15

438 85 16
                                    

***

Setengah tubuh gadis itu sudah ditutupi handuk, tadi seorang trainee yang tidak ia kenali namanya membantu menyelimutinya dengan handuk. Tapi saat memanjat naik ke tepian kolam, Lisa merasakan sakunya kosong. Handphonenya masih ada di air.

"Augh! Sial," gumamnya pelan, lantas mengembalikan handuknya, kembali turun ke air. "Handphoneku jatuh," susulnya, lantas mengatakan kalau ia baik-baik saja dan semua orang disana tidak perlu mengkhawatirkannya. Pergilah kalian semua!— itu yang sebenarnya ingin Lisa teriakan, tapi hanya sampai di tenggorokannya.

Lisa kembali berenang sekarang, sedang Jiyong datang, menyuruh yang lainnya meninggalkan kolam. Menyuruh orang-orang kembali melakukan aktifitasnya— pergi beristirahat di kamar atau bercanda dan minum-minum ditempat lain. Saat Lisa naik, sekarang Jiyong yang mengulurkan handuk untuknya.

"Kau pasti malu," komentar Jiyong, tidak terlihat marah. Ia tidak punya alasan untuk marah.

"Sangat malu," balas Lisa, buru-buru naik, lalu meraih handuk yang Jiyong berikan. Menutupi tubuhnya sendiri dengan handuk.

Seorang pelatih kemudian datang— Toil— tapi Lisa melupakan namanya. Pria itu mendekat kemudian mengatakan kalau Lisa bisa memakai kamar pertama di lantai satu, dekat dapur. Lisa bisa beristirahat dan memakai kamar mandi di dalam kamar itu.

"Akan aku ambilkan pakaianmu," susul Jiyong, tidak keras, hanya cukup untuk Lisa dengar.

Lisa masuk ke kamar itu, Jiyong pergi mengambilkan pakaiannya dan rumor beredar di villa. Beberapa orang mempercayai Jennie, sebagian lainnya tidak peduli. Tiga gadis yang melihat jelas kejadiannya, bergabung dalam skenario kebohongan yang Jennie buat. Sedang Mino memilih untuk berlaga tidak mengetahui apapun.

"Hanya kecelakaan biasa, mungkin Lisa tidak sengaja terpeleset, ingin meraih Jennie tapi tetap jatuh," begitu kata orang-orang dewasa di sana. Menjelaskan kejadiannya, tanpa peduli siapa yang bersalah. Meski nanti Lisa atau Jiyong ingin meributkan masalah itu, ingin menghukum Jennie misalnya, mereka bisa memikirkannya nanti. Toh Lisa tidak terluka, ia hanya basah.

"Aku gantung bajumu di pintu, jangan keluar telanjang," kata Jiyong, sedikit berteriak agar Lisa bisa mendengar suaranya dari dalam kamar mandi.

Tidak ada jawaban dari dalam, tapi beberapa menit setelahnya, pintu kamar mandi dibuka. Sebuah tangan keluar untuk meraih paper bag yang tergantung di sana dan pintunya kembali ditutup. Setelah berselang beberapa menit, pintu kamar mandi kembali dibuka dan sekarang Lisa keluar dengan handuk yang melilit rambutnya. Mengatakan kalau tidak ada hairdryer di kamar mandi.

"Kau tahu dimana hairdryernya?" tanya Jiyong, kembali berdiri, akan mengambilkan hairdryer untuk gadis itu. "Tunggu, kenapa aku harus mengambilkannya?" bingung Jiyong, setelah ia tahu dimana letak hairdryer itu, lalu mengambilkannya.

Sambil melihat Lisa mengeringkan rambutnya, Jiyong duduk di ranjang. Menatap punggung gadis itu, sembari terus terkekeh, menertawakan Lisa yang dirundung ibunya sendiri. Meski bisa, Lisa tidak ingin ibunya dapat masalah. Lisa tidak ingin Jennie dihukum lalu batal debut atau kena masalah lainnya.

Kali ini Lisa akan mengalah. Akan ia maafkan ibunya itu, meski tetap menggerutu karenanya. "Ya Tuhan! Dia kekanakan sekali! Ah! Tolong! Dia mau mendorongku! Orang bodoh mana yang percaya pada akting begitu?!" sebal Lisa, terus kesal karena ia harus mandi lagi malam ini.

"Dia terlalu banyak menonton film!" ocehnya, tetap kesal meski Jiyong sudah menertawakannya— sedari awal.

"Kenapa kau bertengkar dengannya?" heran Jiyong, ditengah-tengah tawanya. "Dia ibumu tapi sekarang dia hanya anak-anak. Dia sembilan tahun lebih muda darimu, kenapa kau terus menanggapinya?" katanya.

"Aku pun tidak tahu! Semua yang keluar dari mulutku, keluar begitu saja!" balas Lisa, sesekali menoleh untuk melihat pria yang menertawakannya. "Seumur hidupku, aku tidak pernah hanya mendengarkan ibuku. Itu refleks. Aku menjawab semua ucapannya karena refleks. Sudah dari lahir begitu," kata Lisa, enggan jadi satu-satunya yang salah. "Tapi Hoyeon itu siapa?" tanya Lisa, sekarang selesai dengan rambutnya, lalu berbalik menatap Jiyong dan membelakangi meja riasnya.

"Hoyeon? Blue.D?"

"Siapa dia?"

"Ada, anak pelatihan juga. Kenapa?"

"Oppa punya fotonya?" tanya Lisa dan Jiyong menggeleng.

"Tidak- oh! Aku dikirimi foto bersama tadi pagi," kata pria itu, sempat menggeleng tapi sekarang ia buka handphonenya.

Lisa melangkah ke ranjang, duduk di sebelah Jiyong untuk melihat layar handphone pria itu. Tapi saat Jiyong akan membuka aplikasi pesannya, pria itu menjauhkan handphonenya. Enggan menunjukan siapa-siapa saja yang mengiriminya pesan.

"Heish! Tidak, aku tidak akan melihatnya," kata Lisa, langsung berpaling. Menunggu Jiyong selesai mencari foto yang ingin ditunjukkannya.

"Sudah, kemari," kata Jiyong, setelah ia buka foto itu dari handphonenya.

Fotonya diambil di depan villa. Foto semua anak pelatihan yang ada sekitar tiga puluh orang itu. Kualitas fotonya tidak seberapa bagus karena hanya dikirim lewat aplikasi pesan. Kualitas gambarnya otomatis berkurang ketika dikirim. Tapi tidak sulit mengenali Jennie juga Hoyeon dalam foto itu.

Hoyeon berdiri tepat di sebelah Jennie. Keduanya tersenyum, saling merangkul. "Dia gadis yang tadi tidak nafsu makan karena melihatku," kata Lisa, bisa mengenali Hoyeon lewat gaya rambutnya. "Ternyata mereka berteman, sama-sama perundung," susulnya.

"Wah... Jadi ada cinta segitiga diantara mereka? Siapa laki-lakinya?" tanya Jiyong. "Salah satu anak pelatihan juga?" tebak pria itu dan Lisa menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak tahu, aku pura-pura tidur saat mereka bertengkar tadi," bohong Lisa. "Laki-lakinya juga tidak mengatakan apapun, hanya ibuku yang berteriak."

"Tapi apa kau tahu? Anak pelatihan tidak boleh berkencan," komentar Jiyong. "Semuanya jadi sia-sia kalau sampai hamil, atau menghamili seseorang- oh! Jangan-jangan dia ayahmu? Kau tidak ingin mencari ayahmu?"

Lisa terdiam. Tentu ia sempat memikirkannya. Bisa jadi Song Mino adalah ayahnya. Tapi setelah mendengar marah Jennie tadi, rasanya terlalu abu-abu. Mendengar apa yang Jennie katakan, membuat Lisa merasa kalau Jennie bisa tidur dengan siapa saja, asal keinginannya tercapai.

"Kau cukup berpengaruh di agensi, iya kan?" tanya Lisa, menoleh pada pria di sebelahnya.

"Kenapa? Kau ingin aku membantu ibumu?"

"Tidak... Tapi, bisa jadi aku putrimu. Bagaimana kalau begitu? Kalau aku ternyata putrimu? Mungkin itu alasan kita bertemu, bagaimana?" tanya Lisa sekali lagi.

"Wah... Menakutkan," jawab Jiyong. "Sepertinya aku akan mimpi buruk malam ini, kau tidur saja di sofa, ranjangnya milikku," katanya.

"Huh?! Kita akan tidur di sini?! Di depan semua orang membicarakan kita dan kau ingin tidur di sini? Yang benar saja," kata Lisa membulatkan matanya.

"Lalu? Kau akan pergi kemana tengah malam begini?" santai Jiyong. "Biarkan saja mereka bergosip. Setidaknya aku tidak tidur dengan anak dibawah umur. Ibumu, masih delapan belas tahun. Dia anak dibawah umur, tahu? Berani sekali kau mengaku jadi putriku," katanya kemudian, sengaja mendorong dahi Lisa dengan jari telunjuknya. Menjauhkan gadis itu dari tubuhnya, agar ia bisa segera berbaring di ranjang.

"Saat aku lahir, dia bukan anak dibawah umur," celetuk Lisa, tepat setelah Jiyong berbaring di ranjang. Membuat pria itu rasa-rasanya akan terjaga sepanjang malam.

***
Seperti biasanya, rencananya cerita ini tuh bakal pendek pendek aja, paling 25 part. Tapi kok kayanya bakal ngembang kaya mie kelamaan direndem 🥲🥲

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang