16

301 67 10
                                    

***

Jiyong tidak punya banyak pekerjaan setelah wajib militernya. Ia ingin beristirahat sebentar, sebelum memulai kembali kesibukannya. Tapi sialnya, pria itu mudah bosan. Mudah juga ia kesepian. Ia tidak suka berada dalam keramaian, tapi terus tinggal di kamarnya, di rumahnya juga membosankan.

"Ayo belanja."

"Ada cafe yang ingin aku datangi, ayo."

"Aku mau mencicipi restoran baru di sana, temani aku."

"Aku mau pergi ke sana, ikut lah."

"Aku ada janji dengan temanku, kau juga ikut."

"Hari ini bekerja, kemasi barang-barangmu, kita menginap."

Setiap hari, ada saja yang Jiyong lakukan. Pria itu terus pergi, ia terus bergerak. Dan mau tidak mau, Lisa harus menemaninya. Ini sudah satu pekan sejak mereka kembali dari villa dan Jiyong tidak pernah tinggal di rumah. Mereka pergi saat pagi, lalu pulang setelah lewat tengah malam. Sangat sibuk hingga Lisa merasa kalau Jiyong tidak suka tinggal di rumah.

Sejak meninggalkan villa itu juga, Lisa tidak lagi bertemu dengan ibunya. Jiyong tidak pergi ke agensi, maka ia pun tidak bisa pergi ke sana. Karena Jiyong tidak memberinya waktu istirahat. Tidak ada hari libur dalam pekerjaannya. Bahkan, satu yang membuat Lisa senang— makan bersama ibunya Jiyong— tidak lagi bisa ia lakukan. Jiyong tidak pernah makan di rumah, pria itu tidak makan bersama ibunya. Mereka hanya bertemu saat pagi, sebelum pergi dari rumah.

Satu minggu, dua minggu, tiga minggu sampai satu bulan lamanya, Lisa bertahan dengan pekerjaan itu. Meski hanya menemani Jiyong, tapi jam kerja gadis itu benar-benar melebihi batas jam kerja normal. 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu. Jiyong benar-benar memanfaatkan asistennya itu.

Setiap hari pria itu menghabiskan waktunya bersama Lisa, sampai akhirnya berita kencan mereka keluar juga. Keduanya terlalu sering muncul bersama, sampai reporter juga pihak agensi tidak bisa menahan beritanya lagi. Belasan foto diunggah, memperlihatkan keduanya dalam satu frame kamera.

Tidak ada sentuhan, tapi foto-foto itu sudah cukup untuk membuat yang melihat salah paham. Di toko pakaian, Lisa memilih pakaian untuk Jiyong. Pria itu pun melakukan hal yang sama. Mereka kelihatan tengah bertukar lauk saat makan berdua, menghabiskan juga sepotong kue bersama di cafe. Di beberapa foto, mereka juga bersepeda berdua. Meski daripada seorang kekasih, kesibukan Lisa lebih mirip seperti seorang baby sitter. Selalu ia temani Jiyong kemana pun pria itu ingin bermain.

Ketika ditanya tentang hubungan itu, pihak agensi bilang kalau mereka tidak bisa mengkonfirmasi apapun. Mereka tidak bisa menghubungi G Dragon sekarang. Jiyong pun seolah tidak ingin mengatakan apapun, ia biarkan rumor beredar begitu saja. Lagi pula, tidak akan ada yang bisa menemukan Lisa. Gadis itu tidak pernah ada dimana-mana, kecuali mereka yang mencarinya pernah pergi ke masa depan atau justru datang dari masa depan juga.

Pagi ini, seperti biasanya, Jiyong mengetuk pintu kamar Lisa. Pagi sekali, sebelum orang-orang siap untuk sarapan. "Kwon Jiyong," seorang memanggil dari bawah, ibunya. Memanggil karena ia dengar pintu kamar Lisa di ketuk.

"Ya?" dengan santai Jiyong berjalan menuruni tangga. Menghampiri ibunya, lalu memeluknya. "Aku harus pergi ke tempat gym pagi ini," susulnya, kemudian melihat pisang di meja dapur, mengatakan kalau ia akan makan pisang saja untuk sarapannya. Tidak ada waktu karena siang nanti ia perlu pergi ke tempat lain.

"Suruh Lisa pindah dari sini," kata Nyonya Kwon, bersamaan dengan turunnya Lisa dari lantai dua. Gadis itu mendengarnya, kemudian berhenti melangkah karena tidak ingin mengganggu pembicaraan mereka. Keberatannya ternyata mengganggu penghuni rumah itu— sadar Lisa sekarang. Berdiri mematung di tangga, menunggu celah untuknya bisa turun.

"Eomma! Kenapa tiba-tiba menyuruhnya pindah? Apa dia merepotkanmu? Dia hanya tidur di sini, kenapa eomma tega-"

"Kau tidak kasihan padanya?" tanya Nyonya Kwon menyela putranya. "Aku saja kasihan melihatnya. Asisten mana yang bekerja dua puluh empat jam sehari? Anak itu harus tinggal di tempat lain agar dia bisa beristirahat. Semalam kalian pulang jam dua pagi, kau tahu jam berapa dia tidur? Dia masih harus menurunkan barang-barangmu dari mobil sampai jam tiga. Dia baru tidur setelah jam tiga dan sekarang masih jam lima, kau sudah menyuruhnya pergi lagi."

"Aku juga tidur jam... tiga? Aku bahkan bangun lebih awal darinya. Pekerjaan kami lebih nyaman dikerjakan kalau dia tinggal di sini, eomma. Dia tidak perlu bangun pagi-pagi hanya untuk ke sini dan menjemputku," bantah Jiyong.

"Kau bahkan tidak memberinya hari libur," kata sang ibu. "Dia itu asistenmu, bukan budakmu, dia pasti muak melihatmu setiap hari. Dia bahkan alergi kucing, kau tidak tahu kan?" komentarnya, membuat putranya langsung cemberut. Memprotes ucapan sang ibu dengan raut wajahnya.

Lisa mengambil celah ini sekarang. Sengaja ia keraskan langkah kakinya. Turun dari tangga, kemudian menghampiri tuan rumahnya. Ia menyapa Nyonya Kwon, tersenyum padanya kemudian melihat ke arah Jiyong. "Sudah bisa berangkat ke tempat gym?" tanya gadis itu, seolah tidak mendengar apapun sebelumnya.

Seperti jadwalnya, mereka pergi ke tempat gym. Tapi Jiyong tidak seberapa bersemangat hari ini. Lisa hanya menungguinya di ruang tunggu, sama sekali tidak tahu kalau di dalam Jiyong terus menghela nafasnya. Tidak bersemangat. Apa Lisa selama ini muak menghabiskan waktu bersamanya?— pria itu bertanya-tanya.

"Tunggu, kenapa aku peduli? Kalau dia muak, dia bisa mengundurkan diri," pikirnya kemudian, berusaha menghapus doktrin ibunya. Memaksa dirinya sendiri untuk percaya kalau ia tidak melakukan kesalahan apapun.

Sedang di luar, Lisa menunggu dengan segelas smoothies di depannya. Gadis itu tidak melakukan banyak hal, selain melamun, menunggu Jiyong. Awalnya ia tidak memikirkan apapun. Karena terus bersama Jiyong, ia tidak sempat memikirkan apa-apa. Bahkan sebelumnya, di hari-hari ia harus menunggu, ia lakukan sesuatu agar tidak perlu berfikir. Agar kepalanya tidak memikirkan apapun. Tidak memikirkan ibunya. Tidak juga memikirkan situasinya. Dan yang paling penting, tidak memikirkan mantan pacarnya— pria yang harus meninggalkannya karena tidak direstui orangtuanya.

Ia menghela nafasnya karena untuk sekali lagi, pria itu muncul dalam kepalanya. "Padahal sudah tiga tahun," gumamnya, mengingat lagi pria itu. Terlanjur mengingatnya, Lisa sekalian membuka dompetnya, mengambil selembar foto yang terselip jauh di dalam dompetnya. Fotonya bersama seorang pria. Laki-laki dalam foto itu memeluknya, mendekapnya benar-benar erat sedang Lisa berusaha melepaskan dirinya. Lisa ingat mereka tertawa saat dipotret. Yang memotret pun tertawa. Tapi sekarang, ia tidak bisa tertawa saat melihat fotonya.

"Oppa, aku bertemu dengannya," pelan Lisa, bicara pada pria di fotonya. "Pamanmu, nenek dan kakekmu juga," susulnya, pelan.

***

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang