34

270 56 1
                                    

***

Dalam perjalanan, Jennie baru memperhatikan seisi mobil. Lisa duduk di depannya, menumpu kepalanya dengan tangannya yang tertekuk. Kelihatan lelah. Di sebelah gadis itu, Jiyong menyetir. Tidak banyak bicara tapi beberapa kali melirik ke belakang, lewat kaca tengah mobilnya. Melirik Jennie, kemudian melihat kekasihnya. Tidak ada maksud apapun, Jiyong hanya penasaran— apa benar mereka ibu dan anak? Bagaimana bisa? Mustahil, sulit dipercaya.

Jiyong langsung memutar bola matanya, berpaling saat tidak sengaja miliknya bertemu tatap dengan mata tajam Jennie. Untuk beberapa kesempatan, tatapan mereka memang sama-sama tajam. Tapi keduanya tidak seberapa mirip, apa mungkin Lisa mirip ayahnya? Tapi siapa ayahnya? Jiyong tidak bisa menebak siapa ayah kekasihnya itu.

Jennie melihat ke sebelahnya sekarang. Di lantai mobil, ada sekotak barang-barangnya. Baru saja ia bawa keluar dari lokernya di ruang latihan. Sedang di jok mobil, di sebelahnya, ia lihat beberapa botol whiskey, juga beberapa kotak vitamin kehamilan. Di tambah beberapa belanjaan lainnya, yang belum Lisa rapikan.

"Eonni hamil?" tanya Jennie, tanpa rasa bersalah tiba-tiba membuka mulutnya.

Lisa masih diam, ketika Jiyong tiba-tiba mengiyakannya. Mata gadis itu membulat sempurna sekarang. Tangannya langsung memegang perutnya sendiri. Ia tidak hamil, Lisa yakin sekali ia tidak hamil. Ia datang bulan sejak sore tadi, mana mungkin hamil? Lisa memelototi Jiyong sekarang, menatap tajam pria yang sedang menyetir itu.

"Iya, anakku, tapi jangan mengatakan apapun, pada siapapun, ini masih dirahasiakan," kata Jiyong, tetap melanjutkan kebohongannya. Sebuah kebohongan yang sebenarnya tidak perlu. Tipuan berlebihan yang justru bisa jadi bumerang untuknya, bisa menghancurkannya.

"Whoa," gumam Jennie, sengaja memajukan tubuhnya, mendongak ke depan untuk melihat Lisa dari samping. Memperhatikan gadis yang dibilang hamil itu. "Lalu bagaimana? Kalian akan menikah? Kapan? Setelah perutnya buncit dan jelek?" tanyanya kemudian.

"Whoa... Kau benar-benar kurang ajar," komentar Lisa, heran dengan keberanian Jennie malam ini. Komentar gadis itu bukan komentar yang biasa ditunjukkan anak pelatihan pada seniornya. Hubungan mereka pasti lebih dari sekedar itu— nilai Lisa.

Dan benar saja, Jennie membuka mulutnya lagi. "Eonni tidak tahu? Bagaimana bisa seorang asisten tidak tahu? Aku pernah bernyanyi untuk lagunya Jiyong oppa. Kau tidak pernah mendengarkan lagunya? Atau memang tidak peduli?" tanyanya kemudian, kali ini membuat Lisa menoleh menatap Jiyong. Kenapa Jiyong tidak pernah memberitahunya? Kenapa Jiyong menyembunyikannya? Pria itu bahkan marah karena Lisa tidak memberitahunya kalau ia akan menemui Seunghyun. Bisa-bisanya dia merahasiakan lagu itu darinya?

"Kami bermesraan di MV-nya, iya kan, oppa?" susul Jennie, semakin membuat Lisa terkejut. Ia tidak pernah melihatnya! Lisa tidak pernah tahu ibunya muncul di sebuah MV. Ibunya sudah pernah debut? Muncul di sebuah MV sama seperti debut, kan? Gadis itu sibuk dengan keterkejutannya sekarang. Kenapa dia tidak pernah mencari MV-nya?

"Itu sudah lama-"

"Augh! Hari ini melelahkan sekali, aku mau tidur," potong Lisa, melirik sebal pada Jiyong, lantas merubah posisi duduknya. Sedikit menyamping, sedikit memunggungi Jiyong, melihat ke arah jendela mobil, lalu memejamkan matanya.

Tiba di restoran, Lisa jadi orang yang pertama turun. Ia berdiri di sebelah mobil itu setelah menutup pintunya. Ingin melangkah masuk ke restoran lebih dulu, tapi tidak ingin meninggalkan Jiyong juga ibunya berdua di mobil. Gadis itu menunggu, sampai akhirnya Jennie keluar dari mobil, kemudian Jiyong pun menyusul. Gadis itu melangkah lebih dulu sekarang, berjalan masuk ke dalam restoran dan Jiyong harus berlari kecil untuk mengejarnya.

"Kau marah?" bisik pria itu, merangkul Lisa tapi langsung berbalik, memberi tanda agar Jennie segera menyusul mereka.

"Hm... Kita bicara nanti," jawab Lisa, mengiyakannya, juga gadis itu lepaskan rangkulan Jiyong dari bahunya. Hanya melangkah masuk ke dalam restoran BBQ kemudian duduk di salah satu meja, paling sudut.

Mejanya melingkar untuk enam orang, Lisa mengambil duduk membelakangi pengunjung lain, menghadap ke meja alat makan dan bumbu tambahan, Jiyong duduk di sebelahnya, tanpa jeda. Lalu gadis itu menunjuk kursi di depannya, menyuruh Jennie untuk duduk di sana.

Jennie keliatan sedikit heran. Kenapa dia harus menuruti ucapan Lisa. Ia masih berdiri, menatap sinis pada Lisa. "Kau mau kena skandal setelah keluar dari agensi?" tanya Lisa, sekali lagi menggerakan tangannya agar Jennie duduk di depannya. Tepat di depan meja bumbu tambahan tadi.

"Duduk dimana saja," kata Jiyong, menyenggol kaki Lisa agar gadis itu tidak bersikap berlebihan.

Jennie menganggap Lisa hanya cemburu. Meski sebenarnya, gadis itu ingin duduk tepat di depan ibunya. Lisa ingin menatap ibunya ketika bicara, ingin memastikan kejujuran Jennie ketika mereka mengajaknya bicara. Gadis itu akhirnya menurut, tetap duduk di depan Lisa, persis seperti yang diperintahkan padanya.

Jiyong menghela nafasnya, berbisik agar Lisa berhenti bersikap berlebihan kemudian memanggil pelayan untuk memesan. Pria itu memesan empat porsi BBQ, dua nasi, dua sup, juga dua botol minuman keras. Lisa sudah makan sebelum mereka sampai di sana, gadis itu hanya akan mencicipi beberapa potong dagingnya.

"Bisa aku minta setengah porsi sup?" tanya Lisa, bertanya pada pelayan yang sekarang tersenyum canggung, ia tidak bisa memesan setengah porsi sup.

"Tambah satu porsi supnya," kata Jiyong, menengahi sebelum Lisa membatalkan niatannya untuk makan sup. "Aku yang akan makan setengahnya nanti," susulnya, kali ini sebelum Lisa keberatan dan membatalkan pesanannya.

Tidak ada banyak obrolan sampai makanan mereka datang. Jiyong melihat handphonenya, begitu juga dengan Jennie. Sementara Lisa hanya menghela nafasnya, terus memperhatikan Jennie sampai gadis itu yakin kalau Lisa sedang benar-benar cemburu padanya. Padahal aku belum melakukan apapun— anggap Jennie, menilai tingkah Lisa sekarang. Tentu Jennie tidak akan menduga, kalau Lisa sedang melihat ibunya dalam sosoknya sekarang. Kalau Lisa bukan cemburu padanya, tapi merindukannya.

Pesanan akhirnya datang, Jiyong memanggang daging di depannya, sementara Jennie mencicipi supnya. Lisa masih menyendok supnya, menyingkirkan tulang-tulang penuh daging ke mangkuk Jiyong. Hanya ia sisakan kuah sup itu untuk dirinya sendiri.

"Kau tidak ingin dagingnya?" tanya Jiyong dan Lisa mengangguk, mengatakan kalau ia mual. Hanya ingin ia hangatkan tenggorokannya dengan beberapa sendok sup panas. Lisa mual karena sudah makan semangkuk ramen sebelumnya, tapi bagi Jennie mual itu jadi tanda kehamilannya. Semua orang punya sudut pandangnya sendiri di sana. Apa yang masing-masing mereka percayai sangatlah berbeda.

"Bisa tolong ambilkan chili oil di belakangmu?" tanya Lisa, meminta Jennie untuk mengambilkan sebotol minyak cabai di meja, di belakangnya.

"Kenapa aku harus melakukannya?" tanya Jennie, sedang Jiyong hampir berdiri untuk mengambilkan botol minyak cabai itu. Pria itu berencana berdiri, tapi masih ada beberapa potong daging yang harus ia balik.

"Karena supku kurang pedas?" jawab Lisa, menatap Jennie seolah ingin mengatakan— apa susahnya berbalik dan meraih botol di belakangmu? Cepat ambilkan.

Jennie menghela nafasnya. Lantas ia putar pinggangnya, mengambil chili oil yang Lisa minta. Meletakannya ke meja, tepat di depan gadis yang membutuhkannya.

"Terima kasih, maaf sudah membuatmu dalam masalah," kata Lisa, menyindir sinis ibunya yang kesal hanya karena sebotol minyak cabai. Jiyong penasaran, sampai kapan ia harus bertahan di antara dua perempuan yang selalu bertengkar ini?

***

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang