36

256 52 2
                                    

***

Lisa membawa ibunya pulang. Khawatir Jennie mungkin akan dimarahi ayahnya kalau diantarkan pulang dalam keadaan mabuk, Lisa membawa gadis itu ke rumahnya. Tentu setelah ia menurunkan Jiyong di rumahnya sendiri. "Kau benar-benar yakin bisa menyetir pulang? Menginap saja di sini," tawar Jiyong tapi Lisa menolaknya. Mengatakan kalau ia ingin pulang ke rumahnya, bersama ibunya yang mabuk.

"Aku akan meneleponmu begitu sampai," janji Lisa, bersikeras untuk tetap pulang.

Tidak sampai lima belas menit, Lisa tiba di rumahnya. Meski berat, akhirnya ia berhasil merebahkan Jennie di ranjangnya. Berhasil juga melepaskan sepatu wanita itu, lantas diteleponnya Kwon Jiyong. Hanya ingin mengabari pria itu kalau ia sudah sampai di rumah dengan selamat.

Sepanjang sisa malam itu, Lisa tidak bisa tidur. Jennie mengingau di ranjangnya. Mengatakan banyak hal, sesekali juga menangis. Lisa mendengar beberapa hal yang sudah diketahuinya. Tapi hatinya tetap nyeri mendengar ibunya sendiri yang mengatakan itu.

"Aku hanya ingin dia melihatku," katanya, sangat pelan. "Aku putrinya, tapi dia membenciku. Aku sudah membunuh kekasihnya, belahan jiwanya... Dia tidak bisa memaafkanku," isaknya kemudian. Seumur hidupnya Lisa tidak pernah mendengar ibunya berkata begitu.

Semalaman Lisa mendengarkan Jennie mengeluh, menangis. Ia terbiasa mendengar ibunya marah, mengeluh mengomentari dunia yang tidak terasa menyenangkan untuk mereka. Tapi tidak sekali pun ia mendengar ibunya menangis. Tidak sekalipun ia dengar ibunya memohon seperti sekarang.

Lisa merasa beruntung, meski ibunya tidak benar-benar baik, setidaknya wanita itu berusaha. Meski banyak rumor miring tentangnya, setidaknya sang ibu tidak meninggalkannya, tidak membencinya, tidak mengabaikannya. Lisa harus bersyukur sebab sang ibu masih menyayanginya— meskipun wanita itu super menyebalkan.

"Eomma, maaf," pelan Lisa kemudian. Mengusap helai rambut gadis mabuk di ranjangnya. "Masa depanmu akan lebih sulit dari sekarang, maaf... Karenaku kau akan lebih menderita dari sekarang. Maaf... Aku tidak bisa merubah masa depanmu. Aku... Aku ingin dilahirkan, maafkan aku, ya?" katanya, bicara pada seorang yang nantinya tidak akan mengingat ucapannya.

Begitu pagi datang, Lisa yang sepanjang malam terjaga di telepon kekasihnya. Jiyong menanyakan kabarnya. Pria itu menawarkan diri untuk datang, kalau Lisa perlu beberapa pelukan. Tapi tujuannya menelepon hanya untuk mengatakan agar Lisa tetap di rumah hari ini. Agar gadis itu bisa beristirahat, menenangkan dirinya, atau lebih baiknya berdamai dengan ibunya. Jiyong merasa buruk, sebab sudah satu tahun Lisa ada di sana, tapi gadis itu terus bersamanya. Lisa tidak pernah menghabiskan waktu bersama ibunya. Jiyong baru menyadarinya kemarin, kalau ia terlalu mengikat kekasihnya, asistennya. Ia seharusnya memberi lebih banyak hari Kamis untuk Lisa. Memberi gadis itu waktu lebih banyak untuk memperbaiki dunianya, ibunya.

Lisa memasak setelah menelepon. Tapi seperti yang sudah di duganya, Jennie tidak bangun sampai jam makan siang datang. Sepanjang penantiannya— menunggu ibunya bangun— Lisa hanya duduk di meja makan, melamun, mengingat-ingat bagaimana hidup ibunya selama ini. Mengingat bagaimana ia memperlakukan ibunya selama ini.

Begitu bangun, Jennie melangkah ke kamar mandi. Masuk ke sana, menahan denyut di kepalanya. Berdiri di tengah-tengah ruangan besar itu, melihat sekeliling sambil merasakan mual di perutnya. Peralatan mandi di sana bukan hanya untuk perempuan. Sebagiannya untuk laki-laki, melihatnya Jennie tahu kalau Lisa dan Jiyong tinggal bersama.

Lama gadis itu berada di sana. Jennie terus duduk di atas closet sampai dirasakannya dadanya tenang. Berhenti berdegup dengan begitu keras, menyesakan dadanya. Sedang Lisa menghangatkan lagi sup yang ia buat sebelumnya. Selang hampir satu jam, mereka akhirnya makan bersama. Lisa bantu Jennie mengatasi pengar di kepalanya dengan sup dan secangkir teh tanpa mengatakan apapun.

"Bagaimana rasanya tinggal bersama kekasihmu? Apa menyenangkan?" tanya Jennie, tanpa menoleh untuk melihat perempuan di depannya.

Lisa sempat terdiam, tidak langsung menjawab pertanyaan itu. "Kau ingin merasakannya?" kata gadis itu, pada akhirnya hanya bisa balas bertanya. Sebab tidak diketahuinya, jawaban yang ingin Jennie dengar sekarang.

"Merasakannya? Tinggal dengan kekasihmu?"

"Kekasihku? Uhm... Kau ingin tinggal bersama Jiyong oppa? Kalau dilihat dari kepribadian kalian... Kau tidak akan menyukainya," tenang Lisa, tidak terjebak dalam lubang kecemburuan yang Jennie buat untuknya. "Untukmu Jiyong oppa akan sangat mengekang. Mengencani dua orang sekaligus? Kau tidak akan bisa melakukannya. Dia bahkan mengatur gaya rambut dan pakaianmu."

"Untuk apa mengencani dua orang kalau dia sudah memberimu segalanya? Uang dan perhatian? Sekaligus?" tanya Jennie, menunjuk seisi rumah itu dengan sumpitnya.

"Biar aku tebak," kata Lisa, menanggapi ucapan Jennie barusan. "Song Mino memberimu uang, lalu pria yang datang ke rumahmu, memberimu perhatian, begitu?"

Jennie tidak mengatakan apapun. Hanya ia lihat gadis di depannya. Menatap langsung ke matanya. Seolah tengah mencari senjata menyakitkan untuk membalas pertanyaan Lisa barusan.

"Tidak apa-apa," kata Lisa karena Jennie tidak mengatakan apapun. "Ibuku pernah bilang, jangan percaya siapapun. Manfaatkan semuanya, temanmu, kekasihmu, keluargamu. Mereka juga akan memanfaatkanmu, jadi tidak apa-apa. Tidak ada yang gratis. Pakai otakmu, jangan hanya mengikuti hatimu. I thought she was a cold blooded bitch, tapi setelah dewasa, aku bisa mengerti kenapa dia bilang begitu."

"Kau beruntung, punya ibu yang bilang begitu padamu," jawab Jennie.

"Hm... Aku beruntung," angguk Lisa. "Ibuku melakukan apapun untukku. Saat sekolah dasar, teman-temanku sudah pergi bimbel untuk kuliah. Mereka ikut banyak kelas untuk portofolio mereka. Tapi aku tidak punya ayah, ibuku juga bukan orang kaya. Aku tidak bilang, ibuku sudah melakukan sesuatu yang baik, tapi dia berusaha. Dia tahu dia cantik, jadi dia dekati ayah beberapa temanku. Mendekati mereka hanya untuk dapat salinan buku sekolah anak-anak mereka. Karena para ibu yang bekerja sangat keras untuk mendapat semua buku-buku itu, dia tahu dirinya tidak akan dapat apa-apa kalau mendekati mereka. Karena itu dia memilih ayah teman-temanku. Apa ruginya menukar satu salinan dengan makan malam yang sangat manis? Toh salinan itu tidak akan banyak berguna kalau dia tidak ikut bimbelnya— begitu yang mereka pikirkan. Karena itu aku harus belajar, aku harus kuliah, jadi aku tidak perlu melakukan itu untuk anakku nanti," cerita Lisa.

"Ibumu melacur hanya untuk beberapa salinan? Wah... Lalu sekarang putrinya mengencani G Dragon? Hidupmu bisa hancur berantakan kalau orang-orang sampai tahu."

"Dia tidak tidur dengan mereka. Hanya makan malam," tenang Lisa, sama sekali tidak marah mendengar Jennie bicara begitu tentang dirinya sendiri. Saat itu, sama seperti Jennie sekarang, Lisa pun pernah menuduh ibunya melacur. Ia pernah sangat marah karena berfikir ibunya melacur.

"Kau percaya itu? Orang-orang yang selingkuh hanya butuh seks. Kau ternyata cukup naif, eonni," ketus Jennie, merasa seolah dirinya baru saja menang mengalahkan Lisa— tanpa ia tahu kenapa dirinya harus merasa begitu.

"Kau selingkuh karena butuh seks? Kalau kau hanya butuh seks, kenapa kau memperlakukan Mino dengan sangat baik sampai dia rela diduakan? Cinta tidak buta, Mino tidak buta. Dia hanya membayar harga yang kau berikan padanya. Mungkin dia hanya sedikit bodoh? Karena sudi membayar sesuatu yang tidak sepadan? Tapi apa masalahnya? Dia mau membayarnya, dia merasa bisa membayar harga dari perhatian yang kau tawarkan padanya. Bahkan ada orang yang mau membayar puluhan juta untuk kursi jelek di balkon itu. Selama kau bisa dan mau membayarnya, apa salahnya?"

"Itu yang ibumu katakan?"

"Hm..."

"Cold blooded bitch, istilah itu cocok untuknya."

"Aku tahu."

"Tapi kenapa setelah lama bertahan diselingkuhi, orang itu berubah lalu marah?"

"Mereka sudah sadar, kalau apa yang mereka bayar ternyata tidak sebanding. Mereka sadar kalau Gucci yang selama ini mereka beli ternyata Aguccim."

***

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang