***
Jennie Kim datang lagi setelah Lisa keluar dari pusat pemulihannya, beberapa bulan sejak Alice dilahirkan. Begitu tiba di bandara, ia telepon Lisa. Memberitahu gadis itu kalau ia ada di Seoul sekarang, sembari bertanya apa mereka bisa bertemu. Tanpa bertanya alasan Jennie ingin menemuinya, Lisa langsung setuju. Mengatakan kalau mereka bisa bertemu di cafe sekitaran rumah Jiyong.
Orangtua Jiyong tidak menyukai Jennie, karena pertengkaran gadis itu dengan Paman Jiyong di rumah sakit tempo hari. Mereka tidak bilang kalau yang Jennie katakan itu salah, tapi sikapnya yang lancang membuat kedua orangtua Jiyong tidak nyaman. Meski tidak benar-benar menunjukkan emosi mereka, Lisa memilih untuk tidak mempertemukan lagi Jennie dengan mertuanya.
"Aku akan pergi menemui ibuku dulu," kata Lisa, memberitahu Jiyong yang hari ini tinggal di rumah. "Oppa bisa menjaga anakmu sendiri kan? Orangtuamu mungkin akan pulang dua puluh menit lagi, kakakmu juga ada di rumahnya kalau-"
"Ya! Tentu saja aku bisa menjaga putriku sendiri, pergilah, temui ibumu," potong Jiyong. "Tanya siapa pria yang dia kencani sekarang. Kau harus lahir agar putriku tidak menghilang, cepat pergi," usir Jiyong, dengan gerakan tangan kanannya, sementara yang kiri memegangi putrinya. Pria itu sedang menemani putrinya menonton pertunjukan boneka di TV.
"Tenang saja, ada banyak pantai di Jeju. Mungkin saja dia tidak berbohong soal one night stand itu," jawab Lisa, berlaga santai meski sebenarnya ia pun gugup karena tidak mendengar kabar apapun tentang kehamilan Jennie. Merasa dirinya mulai terdesak sebab khawatir ibunya tidak segera mengandungnya. Namun di saat yang sama, ia pun khawatir dirinya akan pergi tepat setelah Jennie melahirkannya, atau justru saat mengandungnya?
Kepergian Lisa membuat Jiyong menghela nafasnya. Sama seperti Lisa yang luar biasa khawatir tapi berusaha terlihat santai, Jiyong pun begitu. Di peluknya Alice setelah pintu rumahnya tertutup. Ingin ia sandarkan dagunya di bahu putri kecilnya itu, tapi karena sang putri tidak akan mampu menahannya, hanya ia peluk bayi kecil itu.
"Kalau nanti ibumu pergi, kau jangan terlalu membencinya ya, sayang?" bisik Jiyong, meski tahu sang putri tidak akan memahami ucapannya. Bayi kecil itu hanya bisa tertawa, menangis lalu menepuk-nepuk dan tentu saja buang air.
Tiba di cafe, Lisa melihat Jennie sudah duduk di salah satu kursinya. Gadis itu melambai, dan Lisa datang menghampirinya. Bergabung di meja yang sudah punya dua minuman di atasnya. "Jus kiwi lagi? Oh ayolah aku sudah bosan minum ini," komentar Lisa, melihat minuman yang sudah Jennie pesan untuknya.
"Kalau begitu jangan di minum," tenang Jennie, yang kemudian meletakkan sebuah amplop untuk Lisa. "Hutangku, dengan bunga 50%, lunas," kata gadis itu. Mengacak-acak perasaan Lisa sekarang. Merasa kalau alasannya tinggal baru saja berkurang lagi. Tidak ada lagi hutang yang harus ia tunggu.
Lisa meraih amplop itu. Menghitung isinya kemudian mengangguk. Mengatakan kalau hutang Jennie sudah lunas sekarang. "Apa saja yang kau lakukan di Jeju? Sampai bisa mengumpulkan uang sebanyak ini?" tanya Lisa, berlaga penasaran meski sebenarnya ia ingin tahu— apa Jennie mengencani seseorang yang mau membayar hutangnya?
"Bekerja di cafe suamimu," tenang Jennie. "Beberapa kali kerja sambilan juga," susulnya.
"Menyanyikan demo lagu orang-orang?" tanya Lisa dan Jennie mengangguk.
Beberapa produser menghubunginya, memintanya untuk menyanyikan lagu demo mereka. Ia mulai terkenal di bidang itu, diantara para produser, sejak membantu Seunghyun menyanyikan demonya. Alasannya sederhana— Jennie mudah diarahkan. Setiap nadanya, ia sesuaikan dengan keinginan tiap produser itu. Tidak ada improvisasi, tidak ada bantahan. Ia bernyanyi ketika disuruh bernyanyi, ia kuga mengulangnya ketika disuruh begitu.
"Kau tidak ingin merilis lagumu sendiri? Bukan hanya menyanyikan lagu demo untuk orang-orang?" tanya Lisa, menanggapi anggukan Jennie.
"Debut dengan latar belakang keluargaku yang kacau ini? Tidak," Jennie menggeleng sekarang. "Aku hanya ingin hidup tenang, dan sepertinya aku sudah mendapatkannya sekarang, hidup tenang," katanya.
"Kelihatannya Jeju membawa banyak keberuntungan untukmu. Apa disana kau juga mengencani seseorang?" tanya Lisa, berusaha terdengar santai, meski pertanyaannya terlalu tiba-tiba, sama sekali tidak terdengar alami. Ia memaksakan obrolan itu, sebab tidak bisa menahan kekhawatirannya.
Sambil tersenyum, malu-malu, Jennie menganggukan kepalanya. Lisa ikut tersenyum saat mendengarnya, maka ia tanyakan siapa pria itu. Meminta Jennie untuk mengenalkan pria itu padanya. Gadis itu menggeleng sekarang, mengatakan kalau Lisa sudah pernah melihat pria itu.
"Aku mengenalnya? Siapa?" tanya Lisa, penasaran. Mulai menebak-nebak siapa yang Jennie bicarakan sekarang.
"Eonni sudah melihatnya," jawab Jennie, masih dengan senyum malu-malunya. "Kau ingat tetanggaku dulu kan? Rumahnya di sebelah rumahku, kau melihatnya saat mengunjungi rumah Seunghyun oppa. Kau juga pernah bertanya tentangnya— dia atau Mino oppa, kau ingat?"
"Dia atau Mino? Maksudmu... Lee Jaewook?" tanya Lisa, lalu Jennie mengangguk lagi. Masih dengan senyum cantiknya yang kelihatan canggung, kelihatan malu tapi juga bahagia disaat yang sama.
"Bagaimana kau tahu namanya?" tanya Jennie, dan sekarang Lisa kebingungan. Ia cari-cari alasan, kemudian mengatakan kalau Seunghyun yang memberitahunya. Mengaku kalau ia bertanya pada Seunghyun tentang pria yang dilihatnya bersama Jennie di trotoar, kala itu. "Wah... Kau diam-diam membicarakanku dengan orang lain?" komentar Jennie, menanggapi pengakuan itu.
"Aku hanya bertanya," kata Lisa, berusaha tetap tenang. "Wajar saja kalau aku penasaran. Kau berkencan dengan Mino, memanfaatkannya, tapi memeluk pria lain. Normal sekali kalau aku ingin tahu siapa pria itu," susulnya. "Tapi... Daripada Mino, kau memilih Lee Jaewook? Kenapa? Mino kelihatan lebih baik daripada pria itu?" tanyanya, penasaran.
Tentu Lisa penasaran. Ia luar biasa penasaran. Kalau ditahun ini ibunya berkencan dengan ayah tirinya itu, kalau sekarang mereka saling mencintai, apa alasan dimasa depan Lee Jaewook membenci mereka?
"Mino oppa lebih baik? Kalau soal itu aku tidak tahu, setelah keluar dari agensi, aku tidak menemuinya lagi. Tapi, daripada bersama orang yang menyukaiku, aku lebih suka berkencan dengan orang yang aku sukai," katanya kemudian. "Aku sangat menyukainya-"
"Kenapa? Karena dia kaya?"
"Tidak," Jennie menggeleng meski ucapannya tadi disela. "Dia menarik. Sangat menarik... Bagaimana mengatakannya? Uhm... Sangat... bad boy? They say, 'all good boys go to heaven' but bad boys bring heaven to you. Aku masih ingat bagaimana pertama kali kami bertemu, sentuhan pertamanya... rasanya seperti dia membuatkan sebuah taman super indah di hatiku, aku sangat menyukainya."
Jennie kelihatan sangat bahagia sekarang. Sangat menyukai pria itu. Sedang Lisa, mulai merasakan denyut di kepalanya. Rasa pening di kepalanya muncul sejak Jennie mulai menyinggung fantasinya— setelah apa yang dilakukan ayahnya, gadis ini masih bisa jatuh cinta pada seorang pria berengsek yang ia labeli bad boy?— Lisa tidak habis pikir.
"Aku rasa aku akan menikahinya, pria itu, aku sangat menyukainya," susul Jennie, yang Lisa tanggapi dengan helaan nafas berat— ya, kau akan menikahinya, nyonya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ashes
أدب الهواةI can't hold you like the ashes You're spreading out Searching for your scent to call you back I can't see you through the flash My eyes are blurred Searching for your flashback in my mind 🎶 Ashes - Zior Park ft. Ai Tomioka