62

227 52 5
                                    

***

Dalam studio rekaman, Choi Seunghyun sudah berkali-kali menenggak wine-nya. Pria itu duduk di depan keyboardnya. Menekan beberapa tuts, menulis di kertas, kemudian meremas kertas itu dan melemparnya ke lantai. Sudah berkali-kali ia melakukannya, sampai Jiyong datang dan meledeknya.

"Berhenti dulu kalau kau tidak bisa melakukannya," kata Jiyong, alih-alih membantu Seunghyun menulis lirik untuk lagu barunya. Pria itu tengah mengerjakan sebuah albumnya, lalu diantara semua lagu hip hop penuh rapp yang sudah disiapkannya, ingin ia sisipkan sebuah lagu ballad. Rapp ballad, ia ingin bernyanyi dengan seorang perempuan. Seperti Mad Clown dan Soyou, atau Epik High dan Younha, bisa juga Real.be dan Punch.

Seunghyun sudah menyelesaikan bagian rappnya, tapi ia tidak bisa menulis lirik untuk bagian balladnya. Penyanyi wanita yang ingin diajaknya berkolaborasi pun belum ia putuskan. Ia sama sekali tidak punya gambaran sempurna atas lagunya kali ini. Ia ingin mencobanya, hanya ingin mencobanya, lalu sekarang kesulitan karenanya.

"Omong-omong kau tahu Lee Jaewook?" tanya Jiyong kemudian. "Lisa bilang Jennie berkencan dengan Lee Jaewook, kau tahu sesuatu tentang mereka?" susulnya penasaran.

"Lee Jaewook? Aku tahu orangtuanya," angguk Seunghyun. "Ayah ibunya kaya raya, kakek neneknya pun kaya raya, Lee Jaewook generasi ketiganya. Aku rasa dia sedang sangat stress akhir-akhir ini. Perebutan tahta sudah berlangsung di perusahaannya, dia bersaing dengan paman bibinya, sepupunya juga," ceritanya.

"Kau tahu sampai sejauh itu, hyung? Aku tidak tahu kalau kau peduli pada tetangga-tetanggamu."

"Beritanya muncul dimana-mana," tenang Seunghyun. "Kakeknya sudah lama koma, lalu ayahnya Lee Jaewook mulai kena rumor sakit jantung juga. Lalu Lee Jaewook anak tunggal, tidak sulit menebak hidupnya sekarang."

"Meski begitu dia masih sempat berkencan?"

"Justru disaat begini dia harus berkencan, agar tetap waras," santai pria itu, tapi langsung diam ketika Jennie datang.

Gadis itu datang dengan dress selutut berwarna hitam juga sebuah jas laki-laki yang Jiyong dan Seunghyun tebak kalau itu milik Lee Jaewook. Rambutnya panjang, tergerai dengan beberapa gelombang yang cantik. Wajahnya dirias, tentu juga terlihat cantik, tapi gadis itu terlihat kesal sekarang.

"Sudah aku bilang aku pergi kencan hari ini," gerutu Jennie.

"Aku juga sudah menyuruhmu datang setelah berkencan," balas Seunghyun, juga tidak menduga Jennie akan datang secepat itu. Seunghyun pikir, gadis itu baru akan datang tengah malam nanti. "Gadis ini benar-benar aneh. Aku yang membayar tiket pesawatmu ke sini, aku yang minta izin bosmu agar bisa cuti, aku juga yang harus menunggumu berkencan? Augh! Bekerja dengan orang kasmaran benar-benar menyebalkan!" gerutu Seunghyun, seolah ingin mengadu pada Jiyong.

Jiyong mengangkat bahunya. Ia tidak peduli, bekerja atau tidaknya Jennie di Jeju pun tidak banyak berpengaruh pada cafenya. Ia mengizinkan Jennie bekerja dengan sangat bebas di sana pun hanya karena Lisa yang memohon padanya. Apapun yang Jennie lakukan tidak berpengaruh pada Jiyong— kecuali aktifitas seksual gadis itu, yang mungkin akan berpengaruh pada keberadaan istrinya.

"Kalau terus bilang begitu, kau tidak akan bisa berkencan, oppa," komentar Jennie.

"Memang siapa yang mau berkencan? Berkencan, menikah apalagi punya anak, aku tidak mau melakukan semuanya! Merepotkan," tolak Seunghyun, lantas menunjuk Jiyong yang sekarang meraih handphonenya. "Lihat dia, itu, lihat orang itu, bahkan disaat begini dia masih harus menelepon istrinya. Tiap bekerja dia harus selalu mengabari istrinya, merepotkan," katanya, menjadikan Jiyong sebagai contoh keluhannya.

"Aku tidak harus melakukannya. Aku yang ingin melakukannya," santai Jiyong, kemudian menelepon Lisa. "Punya seseorang yang bisa aku hubungi saat harus menunggumu selesai mengomel benar-benar menyenangkan. Aku akan menjemput Lisa dulu, dia masih di rumah Yongbae sekarang. Satu jam lagi aku kembali ke sini. Akan aku bawa Yongbae juga nanti, mulai saja duluan," pamit Jiyong, lantas bangkit dari duduknya. Menelepon Lisa sembari melangkah pergi ke tempat parkir.

Ditinggalkan berdua, mereka terus berdebat. Jennie menggerutu karena harus bekerja ketika ia sudah siap berkencan. Juga mengeluh karena saat makan malam bersama kekasihnya tadi, Jaewook harus pergi karena ditelepon orangtuanya. Bukan Seunghyun pelaku utama gagalnya kencan Jennie malam ini, tapi gadis itu ingin menyalahkannya. Ia hanya butuh seseorang untuk disalahkan dan Seunghyun adalah tokoh paling pas dalam ceritanya. Sebab pria itu tidak akan terlalu ambil pusing meski Jennie mengoceh, menyalahkannya.

Hampir tiga puluh menit mereka berbincang— setengah berdebat— sembari menunggu Jennie siap untuk bekerja. Jas yang sebelumnya hanya ia sampirkan di bahunya, kali ini dipakainya. Dikancingkan juga jas itu di depan dada dan perutnya, lalu ia ikat rambutnya. Sementara Seunghyun masih mencoba untuk menulis beberapa lirik, Jennie menghapus riasannya, melepaskan juga sepatu hak tingginya. Ia siap untuk bekerja sampai pagi sekarang.

Jennie duduk di sebelah Seunghyun, membaca beberapa lirik yang sudah Seunghyun tulis, sementara pria itu masih mencoba menulis lirik-lirik lainnya. Sesekali Jennie mencoba menyanyikan lirik yang Seunghyun tulis, tapi sama seperti penulisnya, ia pun merasa canggung ketika menyanyikannya.

"Oppa, boleh aku mencobanya?" tanya Jennie, ingin mencoba memasukan beberapa lirik dalam sepotong nada yang sedari tadi Seunghyun mainkan.

"Hm... Cobalah," suruh pria itu, lantas memainkan dari awal alunan musik buatannya.

Satu kali mencoba, Jennie ketinggalan nadanya. Yang kedua kalinya, gadis itu menggumam ditengah-tengah nadanya, sebab tidak ia temukan lirik yang cocok untuknya. Percobaan ketiga, Jennie bernyanyi dengan begitu lancar, hingga Seunghyun mengerutkan dahinya— ia menyukainya.

"Bagaimana?" tanya Jennie, sebab ia berhasil menyanyikan sebait lirik yang sedari tadi membuat Seunghyun kesulitan.

"Hm?" Seunghyun bergumam, tanpa sadar menunjukan kebingungannya.

"Hm? Oppa menyukainya?" tanya Jennie, sedikit ragu sebab reaksi Seunghyun tidak seberapa memuaskan.

Seunghyun bisa menertawakannya, bisa juga mengomelinya— kalau ia tidak menyukainya. Atau kalau sebaliknya, pria itu bisa memujinya. "Bagus, yang tadi bagus," setidaknya Seunghyun bisa bilang begitu, tidak hanya melihatnya, dengan tatap yang tidak biasa.

Jiyong kembali bersama Yongbae setelah mengantar Lisa juga anaknya pulang ke rumah. Tidak ada pembicaraan tentang kembali ke masa depan dalam perjalanan itu. Lisa meminta Yongbae untuk merahasiakannya— pembicaraan mereka hari ini. Termasuk hadiah yang Lisa titipkan untuk Jiyong. Semua kekhawatirannya, Lisa tidak ingin membaginya dengan Jiyong. Berlaga kalau semua akan baik-baik saja, menjadi pilihan mereka— Lisa juga Jiyong.

Tiba di depan studio rekaman tempat Seunghyun menunggu mereka, langkah Yongbae berhenti. Pria itu yang melangkah di depan, sedang Jiyong mengekor sambil mengirim pesan pada istrinya. Memberi kabar kalau ia dan Yongbae sudah sampai di studio. Yongbae bisa menunggu sampai mereka duduk di dalam studio untuk mengabari istrinya, tapi Jiyong tidak begitu. Setiap kali ada kesempatan, selalu ia kirimi Lisa pesan. Tentu bagi pria itu— meski tidak pernah terang-terangan menunjukannya— waktu adalah segalanya. Kalau bisa, kalau memungkinkan, Jiyong pasti ingin selalu bersama Lisa. Menghabiskan waktu yang mungkin akan hilang begitu saja.

"Whoa-" Yongbae tidak bisa melanjutkan ucapannya. Jiyong sudah lebih dulu menabrak punggungnya.

Dari kaca di pintu studio itu, bisa mereka lihat, dalam studio yang gelap, Seunghyun mencium Jennie. Bukan hanya kecupan, bukan juga ciuman ringan yang berbalas. Seolah tengah sama-sama mabuk, keduanya saling melahap bibir satu sama lain.

"Ayah mertuamu... Choi Seunghyun?" gumam Yongbae, sedang di sebelahnya, Jiyong hanya membeku karena bingung, terkejut, tidak bisa mempercayai apa yang baru saja dilihatnya.

Meski selanjutnya, keterkejutan itu tidak bisa berlangsung lama. Ketakutan menyerangnya. Bagaimana kalau malam ini Lisa menghilang? Tanpa bisa memikirkan apapun, Jiyong berlari kembali ke mobilnya. Mengemudi secepat yang ia bisa, kembali ke rumah.

***

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang