku di sini?" ocehnya, terus bicara sampai ia merasa lelah dan kembali duduk di ranjang. Sepertinya obat yang dokter berikan padanya tidak seberapa berpengaruh, ia tetap lelah meski baru saja dinyatakan sehat.

Jam menunjuk pukul lima sekarang. Pukul lima pagi dan hari masih gelap. Pelan-pelan pintu kamar rawat itu di geser, Lisa yang masih duduk melamun di ranjangnya, menatap pada tamu yang datang. Bukan perawat, bukan juga dokter. Jiyong yang datang.

"Ah? Kau benar-benar sudah bangun," kata pria itu, melangkah menghampiri Lisa dengan beberapa tas belanja di tangannya.

"Oh? Kita bertemu lagi," balas Lisa, memperhatikan Jiyong yang sekarang masuk, meletakan belanjaannya di kursi kemudian mengulurkan tangannya, menyentuh dahi Lisa.

Refleks Lisa menepis tangan itu. Memukul pergelangan tangan Jiyong, menolak untuk di sentuh olehnya. Tatapannya tajam sekarang, sinis menunjukan dengan jelas ketidak sukaannya.

"Tsk... Begitu caramu berterima kasih? Kalau begitu sama-sama," gerutu Jiyong. Tentu merasa malu karena Lisa menolak perhatiannya. Sedikit kesal karena di permalukan begitu, meski tidak ada yang melihat mereka.

"Tinggalkan saja nomor teleponmu, aku akan membayar semuanya, nanti," kata Lisa, masih belum berterimakasih.

Mungkin gadis itu marah, tersinggung karena Jiyong pernah mengusirnya.

"Kapan? Bagaimana? Kau bahkan tidak punya handphone. Tidak ada charger yang cocok untuk handphonemu, aku sudah berkeliling, tapi tidak ada," katanya, mengembalikan handphone yang sempat Lisa cari tadi.

"Kenapa kau melakukannya?"

***

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang