30

326 60 13
                                    

***

Lisa baru bisa menghela nafasnya setelah Dami meninggalkan apartemennya. Kwon Dami tidak hanya datang untuk mengantar makanan, wanita itu juga makan malam di sana. Jiyong menyambutnya, bersikap biasa setelah mengatakan kalau kekasihnya sedang sedikit stress— setelah bertemu Seunghyun.

"Noona jangan menanyainya, dia masih bingung, karena baru bertemu Seunghyun," kata Jiyong, hanya membuat-buat alasan karena Lisa tidak bisa menutupi rasa gugupnya.

Jiyong dan kakaknya membicarakan banyak hal di sana. Mereka makan, bahkan menyesap masing-masing secangkir teh. Lisa yang katanya masih linglung setelah bertemu Seunghyun melayani mereka. Ia tidak bisa ikut mengobrol, karenanya gadis itu memilih untuk terus bergerak, menyiapkan nasi, menyeduh teh, menjamu tamunya. Tanpa bisa ia kendalikan, Lisa terus menghindari tatap kakak perempuan kekasihnya itu.

Ia berbaring lesu di ranjangnya setelah melambai pada Dami. Jiyong pergi untuk mengantar kakaknya ke tempat parkir, sedang Lisa menghela nafasnya, berulangkali. "Mungkin karena belum punya anak, jiwa keibuannya belum muncul," komentar Lisa, berusaha memahami sudut pandang Kwon Dami.

Begitu kembali, Jiyong menyusul ke ranjangnya. Pria itu menindih Lisa, membuat kekasihnya mengeluh lantas ia terkekeh dan pindah ke sebelahnya. Tetap memeluknya, memakai kakinya juga untuk mengekang gadis itu, melarangnya pergi.

"Kenapa kau takut pada kakakku?" tanya Jiyong, tetap terkekeh setiap kali Lisa menggeliat, ingin melepaskan dirinya. Menjahili gadis itu, dengan tidak memberikan apa yang diinginkannya— dilepaskan. "Dimasa depan dia menakutkan? Semenakutkan apa? Beritahu aku... Beritahu aku... Tidak, biar aku tebak! Dia datang padamu menyuruhmu menjauhi putranya? Menyirammu dengan air? Atau memberimu amplop uang? Kenapa kau sampai ketakutan begitu? Tidak mungkin dia menyuruh gangster ke rumahmu, iya kan?" tanyanya.

"Tidak tahu! Tidak mau membicarakannya, lepaskan aku! Aa! Lepas!" protes Lisa, tapi pria itu tidak mau mendengarkannya. Terang-terangan Jiyong berkata kalau ia senang Dami memisahkan Lisa dengan Eden. Sebab kalau Dami tidak melakukannya, bisa jadi saat ini gadis itu masih mengencani keponakannya. Bisa jadi, ia tidak punya kesempatan untuk mendapatkan Lisa. Bisa jadi juga, Lisa lebih memilih Eden dibanding dengan dirinya. Dengan penuh percaya diri, Jiyong katakan semua yang dipikirkannya. "Bagaimana kalau dia tidak menyetujui hubungan kita juga?" tanya Lisa, sudah menyerah dengan pemberontakannya, Jiyong tidak akan melepaskannya.

"Orangtuaku setuju, apa haknya melarang?" balas Jiyong, tetap santai.

"Orangtuamu setuju? Kenapa?"

"Apanya yang kenapa? Kau tidak suka orangtuaku setuju?"

"Tapi aku belum lahir?"

"Apanya yang belum lahir, kau sudah sebesar ini," sebal Jiyong. Ia benci kalau harus membayangkan usia Lisa sekarang, minus tiga.

"Kalau aku kembali ke sana, apa kita akan bertemu lagi?"

"Tidak tahu," geleng Jiyong. "Awalnya aku khawatir, kalau kau kembali ke masa depan, kau tetap 27 tahun, tapi aku sudah tua. Lalu aku memutuskan untuk tidak peduli."

"Kenapa? Oppa tidak memikirkan masa depanmu? Masa depan kita?"

"Mau dipikirkan sampai mati juga tetap tidak masuk akal, kau tiba-tiba muncul di sini padahal belum lahir," Jiyong melepaskan pelukannya sekarang. Berbaring telentang, menatap pada langit-langit. "Masa depan yang aku pikirkan, hanya sampai besok. Apa yang akan kita lakukan besok? Bagaimana aku akan menjahilimu besok? Berapa kali aku akan memelukmu besok? Hanya itu," susulnya, lantas menarik Lisa, agar gadis itu menindih sebagian tubuhnya, balas memeluknya.

Lisa memeluk Jiyong sekarang, bersandar di dada pria itu kemudian merasakan tangan Jiyong mengusap-usap rambutnya. Ia beritahu Jiyong, kalau di masa depan, Dami akan menampar wajahnya. Di depan penginapan dekat pantai. Satu hari setelah wisudanya. Jiyong terkejut, mengatakan kalau kakaknya tidak pernah memukul orang.

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang