60

291 60 0
                                    

***

"Augh! Oppa! Kau sudah menikah! Bisa-bisanya masih menyimpan semua ini?!" Lisa berseru, berteriak dari ruang penuh pakaian di rumah itu— lemari pakaian Jiyong. Di bawah, Alice sedang bermain dengan kakek dan neneknya. Sedang Jiyong masih bermalas-malasan di ranjangnya.

Kemarin mereka berbelanja, sampai pusat perbelanjaannya tutup. Lisa membeli banyak sekali barang, memenuhi mobil mereka, kemudian hari ini sebagian barang belanjaan gadis itu juga akan dikirim oleh kurir. Karena lelah menemani istrinya berbelanja, Jiyong masih bermalas-malasan di ranjangnya pagi ini— pada pukul sepuluh.

"Oppa ke sini!" seru Lisa, kali ini menghampiri Jiyong di kamar pria itu, kamarnya juga. Setelah menikah tentu saja mereka berbagi kamar.

"Hm? Apa?" tanya Jiyong, hanya menoleh, tetap berbaring di ranjangnya, bertelanjang dada sejak semalam.

Jiyong menoleh melihat ke arah istrinya. Menatap wajah sebal itu dengan tatap polosnya, ia tidak tahu apa kesalahannya sekarang. Lisa berdecak, memerintah Jiyong untuk mengekorinya. Meski malas, pria itu akhirnya bangun. Tetap mengekor masuk ke lemari pakaiannya. Di sana, ia lihat laci-laci di anak tangga terbuka. Laci tempatnya menyimpan semua sisa-sisa kenangannya bersama mantan-mantan kekasihnya.

"Kau sudah menikah tapi masih menyimpan celana dalam dari mantan kekasihmu?! Luar biasa!" cibir Lisa, mengambil lalu melempar celana dalam merah pemberian mantan pacar suaminya. Lisa tidak melemparnya pada Jiyong, gadis itu tidak ingin melukai suaminya. Meski selembar kain celana dalam tidak akan sanggup melakukannya.

"Augh! Aku bahkan tidak ingat-"

"Buang semuanya, aku tidak mau melihat barang-barang dari mantan pacarmu!" sebal Lisa, meninggalkan Jiyong di dalam ruang ganti itu seorang diri.

Ia menggerutu sekarang. Mengeluh karena harus melihat isi penuh laci itu. Sambil menuruni tangga ke ruang tengah, gadis itu cemberut. Di bawah, nyonya Kwon bertanya apa alasan Lisa berteriak, kenapa gadis itu kesal. Lalu saat mengetahui alasannya, Nyonya Kwon menghela nafasnya— ia tahu kalau cepat atau lambat, barang-barang pemberian mantan pacar Jiyong akan menjadi masalah di rumah mereka. Padahal ia sudah memperingatkan putranya untuk membuang semua barang-barang itu, tapi Jiyong terlalu malas untuk melakukannya. Ia bahkan tidak ingin membuka lagi laci-laci itu.

"Kenapa ikut turun? Mau kemana? Oppa tidak mau membersihkannya?" ketus Lisa, setelah mengadukan suaminya kepada ibu mertuanya.

"Augh! Aku hanya mau mengambil plastik sampah!" seru Jiyong, tetap melangkah ke dapur, mencari kantong sampah yang harusnya ada di sana.

"Augh! Saking banyaknya kenanganmu di sana, oppa sampai butuh kantong sampah?" cibir Lisa, menunjukan dengan jelas kecemburuannya.

Jiyong berdecak mendengarnya. Menurutnya Lisa menggemaskan saat cemburu. Gadis itu hampir tidak pernah cemburu, Jiyong bisa menikmati kecemburuannya. Tapi ada orangtuanya di sana. Ada ibunya di sana, juga putrinya yang hanya bisa tertawa, memukul-mukul lantai di depannya. Ia terlalu malu untuk menggoda istrinya yang cemburu itu.

Tidak sampai tiga puluh menit, Jiyong menarik turun kantong-kantong sampahnya. Pria itu punya tiga kantong besar sampah berisi hadiah-hadiah dari cinta lamanya, menarik semuanya turun kemudian meletakannya di dekat dapur.

"Eomma, kalau Bibi datang besok, suruh dia membuang semua ini," pinta Jiyong, meminta sang ibu menyampaikan pesannya pada asisten rumah tangganya yang hanya datang dua hari sekali. "Sudah kosong, sekarang mau kau apakan semua laci itu?" tanya Jiyong, berdiri di sebelah sofa, tempat Lisa bermain dengan putrinya.

Lisa mengangguk, kemudian mengangkat putrinya, menggendong bayi kecil itu dan menitipkannya lagi pada Nyonya dan Tuan Kwon. Meminta mereka menjaga sebentar putrinya, sebab ada banyak belanjaan yang harus ia dan suaminya ambil dari mobil. Selesai memasukan semua belanjaan ke ruang ganti, Lisa membawa bayinya naik. Masuk ke ruang ganti kemudian menunjukan semua belanjaannya.

"Sayang, lihat, ini belanjaan paling banyak yang pernah aku beli," pamernya, pada si bayi yang hanya bersuara— seolah memahaminya.

"Apa semua belanjaan tadi? Kenapa kalian belanja banyak sekali?" tanya Nyonya Kwon, kali ini kepada putranya.

"Hanya hadiah," jawab Jiyong, tidak bisa menjelaskan lebih banyak lagi. Mungkin ia harus menjelaskannya suatu saat nanti? Ketika putrinya mulai tidak bisa menahan rasa penasarannya.

Setelahnya Lisa mulai sibuk. Gadis itu hampir tidak pernah meninggalkan rumah. Ia merawat putrinya, membantu nyonya Kwon menyiapkan makanan, lalu membungkus hadiah di sela-sela kesibukannya. Ia tulis sebuah pesan untuk setiap hadiah yang dibungkusnya. Satu hari, dua hari, sampai satu minggu kesibukannya itu tidak juga selesai.

Ia tidak bisa memberitahu orang-orang alasannya menyiapkan semua hadiah itu. Menjelaskan kalau ia datang dari masa depan, lalu kemungkinan kalau ia akan kembali ke sana, tidak akan mudah untuk dibicarakan. Meski semua penghuni rumah itu menyukainya, meski mereka semua tidak keberatan dengan keberadaannya sekarang, tapi tidak ada jaminan orang-orang itu akan mempercayainya. Karenanya, kartu pos yang ia tulis, ditaruhnya di luar kertas pembungkus hadiah-hadiah itu. Diikat dengan pita pada setiap hadiahnya.

"Selamat ulangtahun yang ke tujuh belas, putriku Kwon Alice. Aku kira kau akan terus jadi anak-anak, tapi kau sudah dewasa sekarang. Bahkan diusiaku sekarang, aku masih tidak tahu banyak tentang hidup, jadi aku tidak bisa mengatakan apapun padamu. Aku hanya ingin kau bahagia, sayang," tulisnya. Membuat belasan pesan berbeda untuk semua hadiah yang sudah disiapkannya. Ia hampir menangis di tiap pesan yang ditulisnya.

"Dari semua hadiah itu, apa kau juga menyiapkan sesuatu untukku?" tanya Jiyong, berdiri di depan pintu ruang gantinya, yang sekarang lebih terlihat seperti kantor pembungkus paket. Kertas warna-warni, pita, pena, spidol berwarna, gunting juga perekatnya semua berserakan di lantai.

"Aku masih memikirkannya, apa ada sesuatu yang oppa inginkan?" tanya Lisa, ia yang sedari tadi duduk di lantai, dengan meja kecil di depannya, sekarang mendongak untuk menatap pria itu.

"Tidak ada, aku tidak menginginkan apapun," geleng pria itu. "Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu, setidaknya saat aku di rumah, tinggalkan dulu pekerjaanmu, temani aku dulu," susulnya.

Lisa mengangguk, lantas ia bangkit dari duduknya. Ia ingin berdiri dengan cantik, melangkah dengan anggun lalu memeluk manja suaminya. Mengatakan kalau ia akan menemani Jiyong, selama yang pria itu inginkan. Tapi yang keluar dari mulut gadis itu, justru sederet umpatan dan keluhan pelan.

"Augh! Sialan, ah! Kakiku!" gadis itu berseru, meski sudah berusaha menahan suaranya. Belum lewat dua detik setelah ia berdiri, ia sudah mencari pegangan, tidak bisa berdiri tegak. Kakinya pegal, kesemutan kemudian kram karena terus ditekuk di lantai, di bawah meja kecilnya tadi.

Langkahnya kemudian goyah, membuat Jiyong terkekeh lalu memeganginya. Memeluknya, sementara Lisa hanya bersandar, mengaku kalau ia tidak bisa merasakan kakinya. "Mau aku gendong?" tawar Jiyong tapi Lisa langsung menggelengkan kepalanya. Terakhir kali ia digendong ala bridal style, kepalanya terbentur pintu. Sangat keras hingga rasanya ia hampir pingsan karenanya.

Jiyong berdecak, mengatakan kalau ia sudah bisa menggendong gadis itu sekarang. Tapi Lisa tetap menolaknya, mengatakan kalau Jiyong hanya perlu memapahnya sampai ke kamar. Malam sudah larut sekarang, semua orang sudah tidur. Jiyong pun sudah tidur tadi, ketika Lisa menyelinap keluar dan mengerjakan lagi proyeknya. Pria itu baru saja terbangun, sebab Lisa tidak di sana. Sebab Alice menangis di keranjangnya, tapi Lisa tidak menyadarinya.

"Tadi dia bangun, lapar, aku sudah memberinya susu dan dia langsung tidur lagi," kata Jiyong, bersamaan dengan Lisa yang sekarang bisa melangkah sendiri ke tempat tidur putrinya.

"Ah? Oppa bangun karenanya? Maaf, aku tidak dengar Alice menangis," kata Lisa, hanya memperhatikan sebentar putrinya, mengusap kaki kecilnya, merapikan selimutnya, lantas ia berbalik untuk menemani ayah bayi kecil tadi.

***

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang