***
Sepulang dari rumah sakit, hari masih sangat pagi. Sembari menutupi wajah dengan masker dan topinya, Jiyong melangkah ke tempat parkir. Sedang Lisa mengekor di belakangnya sembari membawa semua barang-barangnya. Tanpa izin darinya, Jiyong membelikannya beberapa pakaian, handphone juga sepatu. Melihat Lisa sedari kemarin hanya memakai slippernya, membuat Jiyong merasa perlu membelikannya sepatu.
"Apa kau bisa menyetir?" tanya Jiyong, dalam perjalanan menuju tempat tinggalnya.
"Bisa," tenang Lisa. "Aku punya lisensi menyetir truk, forklift dan sepeda motor juga, skuter juga," katanya.
"Kenapa kau butuh semua itu untuk jadi sekretaris?"
"Kerja sambilan," jawab gadis itu. "Tapi lisensinya tidak berguna di sini, iya kan? Bentuk lisensinya berbeda kan?"
"Aku hanya perlu kau bisa menyetir," kata Jiyong. "Kecuali tertangkap, tidak akan ada yang tahu kalau kau tidak punya lisensi, atau mau mencari lisensi di sini? Tapi kau tidak punya ID card juga, bagaimana? Mau membuat ID card palsu seperti di film-film?"
"Apa yang akan terjadi kalau aku tertangkap menyetir tanpa lisensi?"
"Denda."
"Hm... Dendanya besar?"
"Tidak tahu, aku tidak pernah membayar dendanya," kata Jiyong. "Ah... Kau mau gaji diawal?" tanya pria itu dan Lisa menganggukan kepalanya. Ia bersedia menerima setengah gajinya di awal, karena sekarang Lisa sama sekali tidak punya uang.
Jiyong tinggal di sebuah apartemen mewah sekarang. Ia tinggal di penthouse gedung apartemen itu, bersama orangtuanya. Untuk sementara Lisa akan tinggal di rumah itu, bersama Jiyong juga kedua orangtuanya. Kali ini mereka tidak punya cukup waktu untuk mencari dan menyewa rumah terpisah.
Begitu masuk, dua ekor kucing menyambut mereka. Keduanya berlari menghampiri Jiyong, mengusap-usapkan tubuh mereka ke kaki pria itu. Lisa diam saja, seolah tidak tertarik. Sedang Jiyong meliriknya, menebak kalau gadis itu tidak suka kucing. "Ini Iye dan Zoa," kata Jiyong memperkenalkan kucingnya. "Aku akan merawat mereka sendiri," susulnya sebelum ia membawa Lisa masuk lebih dalam.
Setelah berjalan melewati lorong dengan sebuah rak sepatu dan beberapa lukisan, mereka bertemu dengan ruang tengah yang luas. Ada juga dapur terbuka dan meja makan di sisi kanannya. "Kamar di sana untuk orangtuaku," kata Jiyong menunjuk pada sisi kiri ruang tengah rumahnya yang mirip museum itu. Ada terlalu banyak karya seni di sana.
"TV, dapur, makanan, pakai saja sesuai kebutuhanmu," susul Jiyong, kali ini menunjuk dapur dan meja makannya. "Kamar kita di atas," katanya kemudian, kali ini menunjuk tangga yang ada di sebelah dapur.
"Aku tidak tidur di kamarmu kan?" tanya Lisa, dan Jiyong menggeleng.
"Kamar tamu yang bisa kau pakai ada di atas," jawab Jiyong. "Kamar tamu di bawah sudah jadi hak milik kakakku dan suaminya," sekarang Jiyong melangkah ke atas, mengajak Lisa untuk melihat kamar tamu yang akan ditempatinya. "Ini kamarmu, aku sudah menyuruh orang untuk membersihkannya," katanya sembari membuka pintu kamar di sebelahnya. "Di sebelahnya kamar tamu lain, kosong, lalu pintu yang itu lemari pakaianku, yang di ujung sana, itu kamarku. Di sebelahnya studio," kata pria itu sekali lagi menunjukkan bagian-bagian rumahnya.
Lisa mengangguk, ia masih bisa mengingatnya. Kini sebuah suara dari bawah terdengar. Nyonya Kwon memanggil putranya. Jiyong bergerak ke railing di sebelahnya. Ia menoleh ke bawah, melihat ibunya di sana. Di depan semua kamar yang Jiyong bicarakan tadi, hanya ada railing yang menyatu dengan railing tangga, lalu lampu gantung untuk menghiasi ruang tengah. Lantai dua penthouse itu tidak penuh menutupi seisi rumah.
"Gadis yang kau bicarakan sudah datang? Kalian sudah sarapan?" tanya sang ibu, berteriak dari bawah.
"Belum! Tapi aku mau tidur, aku tidak mau sarapan," balas Jiyong, juga berteriak. Tidak seberapa keras, karena jarak mereka memang tidak terlalu jauh. "Turun lah menyapa ibuku, sarapan juga di bawah. Sekitar jam 1 siang nanti, bangunkan aku, ada MT agensi hari ini. Sebagian jadwal pentingku sudah aku taruh di kamarmu, pelajari sendiri," katanya sebelum ia melangkah meninggalkan Lisa di depan pintu kamarnya.
Lisa menahannya. Bertanya pada Jiyong, apa yang harus ia katakan pada ibunya. "Aku tidak memberitahunya tentang darimana asalmu," kata pria itu. Mereka perlu menyesuaikan ceritanya.
Lepas ia masukan semua barang-barangnya ke kamar, Lisa melangkah turun menghampiri ibu dari tuan rumah itu. Lisa berpapasan dengan Iye dan Zoa di tangga, sempat sedikit terkejut hingga ia hampir jatuh membentur railing tangganya. Dua kucing itu berlarian, masuk ke kamar Jiyong sedang Lisa menekan dadanya sendiri. Mengatur nafasnya, menghilangkan rasa takutnya.
"Mereka tidak akan masuk kamarku, kan?" gumam gadis itu, masih sembari memperhatikan kucing-kucing tadi menerobos masuk ke kamar Jiyong yang pintunya tidak di tutup rapat.
"Halo," ia kemudian menyapa wanita paruh baya di dapur. Mengenali wanita itu sebagai ibu bosnya. Dengan sopan, Lisa mengenalkan dirinya dan untungnya, ia diperlakukan dengan baik di sana.
"Tolong bantu putraku," kata wanita paruh baya itu, sembari mengusap lengan Lisa. "Duduklah, aku akan menyiapkan sarapan untukmu," susulnya.
"Tidak, tidak perlu repot-"
"Aku tidak kerepotan, lagi pula aku juga akan sarapan, kita makan bersama. Duduk lah, atau kalau kau tidak lelah, kau bisa melihat-lihat," potong Nyonya Kwon, menolak Lisa di dapurnya.
Lisa membeku sekarang. Berdiri mematung, kebingungan harus berbuat apa. Ia tidak pernah menyadarinya sebelumnya, tapi kali ini gadis itu merasa baru saja tertampar kenyataan- ia tidak pernah diperlakukan sebagai tamu sebelumnya, ia tidak tahu bagaimana harus bersikap sebagai tamu.
"Kau menangis?" tegur Nyonya Kwon, ikut kebingungan karena air mata Lisa tiba-tiba saja jatuh. Lisa pun terkejut sekarang, semakin bingung karena ia tidak menyadari air matanya barusan.
"Tidak, tidak, aku tidak... Aku minta maaf," bingung canggung gadis itu. Ia bergerak ingin melakukan sesuatu, tapi tidak tahu bagaimana harus bersikap. Ia ingin bergerak membantu di dapur, tapi merasa harus pergi, bersembunyi di dalam kamarnya. "Maaf, aku perlu ke toilet," kata gadis itu akhirnya menyerah.
Lisa masuk ke toilet bersama di sebelah dapur. Toilet yang hampir tidak pernah dipakai, hanya rutin dibersihkan. Begitu pintunya terkunci, gadis itu terdiam. Berdiri menatap pantulan dirinya di cermin kemudian mengusap wajahnya. Menggosokkan telapak tangannya ke wajahnya, berkali-kali, berharap dengan begitu ia bisa mendapatkan dirinya kembali.
"Ya! Ada apa denganmu? Kenapa kau menangis?!" kesal gadis itu, memarahi bayangan dirinya sendiri di cermin. "Sadarlah, kalau mereka tahu bagaimana dirimu yang sebenarnya, mereka tidak akan memperlakukanmu dengan baik. Jadi sadarlah Lalisa! Kau ada disini hanya untuk bertahan hidup, jangan merusak hidup orang lain lagi," omelnya, terus pada bayangannya sendiri.
***
Mau nanya, di kalian urutan ceritanya urut dari prolog 1-8 kan? Di aku urutannya ngacak soalnya, eror kali ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ashes
FanfictionI can't hold you like the ashes You're spreading out Searching for your scent to call you back I can't see you through the flash My eyes are blurred Searching for your flashback in my mind 🎶 Ashes - Zior Park ft. Ai Tomioka