45

229 49 10
                                    

***

Ini Kamis ke tiga belas setelah kelahiran Kim Eden. Seperti dua belas Kamis lainnya, Lisa menghampiri Dami, untuk melihat Eden. Awalnya ia datang ke birth care tempat Eden dan ibunya itu dirawat, lalu sekarang ia kunjungi mereka di rumahnya. Ia bantu Dami menjaga putranya, menggantikan popoknya, menemani pria kecil itu tidur, menggendongnya.

"Apa Jiyong yang menyuruhmu ke sini setiap hari?" tanya Dami, heran melihat Lisa yang terus muncul di depan pintu rumahnya. Ia rutin datang, di setiap hari Kamis, juga setiap kali Jiyong mengajaknya mampir. "Dia menyuruhmu belajar merawat anak? Kalian berencana punya anak?" herannya, melihat Lisa lebih banyak bergerak daripada baby sitter yang ia pekerjakan. Kekasih adiknya itu jauh lebih cekatan dibanding baby sitter profesional yang dibayarnya.

Dami senang dengan kedatangan Lisa. Ia merasa sangat terbantu oleh gadis itu. Berkat Lisa, di hari Kamis ia bisa sedikit bekerja. Tapi Jiyong tidak seberapa senang melihat kekasihnya di sana. Ia senang kakaknya menyukai kekasihnya. Ia senang melihat kekasihnya dekat dengan keluarganya. Ia senang setiap kali Lisa memikirkan keluarganya, memperhatikan keluarganya. Tapi rasa cemburu itu tidak bisa disembunyikannya. Ia membayangkan banyak skenario buruk setiap kali melihat Lisa bermain dengan Eden. Jiyong penasaran apa yang Lisa pikirkan setiap kali ia melihat Eden. Apa ia lihat Eden sebagai keponakannya? Atau sebagai kekasihnya?

Di hari lainnya, ia tengah duduk di meja makan, di rumah kekasihnya, baru selesai membaca semua kontrak dari agensi-agensi yang ingin bekerja dengannya. Lisa sudah memilih lima agensi dengan kontrak yang paling menguntungkan, meninggalkannya di atas meja agar Jiyong bisa membaca dan memilih sendiri tempat kerjanya.

Sedang Lisa berbaring di ranjang, terkekeh menonton video yang Dami kirim padanya. Video Eden yang sedang bermain sore tadi. Sudah dua jam Jiyong duduk, sibuk dengan pekerjaannya. Mereka hampir tidak bicara sepanjang waktu itu, Lisa ingin bermesraan, ia ingin berkencan, tapi gadis itu harus menahan dirinya. Jiyong harus bekerja, hanya Lisa yang bisa menahan dirinya, pria itu tidak akan bekerja kalau Lisa memanggilnya— sekali saja.

Ia mengerang sekarang, merasakan pegal di punggungnya setelah lama duduk di meja makan. Lisa menoleh melihatnya, kemudian tatap mereka bertemu dan gadis itu tersenyum. "Sebentar lagi," kata Jiyong.

"Santai saja, malam masih panjang- ah tidak, oppa harus tidur. Jam dua pagi nanti kita berangkat ke bandara," katanya, melihat jam yang masih menunjuk pukul tujuh.

"Kau sudah berkemas?" tanya Jiyong dan Lisa mengangguk, menunjuk empat koper di depan lemari dengan kakinya.

Jiyong bergumam untuk menanggapinya, lantas ia tundukan lagi kepalanya. Membaca lagi berkas-berkas dalam tabletnya. Menggeser beberapa halaman, lalu menghela nafasnya. Beberapa kali pria itu mengeluh, beberapa kali juga ia bertanya, namun tidak ia beri Lisa kesempatan untuk menanggapinya. Ia sedang bicara pada dirinya sendiri, sering kali begitu tiap bekerja. Lisa hanya ada di sana untuk bisa ia lihat.

Berselang tiga puluh menit setelahnya, pria itu bangkit. Sekali lagi ia mengerang, meregangkan tubuhnya yang pegal. Dengan santai ia melangkah ke lemari es, mengambil sebotol air mineral di sana, menenggaknya juga di sana. Jiyong pun meraih sebuah apel di sana, mencuci apel itu di bak cuci piring dan langsung menggigitnya.

Lisa memperhatikannya, lalu Jiyong melempar apel itu padanya. Lisa hampir tidak bisa menangkapnya, handphone gadis itu jatuh ke atas selimut ketika berusaha menangkap apel kekasihnya. "Ya!" serunya, kaget menerima apel itu.

"Pegang dulu, aku mau ke kamar mandi," kata Jiyong, kemudian melangkah meninggalkan dapur, masuk ke kamar mandi. Lisa menggerutu, mengatakan kalau Jiyong bisa meletakkan apel itu di atas piring, atau mangkuk.

Sambil menggerutu, Lisa mengigit apel itu. Memakan apel yang seharusnya ia jaga. Jiyong pasti akan menagihnya lagi sekeluarnya ia dari kamar mandi. Dan benar saja, pria itu menghampiri kekasihnya di ranjang, mengulurkan tangannya untuk menagih apelnya.

"Augh! Aku hanya menyuruhmu memegangnya!" komentar Jiyong, hanya menerima sisa apelnya, sedikit bagian tengah dekat biji apel itu.

"Ini baya penitipan barangnya," kata Lisa, dengan artikulasi yang tidak jelas dan mulut penuh apel. Ia sengaja memangkas seluruh sisi apel itu, menyimpannya di dalam mulut seperti tupai dengan kacang-kacangnya.

Lisa harus bersusah payah mengunyah apel-apel itu. Sedang Jiyong memaksakan senyumannya, kemudian menyentil dahi kekasihnya. "Untung saja aku tidak memukul perempuan," kata Jiyong. "Itu apel terakhir kita," susulnya, yang akhirnya hanya dapat dua gigit apel— saat pertama ia menggigitnya, juga sedikit sisa apel yang Lisa tinggalkan untuknya.

"Oh ya? Mau lagi?" tawar Lisa, sekarang menjulurkan lidahnya, menunjukan remah-remah apel yang sudah ia kunyah. "Ups," susulnya, langsung menelan semua apel itu sebelum Jiyong bilang iya.

Jiyong menghela lagi nafasnya. "Ini salahku karena mengencani anak-anak," keluhnya sekali lagi. Lisa terkekeh mendengarnya, lantas ia bangkit dari tidurnya, berlari kecil menghampiri Jiyong, tiba-tiba memeluknya. Tidak mengatakan apapun yang berarti, hanya memeluk Jiyong sembari memanggilnya.

"Oppa!" panggilnya, lalu mencium pipi pria itu. "Jiyong oppa," ulangnya sekali lagi, lalu mencium pipi yang kanan. Terus begitu, beberapa kali sampai Jiyong tidak tahan dan terkekeh karenanya.

"Augh! Kenapa kau sangat kekanakan hari ini?" tanya Jiyong, balas memeluk, sesekali juga balas mencium gadis di depannya itu.

"Hanya ingin?" jawab Lisa, ia pun tidak benar-benar tahu alasannya. "Kemarin saat aku ke rumah orangtuamu, aku bertemu Eden-"

"Lisa, sayang, jawab dengan jujur, kau menyukai Eden karena dia keponakanku yang masih bayi, dia hanya bayi, atau melihatnya sebagai mantan kekasihmu? Kenapa kau sering sekali menemuinya?" tanya Jiyong, menyela cerita Lisa meski ini bukan kali pertamanya bertanya begitu. Ia sudah beberapa kali menanyakan pertanyaan yang sama— dengan beberapa variasi pilihan kata.

"Uhm..." Lisa tidak langsung menjawabnya. Ia bosan ditanyai pertanyaan yang sama. Jiyong pun hanya akan mengelak kalau ia mengatainya pencemburu. "Karena dia bayi yang cantik? Dia bayi yang lucu? Aku melihatnya sebagai bayi, bukan mantan pacarku. Tapi lucu juga, mantan pacarku masih bayi, jadi meski aku memeluknya, menggendongnya- oh! Menggantikan popoknya juga-"

"Ya! Kenapa kau menggantikan popoknya?!" potong Jiyong, belum bersiap dengan jawaban Lisa kali ini. Hari ini, Lisa memberinya jawaban yang sedikit berbeda dari biasanya.

"Karena dia pup? Popoknya penuh? Sudah waktunya ganti popok?"

"Tidak, bukan itu, dia punya baby sitter, ada ibunya juga di sana, neneknya juga ada di sana, kenapa kau yang menggantikan popoknya?! Ya! Bagaimana bisa kau melihat- apa kau juga menyentuhnya?"

Lisa melepaskan pelukannya karena Jiyong tiba-tiba berteriak. Telinganya belum terbiasa dengan suara teriakan kekasihnya dari jarak dekat. Sambil melangkah ke ranjang, gadis itu berkata, "tentu saja aku melihat tubuhnya? Aku juga menyeka bokongnya? Dia pup? Mana mungkin tidak dibersihkan?" santai gadis itu.

"Kau terangsang saat melakukannya?"

Mendengar pertanyaan Jiyong, Lisa langsung berbalik. Dilemparnya kekasihnya itu dengan sekotak tissue di atas meja makan. Mengenai tepat di bahu Jiyong, meski tidak seberapa menyakitkan.

"Sinting!" bentak gadis itu, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Dia hanya bayi! Apa yang bisa dilihat darinya?! Melihat seorang pria dewasa tiba-tiba telanjang di depanku saja aku tidak akan terangsang! Bisa-bisanya oppa menuduhku punya pikiran kotor begitu?! Jahat! Aku marah!"

"Aku... hanya bercanda?"

"Pokoknya aku marah!" seru gadis itu, sekarang cemberut, lalu naik lagi ke ranjangnya. Tidur di tengah-tengah ranjang itu sembari merentangkan tangan dan kakinya. "Tidur sana di sofa! Aku marah!" katanya, kemudian menggulung selimutnya, menguasai selimut itu sendirian, tidak akan membaginya dengan Jiyong.

"Heish... Sayang, aku hanya bercanda," goda Jiyong, sengaja menghampiri Lisa, memaksa untuk memeluk gadis itu, sementara Lisa terus mendorongnya, memberontak.

"Ya! Lepas! Aku sedang marah sekarang!" protes Lisa, terus menggeliat, melepaskan diri dari dekap kekasihnya— meski tidak ada satupun usahanya yang berhasil.

***

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang