38

283 55 2
                                    

***

Kim Junghyun perlu dirujuk ke rumah sakit jiwa untuk mengatasi depresi parah yang selama ini dialaminya. Jennie menolak anjuran dokternya, ia enggan dipisahkan dengan ayahnya. "Aku akan merawatnya sendiri! Aku tidak mau dia tinggal di rumah sakit jiwa! Aku tidak mau dia pergi ke sana!" ia berteriak pada dokter yang mengobati ayahnya. Marah, kemudian merajuk dan pergi. Menyalahkan Lisa karena membawa mereka ke rumah sakit. Kesal karena Lisa yang memberitahu dokter tentang keadaan mental ayahnya. Padahal Jennie hanya akan bilang kalau ayahnya jatuh dan terluka.

Dengan langkah yang dihentakan marah, Jennie meninggalkan UGD tempat ayahnya masih berbaring— karena obat penenang. Di pintu ia berpapasan dengan Jiyong, tapi langkahnya enggan berhenti. Ia tatap Jiyong dengan sangat sinis, lantas melewatinya setelah bahu mereka dengan sengaja bertabrakan. Jennie yang menabrak bahu Jiyong, sebab terlalu marah pada orang-orang dewasa yang mengurusi hidupnya. Selama ini aku menahan semuanya sendirian. Selama ini aku berjuang sendiri, tapi sekarang mereka justru datang lalu mengacaukan semuanya— anggap Jennie.

Setelah mencari-cari, Jiyong berhasil menemukan Lisa. Ia hampiri kekasihnya, meski beberapa mata sekarang memperhatikan mereka. "Apa yang terjadi?" tanya Jiyong, belum mendengar detail kejadiannya. Ia langsung datang setelah Lisa meneleponnya, mengatakan kalau dirinya ada di rumah sakit sekarang.

Lepas dokter meninggalkan mereka dengan kalimat— tolong bujuk putrinya— Lisa memberitahu Jiyong semua yang terjadi hari ini. Termasuk alasan Jennie keluar dari agensi. Juga ia beritahu bagaimana Seunghyun membantunya sedari siang tadi. Tidak ia tutupi apapun, sebab tahu Jiyong tidak akan sempat cemburu dimomen seperti ini. Tahu kalau kekasihnya itu pasti bisa membaca suasana, Jiyong akan tahu dimana dirinya harus menempatkan diri. Di dalam bilik dengan yang dikelilingi tirai itu, bersama Kim Junghyun yang masih tidak sadarkan diri, Lisa bicara dengan sangat pelan, hampir berbisik.

Jiyong yang berdiri, mendengarkan cerita gadis di depannya, sekarang menghela nafasnya. Sama seperti Lisa, ia juga tidak punya hak untuk membuat keputusan. Hanya Jennie yang bisa membuat keputusan— anggap mereka. Satu-satunya yang mungkin dilakukan hanya membujuk gadis itu.

Mereka gagal membujuk Jennie. Di saat yang sama pun, dokter di rumah sakit itu gagal membujuk Tuan Kim. Meski mengkhawatirkan, pria itu akhirnya kembali ke rumah. Menolak untuk dirawat, menolak untuk dibantu. Jennie pun sama, ia menolak untuk dibantu. Akhirnya, meski dengan berat hati, Lisa hanya bisa memberi Jennie nomor teleponnya. Lisa hanya bisa mengatakan pada gadis itu kalau ia boleh menghubunginya, kapan pun dirinya butuh bantuan.

Malam harinya, Lisa meminta Jiyong untuk tetap tinggal bersamanya. Setelah Jiyong menemaninya mengambil mobil di depan rumah Jennie, mereka kembali ke rumah. Tidak banyak yang mereka lakukan. Lisa hanya ingin berbaring setelah sepanjang hari terjaga, sedang Jiyong menemaninya. Sesekali mengusap rambutnya, sesekali memeluknya.

"Kalau harus pergi, oppa bisa meninggalkanku setelah aku tidur," kata gadis itu, tahu kalau Jiyong punya janji malam ini. Seorang seniman dari Jepang datang malam ini, biasanya Jiyong akan menemui pria itu. Makan malam dan minum wine bersama. Berbincang membahas rencana kerjasama mereka.

"Hm... Tidur lah, ibumu akan baik-baik saja, tidak perlu mengkhawatirkannya, istirahat saja," pelan Jiyong, tetap memeluk gadis yang berbaring di sebelahnya. Sesekali mencium puncak kepala gadis itu. Menenangkannya.

"Oppa, kau tahu apa yang membuatku sangat takut?" tanya Lisa, sengaja mendongak agar ia bisa melihat wajah pria yang memeluknya. "Aku takut ibuku tidak jadi melahirkanku. Apa yang akan terjadi kalau dia tidak melahirkanku?" susulnya, tidak benar-benar ingin tahu.

"Selama berada di sini... Tidak, selama aku tinggal bersamamu, aku takut akan merubah sesuatu. Aku ingin masa depan ibuku berubah, aku ingin dia bisa hidup lebih baik dari sebelumnya, aku ingin memintamu membantunya untuk debut, aku ingin melakukan sesuatu untuknya. Tapi... Aku takut apa yang aku lakukan justru akan membuatku tidak jadi dilahirkan. Bagaimana denganku kalau aku tidak jadi dilahirkan? Aku harus membiarkan ibuku tetap menderita agar bisa lahir, aku benar-benar jahat padanya, iya kan?" katanya, dengan suara yang bergetar. Lisa meneteskan air matanya, meski belum benar-benar terisak. Kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya sekarang. Memberi Jiyong sebuah beban yang sama— mereka tidak akan bertemu kalau Lisa tidak lahir.

Jiyong tidak pergi kemana pun malam ini. Bagaimana ia bisa meninggalkan kekasihnya yang sedang sangat sedih itu? Pergi menemui temannya pun tidak akan membuatnya bisa bersenang-senang di sana. Beralasan kalau kekasihnya sakit, Jiyong membatalkan janjinya malam ini.

Lepas ia memberitahu si Tuan Seniman kalau ia tidak bisa datang, Seunghyun menelepon. Bukan menelepon Lisa, tapi menelepon Jiyong. Lisa sudah tidur ketika Seunghyun menelepon, sembari duduk merokok di balkon, Jiyong menjawab panggilan itu.

"Lisa baik-baik saja?" tanya Seunghyun, mengaku kalau ia baru saja dengar dari teman-temannya kalau Lisa sakit. Jiyong tidak bisa datang, kekasihnya sakit— itu yang Seunghyun dengar.

"Hm... Dia baik-baik saja, hanya terkejut," jawab Jiyong. "Tapi hyung, kau tidak memblokir nomor teleponku lagi?" susulnya, membuat pembicaraan itu jadi terasa canggung, sangat tidak nyaman.

"Dia pasti terkejut, tadi Tuan Kim memeluknya, erat sekali. Orang gila itu mungkin mengira Lisa istrinya. Berhati-hati lah. Tidak akan ada yang tahu apa yang akan dilakukan orang gila itu," kata Seunghyun, mengabaikan pertanyaan Jiyong sebelumnya.

"Hm... Aku akan memberitahunya untuk hati-hati," balas Jiyong. "Aku dengar kau yang menolongnya tadi, kau terluka?" tanyanya kemudian, sedikit ragu— bolehkah ia bertanya begitu?

Seunghyun bilang ia baik-baik. Mengatakan juga kalau ia hanya menelepon untuk menanyakan keadaan Lisa. Akan ia akhiri panggilan itu, tapi Jiyong justru bertanya— apa yang Seunghyun lakukan di rumah? Setelah debut, ia hampir tidak pernah berkunjung ke sana. Rasanya aneh mendengar Seunghyun tiba-tiba berkunjung ke rumah orangtuanya. Membuat Jiyong sedikit khawatir, masalah apa yang terjadi di sana sampai Seunghyun perlu pulang hari ini.

"Kakakku bertengkar dengan suaminya, mungkin mereka akan bercerai. Aku hanya datang untuk melihat keadaan ibuku," jawab Seunghyun, tidak terdengar kalut. Merasa kalau pertengkaran itu tidak ada hubungannya dengannya. Ia hanya perlu berada di sana untuk menyelesaikan sisa-sisa kekacauannya.

Panggilan berakhir, dan Jiyong Lisa bangun dari tidurnya. Gadis itu duduk di ranjang, sempat melihat ke sekeliling rumahnya, lantas tersenyum dan kembali berbaring— setelah menemukan Jiyong duduk di balkon.

"Ada apa? Kenapa kau bangun?" tanya Jiyong, sekarang bangkit, melangkah masuk kembali ke ranjang. Menghampiri gadis yang sudah kembali berbaring. Menutup rapat tubuhnya dengan selimut.

"Aku kira oppa pergi," jawabnya. "Tidak ada apa-apa, aku mau tidur lagi," tenangnya, kembali memejamkan matanya secepat ia membukanya. Meski terlelap, Jiyong tahu tidur gadis itu tidak lah nyenyak malam ini. Ada terlalu banyak bayang-bayang di kepalanya. Ada terlalu banyak ketakutan yang tidak bisa diatasinya. Sama seperti Lisa, ia pun khawatir pada apa yang ada di depan mereka nanti.

***

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang