44

305 58 14
                                    

***

Jiyong tidak mengatakan apapun selama perjalanan pulang mereka. Pria itu bahkan menolak pegangan tangan Lisa ketika mereka berhenti di persimpangan, menunggu lampunya berubah hijau. "Kita tidak perlu menikah kalau oppa sangat membencinya," kata Lisa, tepat setelah mereka sampai di rumah. Tepat setelah Jiyong mendudukan dirinya di sofa, masih menimbang-nimbang bagaimana caranya memulai pembicaraan.

"Apa katamu?" tanya Jiyong, sekarang menoleh, melihat pada gadis yang berdiri di belakangnya, di dekat ranjang. "Sampai sejauh mana kau mau menguji kesabaranku?" susulnya, sebab gadis yang ia ajak bicara tidak segera menjawab pertanyaannya.

"Kenapa oppa menganggapnya begitu? Aku tidak sedang menguji siapapun," bantah Lisa, yang memilih untuk duduk di ranjang daripada menghampiri Jiyong ke sofa. "Oppa bilang ibumu menyuruh kita menikah, lalu aku bilang kita bisa menikah kalau oppa mau, apa itu salah? Kenapa oppa marah? Kalau oppa tidak mau menikah, bilang saja tidak mau, kenapa marah?"

"Ya, aku tidak mau menikah denganmu," jawab Jiyong, luar biasa tegas.

Tidak pernah Lisa duga sebelumnya, kalau penolakan seperti ini bisa membuat dadanya sesak. Lisa merasa selama ini ia tidak banyak menuntut. Ia terima semua yang Jiyong berikan padanya. Ia berikan semua yang dimilikinya pada pria itu. Memang jumlahnya tidak pernah seimbang, memang Jiyong yang lebih banyak memberi, tapi gadis itu merasa ia sudah memberikan segalanya. Semua yang ia yang punya. Semua yang bisa ia berikan. Tapi setelah memberikan segalanya, ternyata Jiyong menolaknya.

Lisa sudah memikirkannya semalam— bagaimana kalau Jiyong menolak?— dan ia merasa kalau dirinya akan baik-baik saja. Jangan sekarang, aku belum siap. Tunggu sebentar lagi ya? Aku merasa belum siap untuk menikah sekarang. Bagaimana kalau tahun depan? Bagaimana kalau menunggu ibumu hamil dulu?— Lisa sudah membayangkan beberapa penolakan halus yang mungkin Jiyong katakan, tapi apa yang baru saja keluar dari mulut pria itu, tidak pernah ia duga sebelumnya.

"Baiklah," Lisa menganggukan kepalanya. Menyembunyikan nyeri yang ia rasakan dalam dadanya. "Tidak perlu menikah," katanya, sembari melangkah untuk mengambil segelas air. Membasahi tenggorokannya, supaya suara yang keluar darinya tidak terdengar gemetar. Tidak terdengar menyedihkan. "Tidak apa-apa, tetap berkencan seperti ini pun tidak masalah. Tidak semua yang berkencan harus menikah," susulnya setelah minum. Berusaha terdengar santai, terdengar menyenangkan agar Jiyong merasa ia tidak perlu marah lagi.

Ia bisa menyembuhkan dirinya sendiri, ia hanya perlu melupakan penolakan pria itu. Selama Jiyong berhenti marah ia akan baik-baik saja, terluka sedikit tidak akan mengganggu hidupnya— anggap Lisa, yang sayangnya tidak berjalan seperti pertimbangannya.

"Aku berkencan untuk menikah," kata Jiyong, seolah penolakannya yang tadi belum cukup untuk melukai kekasihnya. "Tapi aku tidak mau menikah denganmu," susulnya.

Lisa tidak menanggapinya. Tidak ada satupun pikiran yang sekarang muncul di kepalanya. Rasanya kosong. Rasanya ia tidak punya apa-apa lagi dalam dirinya, dalam kepalanya.

Jiyong memperhatikan punggungnya dari sofa. Menunggu gadis itu bereaksi, tapi Lisa hanya diam. Gadis itu melangkah ke ranjang sekarang, lalu duduk di sana. Tidak mengatakan apapun, tidak melakukan apapun, hanya duduk sembari menatap lantai rumahnya. Mencoba mencari-cari dirinya yang mungkin jatuh di sana.

Tahu kalau kekasihnya terluka sekarang, Jiyong kembali bicara. "Aku tidak akan menikah hanya karena ibuku ingin aku menikah. Aku tidak akan menikah denganmu hanya karena aku yang menginginkannya. Untuk apa kita menikah kalau hanya aku yang menginginkannya? Kau tidak benar-benar ingin menikah, kau hanya melakukannya karena disuruh begitu," kata pria itu. Menahan semua sesak yang sedari malam ia rasakan.

"Apalagi kalau pernikahan itu hanya akan jadi hadiah terakhirmu, aku tidak akan menikahimu. Sebelum aku menghilang bagaimana kalau kita menikah? Jadi saat aku pergi nanti setidaknya kita sudah pernah mencobanya, setidaknya kita sudah pernah menikah— bagaimana kau bisa mengatakannya? Kau pikir aku akan berterima kasih padamu karena itu? Meski nanti aku akan menyesal karena tidak sempat menikah denganmu, aku tidak mau memulai pernikahan dengan menyedihkan seperti itu. Aku ingin menangis karena bahagia saat menikah, bukan berjalan di altar sambil membayangkan kau akan langsung menghilang begitu acaranya selesai," katanya, memberitahu Lisa alasannya begitu marah hari ini.

"Maaf, aku minta maaf," pelan Lisa. Kepalanya masih tertunduk sekarang. Masih menahan dirinya sendiri agar tidak terisak menangis di sana.

Jiyong menghampiri Lisa sekarang. Ia duduk di sebelah gadis itu, lantas memutar tubuh Lisa agar menghadap padanya, agar ia bisa memeluknya. Dengan lembut ia peluk kekasihnya, mengusap-usap punggung gadis itu, memecahkan tangisannya. "Maaf, aku minta maaf," sambil sedikit terisak, sekali lagi Lisa mengulang ucapannya.

"Aku ingin menikah denganmu. Aku sangat menginginkannya, tapi... kecuali kau juga benar-benar menginginkannya, aku tidak akan menikahimu," pelan Jiyong, sesekali mengusap rambut gadis yang balas memeluknya sekarang. "Jangan tergesa-gesa, kau juga tidak perlu menyiapkan hadiah perpisahan untukku. Kita nikmati saja apa yang kita punya sekarang, waktu yang kita punya sekarang, ya? Kalau aku menerima ajakanmu lalu menikah sekarang, seumur hidup aku hanya akan ketakutan, karena kita sudah menikah, kau akan segera meninggalkanku, perasaan itu tidak akan membuatku bahagia, seperti hari ini," katanya sekali lagi.

Mereka berhasil melewati hari ini dengan baik. Tidak seorang pun berteriak, memaki lalu pergi. Sampai pagi datang, sampai keesokan harinya sampai berbulan-bulan lamanya mereka tetap bersama. Lalu hari ini Kwon Dami melahirkan putranya. Jiyong sudah terkejut, Yongbae pun sama, ketika mereka berdua melihat putra yang Min Hyorin lahirkan ternyata sama seperti yang Lisa ceritakan.

"Aku benar-benar punya seorang anak laki-laki, dia lahir 6 Desember, seperti yang Lisa katakan," begitu yang Yongbae katakan ketika putranya lahir. Tapi tentu saja ia tidak menamai putranya Dong Katsu.

Keduanya masih juga terkejut ketika Kim Eden akhirnya lahir— pada 4 Februari 2022. Masih tidak percaya kalau masa depan yang Lisa katakan benar-benar terjadi. Masih sangat terkejut karenanya. "Noona akan menamainya Eden? Tidak ada nama lainnya? Tidak bisa memberinya nama yang lain?" bahkan saat Jiyong mencoba untuk merubah nama keponakannya, ia tidak bisa melakukannya. Bayi laki-laki yang kakaknya lahirkan, tetap diberi nama Kim Eden.

"Wah... Luar biasa. Aku melihat mantan pacarku lahir," kata Lisa, masih memandangi fotonya menggendong Eden di layar handphonenya, dalam perjalanannya pulang setelah melihat bayi kecil itu.

"Augh! Aku sebenarnya cemburu," kata Jiyong, yang mengemudikan mobil mereka di perjalanan pulang itu. "Tapi bayinya lucu sekali, kau tidak mau punya anak juga? Ayo buat juga, aku akan memperlakukan kalian dengan baik," pintanya kemudian.

***

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang