18

325 76 11
                                    

***

"Apa terjadi sesuatu?" tanya Lisa, sebab Jiyong tidak banyak bicara hari ini. Tidak seperti biasanya, pria itu jadi sangat pendiam hari ini. "Bertengkar dengan temanmu?" susulnya kemudian, penasaran karena bahkan saat menemui Soohyuk, Jiyong tidak kelihatan senang.

"Kau pikir berapa umurku? Tidak ada yang bertengkar," balas malas pria itu. Ia bergerak menulis alamat dalam navigasinya. Meminta Lisa untuk mengantarnya ke sana. "Hari ini pergilah mencari rumah, aku akan mengenalkanmu ke agen propertinya," susulnya.

"Kenapa?"

"Kau alergi kucing," asal Jiyong. Enggan menjelaskan alasan ibunya tadi pagi, tanpa tahu kalau Lisa sudah mendengar obrolan mereka.

"Aku?" bingung Lisa, sedikit melirik pada pria di sebelahnya, sebab masih ada jalanan yang harus diperhatikannya. "Ah... Anggap saja aku alergi," pelan gadis itu, lantas mengiyakan perintah bosnya.

"Iya? Kau akan pindah dari rumahku?" tanya Jiyong, seperti seorang yang ragu dengan keputusannya. "Tidak, pergi, maksudku, pindah saja dari rumahku. Meskipun kau tidak mengenal siapapun di sini selain aku, kau tetap punya urusanmu sendiri. Kau tidak bisa terus mengikutiku," katanya, memutuskan sendiri pilihannya, yang seharusnya jadi pilihan Lisa.

"Apa aku dipecat?"

"Tidak, kau belum membayar semua hutangmu. Kau juga tidak punya cukup uang untuk menyewa rumah. Kau masih harus bekerja. Enam hari seminggu, bagaimana? Satu hari libur saja cukup kan?"

"Aku tidak keberatan bekerja tujuh hari seminggu," santai Lisa tapi Jiyong menggeleng. Mengatakan kalau ia kelihatan jadi bos keji karena tidak memberi asistennya hari libur. Lagi-lagi Jiyong memutuskannya sendiri.

Lisa membiarkannya membuat keputusan. Tidak banyak yang ia inginkan. Tidak ada tujuan yang ingin dicapainya. Ia memang penasaran siapa ayahnya, tapi dirinya juga belum siap untuk mengetahui siapa pria itu. Ia memang penasaran bagaimana ibunya hidup selama ini, tapi ia pun tidak ingin terlalu sering melihat wanita itu. Jika seseorang bertanya apa yang Lisa inginkan, sepanjang hidupnya, jawaban gadis itu selalu sama, "tidak ada."

Tiba di tempat agen propertinya berada, Lisa dibiarkan turun seorang diri. "Tidak perlu khawatir soal harganya, pilih saja yang membuatmu nyaman," kata pria itu, enggan menemaninya turun.

"Bagaimana caranya?" tanya Lisa, setelah ia dorong turun, agar Jiyong bisa melompat pindah ke kursi pengemudi. Tentu bukan dorongan yang kasar. "Aku tidak pernah mencari rumah. Beri aku tips," susulnya.

"Tidak mau, lakukan sendiri-"

"Oppa, kau kesal ya karena aku harus pindah? Sebenarnya, aku mendengar obrolanmu pagi ini," kata gadis itu, sengaja membungkuk untuk menahan Jiyong agar tidak pergi. Ia bersandar ke jendela mobil itu. Menumpukan kedua tangannya di jendela yang terbuka. Kalau Jiyong memaksa pergi, Lisa akan otomatis jatuh.

"Tidak."

"Aku tidak keberatan, sungguh. Bekerja dua puluh empat jam sehari, tujuh hari sepekan bukan masalah untukku. Lagi pula aku tidak punya kegiatan lain selain bekerja."

"Tetap saja kau harus pindah, ibuku sudah bilang begitu," jawab Jiyong, sedikit melunak. Merasa seolah Lisa tengah merengek untuk diizinkan tetap tinggal bersamanya. Dalam kepalanya, ia buat skenarionya sendiri— kalau Lisa ingin bersamanya tapi ibunya melarang. Hanya untuk menyenangkan dirinya sendiri.

"Kalau begitu bantu aku mencari rumah-"

"Aku sudah mengantarmu ke sini. Agen propertinya akan membantumu," potong Jiyong, ingin sedikit bermain dengan perasaan gadis di depannya. Tarik-ulur, maksudnya.

"Dia hanya akan memilihkan tempat yang mahal," kata Lisa, lantas berdiri tegak di tempatnya. "Baiklah, akan aku cari sendiri. Kalau nanti aku salah memilih rumah, jangan protes, aku tidak mau disuruh pindah lagi," susulnya. Sedikit mengancam dan ia berhasil memenangkan tarik-ulur itu.

Jiyong turun dari mobilnya sekarang. Dengan tatap sinisnya yang terlindungi kacamata hitam, pria itu menatap Lisa. Melangkah di sebelah gadis itu, lalu mendorong pintunya untuk menemui si agen properti. Selanjutnya, mereka diantar ke tiga tempat. "Kau suka yang ini?" tiga kali juga Jiyong bertanya dan gadis itu menganggukan kepalanya. Mengatakan ia menyukai, semuanya.

Di tempat keempat dan kelima pun sama. Lisa menyukai semuanya. Ia tidak punya kriteria khusus dan terus menyetujui semua yang Jiyong katakan. "Kau tidak punya kriteria khusus? Dua kamar misalnya? Menghadap ke barat? Atau punya balkon? Tidak ada?" tanya Jiyong, karena gadis yang akan menempati rumah itu terus menganggukan kepalanya. Setuju, dimana pun Jiyong akan menyuruhnya tinggal.

"Murah?" jawab Lisa.

"Sudah aku bilang tidak usah memikirkan harganya, aku yang bayar, anggap saja fasilitas kantor," kata Jiyong.

"Kalau begitu, pilih saja satu yang oppa mau," santai Lisa. "Sebagai penerima fasilitas kantor, aku tidak boleh rewel. Aku bisa tinggal dimana pun," katanya kemudian.

Jiyong menghela nafasnya sekarang. Lisa sama sekali tidak membantu. Ia tidak terlihat antusias, tidak juga terlihat menginginkan sebuah rumah. Jadi Jiyong memilih sebuah apartemen di dekat rumahnya. Apartemen studio yang tidak akan merepotkan gadis itu untuk bersih-bersih. Kamar tidur, ruang tengah, dapur dan area makan, semua ada di dalam satu ruangan besar. Meski hanya apartemen studio, luas apartemen itu sedikit lebih luas daripada rumah Lisa di 2051. Padahal Lisa punya dua kamar dengan satu ruang terbuka di rumahnya.

"Furniturnya kau bisa mencari sendiri kan?" tanya Jiyong, sebab apartemen itu hanya memberi perabot-perabot standar sebagai fasilitasnya. Hanya ranjang, beberapa lemari dan sofa.

Lisa mengangguk mengiyakannya. Lalu saat agen propertinya bertanya, kapan gadis itu akan pindah, Lisa menoleh pada Jiyong. Melihat ke mata pria itu, ikut bertanya kapan ia bisa pindah.

"Aku juga yang memutuskannya? Augh! Besok, dia akan pindah besok," kata Jiyong, lantas menyelesaikan transaksinya. Pria itu menyewa apartemennya untuk satu tahun, sebab Lisa melarangnya membeli apartemen itu. Aku tidak tahu kapan akan kembali, sewa saja— begitu katanya.

Hari sudah malam ketika mereka selesai. Sekarang, Jiyong kelaparan. Berjalan ke beberapa rumah dalam sehari cukup untuk menguras semua energinya. Tiba di mobil, kembali Lisa yang mengemudikan mobilnya. Setelah masuk ke jalanan, gadis itu baru bertanya kemana mereka akan pergi.

"Makan malam," kata Jiyong, lantas mengeluh kalau ia lapar.

"Dimana oppa ingin makan malam?"

"Kau yang memilih makan malamnya," suruh Jiyong. "Hanya memilih makan malam, kau harus bisa. Keterlaluan kalau memilih makan malam saja tidak bisa," komentarnya dan Lisa mengangguk. Menyanggupi perintah itu.

Lisa terus mengemudi, sedang Jiyong memejamkan matanya. Menunggu mereka tiba di restoran yang Lisa pilih. Tapi alih-alih memilih restoran, gadis itu justru mengemudi ke rumah. "Kau tidak tahu mau makan apa jadi kau menyetir ke rumah? Itu curang namanya. Yang aku suruh, kita makan makanan yang kau suka-" Jiyong akan mengomelinya. Tapi gadis itu menoleh ke arahnya.

"Aku suka makanan yang disiapkan ibumu, apapun itu," potong Lisa. "Bukan makanan sisa yang diambil dari meja orang lain, tapi makanan yang memang disiapkan untukku," susulnya. Dengan senyum lembut yang sekarang membuat Jiyong merasa bersalah.

***

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang