57

287 57 38
                                    

***

Lisa tidak pernah membayangkan ini sebelumnya— ia benar-benar akan melahirkan. Seorang putri kecil lahir darinya. Ia merasakan tubuhnya hancur karena proses menyakitkan itu, tapi semua orang bergembira. Semuanya berbahagia, menyambut seorang bayi merah yang baru saja keluar dari keranjang bangaunya.

Meski begitu, meski ia luar biasa menyambut kedatangan bayinya, Jiyong kelelahan. Rasanya seperti menyanyikan dua puluh lagu dengan koreografi lengkap tanpa jeda— begitu pengakuannya. Yang alih-alih menemani tamu dan bayinya, pria itu justru terlelap di sebelah Lisa. Jiyong duduk di kursi, menyandarkan kepalanya ke ranjang dengan mata terpejam setelah sepanjang malam menemani wanitanya itu melahirkan. Bersama Lisa, pria itu menangis semalam. Lisa kesakitan, sedang Jiyong mengkhawatirkannya.

Beruntung ada orangtua Jiyong di sana. Sigap menerima tamu, menemani si bayi kecil yang sehat itu sementara orangtuanya beristirahat. Jennie pun ada di sana hari ini, kemarin ia terbang langsung dari Jeju sebab Lisa yang memintanya. Sama seperti ketika Eden lahir, keluarga lah yang lebih dulu bertamu. Paman dan Bibi Jiyong satu persatu datang, membawakan hadiah, memberi selamat, kemudian mengagumi bayi kecil yang lahir semalam.

Mendengar ocehan semua tamu yang datang, Lisa tidak bisa memahaminya— benarkah putrinya itu cantik? Kelihatannya ia hanya merah. Meski sudah berulang kali merawat bayi yang baru saja lahir, dengan kondisinya sekarang— hancur— Lisa tidak bisa menikmatinya.

"Lihat matanya."

"Lihat hidungnya."

"Bibirnya cantik sekali."

"Dia kelihatan seperti Jiyong."

"Dia kelihatan pintar."

Lisa tidak bisa menikmati komentar-komentar itu. Ia tidak bisa memahami penilaian orang-orang mengenai bayinya. Bukankah semua bayi memang terlihat begitu? Sembari kelelahan di ranjangnya, tidak bisa membuka mulutnya, tidak bisa mengeluarkan suaranya sebab terlampau lelah, Lisa menanggapi semua komentar tamu-tamu itu— dalam hatinya.

"Dia akan jadi anak baik nanti, lihat saja... untuk menolong ibunya yang sangat kurus itu, dia langsung keluar hanya dalam satu malam... Dia memberi ibunya persalinan yang mudah," komentar seorang Paman yang bahkan tidak Lisa ingat namanya.

Mendengar komentarnya, Lisa tidak bisa menahan diri selain melemparkan tatap sinisnya— semalam ia berubah jadi binatang buas karena melahirkan bayi cantik itu, bahkan sekarang sekujur tubuhnya terasa sangat sakit, bisa-bisanya dia bilang itu persalinan yang mudah?— Lisa marah mendengarnya.

"Tetap saja dia sangat menderita semalam," komentar Jennie, duduk di sisi lain ranjang Lisa. Kepalanya tertunduk menatap handphonenya, tidak berencana bergabung dalam pembicaraan itu kecuali seseorang mengajaknya bicara. Tapi kali ini ia tidak bisa menahan dirinya, sebab dilihatnya tatap sinis ibu si bayi.

Sejak semalam Jennie ada di sana. Awalnya ia hanya datang untuk menjenguk Lisa, tapi kemudian gadis itu harus melahirkan dan Jiyong tidak bisa meninggalkannya. Orangtua serta kakak Jiyong pun belum datang. Orang-orang pikir Lisa akan tinggal setidaknya dua hari di rumah sakit sebelum melahirkan, tapi baru beberapa jam ia tinggal di rumah sakit itu, persalinannya sudah harus dilakukan. Karenanya, sedari semalam, Jennie ada di sana untuk membantu mengurus banyak hal— mulai dari menghubungi orang-orang, memanggil perawat, membeli air, ini dan itu termasuk menemani Lisa sekarang. Lisa meminta Jennie untuk tetap tinggal di sana. Lisa ingin ibunya ada di sana, meski tidak seorang pun tahu Jennie adalah ibunya.

"Menderita apanya?" komentar sang Paman. "Itu bukan penderitaan. Bagaimana pun sulitnya melahirkan, kau akan langsung melupakan semuanya setelah melihat bayimu, begitulah rasanya jadi ibu," susulnya, kali ini menoleh untuk menatap Lisa yang kelihatan kesal.

Tidak, Lisa tidak bisa melupakan bagaimana sakitnya proses persalinannya semalam. Ia ingat dengan jelas bagaimana dirinya kesakitan semalam— ia merasa seperti seekor dinosaurus terakhir yang sedang dikuliti. Ah aku akan mati hari ini, aku akan punah hari ini— begitu yang dipikirkannya, ketika ia harus mendorong keluar bayi kecilnya yang cantik itu. Bahkan sekarang, sekujur tubuhnya masih terasa sakit.

"Mana ada persalinan yang mudah, dia hampir mati semalam," balas Jennie, berlaga kalau obrolan mereka siang ini hanya sebatas pembicaraan biasa. Seolah mereka sudah lama bertemu, sudah lama saling kenal, bukan dua orang yang baru saling menyapa beberapa detik lalu.

"Nona, kau tidak tahu karena belum merasakannya, tapi melahirkan itu anugerah-"

"Anda sudah pernah merasakannya?" potong Jennie. "Melahirkan? Anda pernah merasakannya? Bukannya itu hanya sembelit? Kalau sembelitnya terasa seperti melahirkan, kotoranmu pasti banyak sekali, sampai mereka juga keluar lewat mulutmu," susulnya.

Lisa hampir tertawa melihat reaksi semua orang. Si Paman yang sedari tadi berkomentar kelihatan marah sekarang. Istrinya pun sama. Orangtua Jiyong juga kelihatan terkejut, mungkin marah dan merasa dipermalukan juga. Tapi Jennie tidak merubah raut wajahnya. Seolah tengah menantang orang-orang dewasa itu, bersikeras kalau ucapannya benar.

"Jennie, tolong belikan aku air, sekarang," pelan Lisa kemudian, mengusir Jennie, menyelamatkannya sebelum gadis itu dimarahi. Sebelum gadis itu diusir karena ucapannya sendiri. "Tolong maafkan dia, ibunya meninggal karena melahirkan, jadi dia sensitif dengan obrolan barusan," susul Lisa, beberapa menit setelah Jennie melangkah pergi meninggalkan ruang rawatnya. Lisa juga menggerakan tangannya, memakai jemarinya untuk meremas jemari Jiyong, membangunkan pria itu agar ia bisa menenangkan kemarahan keluarganya.

Beberapa hari di rumah sakit, kemudian beberapa minggu lagi di rumah perawatan pasca melahirkan. Baru setelah tubuhnya terasa kembali bugar— meski tidak seratus persen sehat— Lisa membawa bayinya pulang ke rumah. Ia tinggal di rumah Jiyong sekarang, bersama orangtua pria itu. Baru setelah beberapa minggu merawat sendiri putrinya, Lisa bisa merasakannya, ia bisa melihatnya— putrinya cantik. Luar biasa cantik hingga ia tidak bisa berhenti tersenyum saat melihatnya.

"Akan aku namai dia Alice, Kwon Alice," kata Jiyong, memberitahu Lisa di pagi mereka yang hari ini terasa cerah. "Entah dimana, aku rasa aku pernah mendengar nama itu sebelumnya," susulnya.

Lisa menjatuhkan botol susunya sekarang. Botol kosong yang rencananya akan ia pakai untuk menampung ASI-nya. Gadis itu duduk di ranjang, menoleh menatap Jiyong di dekat keranjang bayi mereka.

"Siapa?" tanya Lisa, sekali lagi. Berharap ia salah dengar.

"Kwon Alice, cantik kan? Artinya baik, bangsawan, Yang Mulia, kepercayaan, kebenaran, terserah dalam bahasa apa kau mau mengartikannya," jawab Jiyong. "Rasanya aku pernah dengar nama itu, lalu semalam aku memimpikannya. Namanya Alice," tegas Jiyong, tidak memberi Lisa kesempatan untuk mengganti nama putri mereka. Namanya Alice— bukan pertanyaan, itu pemberitahuan.

"Kalau begitu... Penyanyi itu? Yang aku pikir kekasihnya Eden? Dia? Jadi mereka sepupu?" bingung Lisa, melihat pada Jiyong yang belum memahami maksud ucapannya.

Lisa berjalan meninggalkan kamar Jiyong sekarang. Mengabaikan Jiyong yang memanggilnya, menyuruhnya untuk tidak berlari. Ia masuk ke kamarnya— kamar pertama yang ia tempati di rumah itu— mengambil laptopnya di sana. Sambil berjalan kembali ke kamar Jiyong, Lisa menyalakan laptopnya. Mencari lagi foto-foto lama miliknya di sana, kemudian menemukannya.

"Oppa! Lihat!" serunya, sekarang menunjukan lagi fotonya bersama panitia festival kampusnya. Fotonya bersama seorang penyanyi berambut merah muda— Alice. "Namanya Alice juga, apa menurutmu mereka mirip?" tanya Lisa, sekarang menyandingkan layar laptopnya dengan bayi yang masih terlelap dalam keranjangnya.

"Whoa! Jadi Eden mengencani bibi dan sepupunya sendiri?" komentar Jiyong, yang tentu saja langsung Lisa pukul dengan telapak tangannya. Tidak terlalu keras, hanya tepukan biasa di bahunya.

"Aku tidak pernah bilang mereka berkencan, aku bilang- mereka mungkin berkencan, karena kemana-mana bersama- oh? Whoa! Astaga! Dia berkencan dengan Dong Katsu!" kaget Lisa, mulai menyambungkan titik-titik membingungkan dalam ingatannya.

***
Kurang berapa bulan lagi nih sebelum Maret 2024?

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang