***
Sekarang Lisa duduk di kursi tunggu depan ruang gawat darurat rumah sakit itu. Sudah lima belas orang ia tanyai— tahun berapa sekarang?— dan semuanya mengatakan tahun 2020 sebagai jawabannya. Ia hela nafasnya, lalu menariknya kembali. Ia menghela lagi nafasnya, kemudian menariknya lagi.
"2020?" gadis itu tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. "Bukan ke bulan atau ke Mars tapi ke tahun 2020? Aku? Augh! Lalisa! Apa yang akan kau lakukan sekarang? Bagaimana caramu pulang sekarang?" gerutunya, bicara sendiri hingga membuat Jiyong yang sedari tadi menontonnya semakin menatap aneh padanya. Semakin keheranan. Merasa ia benar-benar harus membawa gadis itu ke rumah sakit jiwa.
"Hei, kau ingat di mana sekolahmu?" Jiyong menegurnya. Meski ia ragu gadis itu masih sekolah. Ragu kalau ada sekolah yang mau menerima gadis dengan gangguan halusinasinya untuk belajar di sana.
"Tidak ada," malas Lisa. "Aku bukan anak sekolah," susulnya.
Gadis itu meraih lagi handphonenya sekarang. Berencana untuk mencari informasi tentang penemuan mesin waktu atau sejenisnya. Tapi tetap saja, handphonenya tidak berfungsi di sana. "Heish! Sialan!" umpatnya, kembali sadar kalau provider teleponnya, belum berdiri pada tahun 2020.
"Masuklah, biar dokter memeriksa-"
"Dokternya punya mesin waktu?" potong Lisa.
"Imajinasimu benar-benar luar biasa," komentar Jiyong, tapi pria itu terdiam, saat dengan wajah ketusnya Lisa mengulurkan dompetnya. Dalam dompet itu, Jiyong lihat kartu identitasnya.
Namanya Lalisa Kim, lahir pada 27 Maret 2024. Alamat rumahnya ada di Green House Villa, lantai lima belas. Tidak hanya itu, bentuk kartu identitasnya, beberapa kartu lain, juga lembar-lembar uangnya, terlihat sangat asing bagi Jiyong. Tidak seperti uang dan kartu yang biasa ia lihat.
"Apa ini lelucon? Kenapa sampai membuat semua ini?" tanya Jiyong, masih tidak percaya kalau gadis di depannya datang dari masa depan.
"Aku juga berharap ini lelucon," kata Lisa, lantas mengulurkan handphonenya, memperlihatkan beberapa foto yang ada di handphonenya. Jiyong mengenali beberapa gambar di sana, tapi sebagian besarnya terlihat asing. Gedung-gedungnya terlihat lebih futuristik, terlihat lebih mewah sekaligus asing. "Aku tidak sakit, ini bukan halusinasi, antar saja aku pulang," kata Lisa, sekarang bangkit.
"Kemana?" tanya Jiyong, masih sembari melihat-lihat foto di handphone Lisa. Masih mengira kalau apa yang ada di sana hanya hasil editan yang teramat halus. Hasil editan sempurna.
"Green House Villa, sudah berapa kali aku bilang aku mau ke sana?!" kesal Lisa.
"Ya! Kenapa kau marah padaku?!" sebal Jiyong. "Tidak... Siapa yang percaya kau dari masa depan? Anak kecil- ya! Berapa usiamu? Minus empat? Jujur saja, dimana kau di rawat? Berapa usiamu? 17 tahun? Ini sudah malam, orangtuamu pasti khawatir, jadi berhenti main-main," kata Jiyong, yang sempat emosi tapi berusaha menahan dirinya. Gadis di depannya, hanya seorang anak remaja yang sakit— yakinnya.
Karena Lisa terus memaksa, Jiyong membawanya ke Green House Villa. Ke bangunan kumuh, yang bahkan tidak punya pintu dan jendela. Hanya ada kontruksi yang mangkrak di sana, ditinggalkan karena kehabisan modal. Tempatnya tidak jauh dari posisi Lisa hampir tertabrak tadi, dan setelah melihat bangunan itu— dengan palang nama di pagar sengnya— Lisa menghela nafasnya.
"Jadi aku benar-benar gelandangan sekarang?" gumamnya, terus menghena nafasnya.
"Sudah puas? Sekarang beritahu aku dimana kau dirawat?" pinta Jiyong tapi Lisa tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Ia benar-benar tidak punya tempat tujuan sekarang.
"Bawa saja aku ke kantor polisi," kata Lisa, tidak lagi punya tenaga untuk menjelaskan situasinya.
Satu yang ada di kepalanya sekarang— bagaimana caranya ia bisa kembali? Bagaimana caranya, agar ia bisa pulang?
Malas berurusan lebih lama dengan gadis aneh itu, Jiyong benar-benar membawanya ke kantor polisi. Ia turunkan Lisa di depan kantor polisi terdekat. Membiarkannya turun, lalu membiarkan juga gadis itu berterima kasih padanya. "Aku tidak punya apapun, selain uang di dompetku tadi. Kau mau menerima uangku? Meski tidak akan bisa memakainya?" tanya Lisa, sebelum ia pergi meninggalkan mobil Jiyong.
"Tidak, aku tidak perlu apapun, jangan sampai kita bertemu lagi, berjanjilah kau tidak akan mengatakan apapun tentangku ke reporter, atau ke polisi," jawab pria itu dan Lisa menganggukan kepalanya. Bersedia untuk bekerja sama.
Lisa benar-benar turun dari mobil pria itu sekarang. Lalu, sebelum ia tutup pintunya, gadis itu tunjuk handphone Jiyong. "Ah! Terimalah kerjasama dengan Vogue, pemotretan majalahnya. Di masa depan, aku butuh majalahmu, untuk kuliahku," katanya, ingat kalau ia sempat melihat notifikasi pesan tentang kerjasama pemotretan saat meminjam handphone Jiyong tadi.
Mereka benar-benar berpisah sekarang. Jiyong melaju pergi sedang Lisa berusaha menjelaskan keadaannya di kantor polisi. Satu jam Lisa berusaha meyakinkan pria-pria di kantor polisi itu. Meski akhirnya, ia hanya dikira mabuk, memakai narkoba, sakit jiwa bahkan imigran ilegal di sana. Sidik jari, kartu identitasnya, semuanya tidak berguna di sana. Tidak satupun mesin bisa mengenali dirinya, tentu saja karena ia belum lahir di tahun itu.
Lisa diusir, setelah dianggap menganggu para petugas bekerja. Ia diancam akan ditahan kalau tidak segera pergi dan menyudahi leluconnya. Karananya gadis itu memilih untuk pergi. Ia sudah terjebak di tahun 2020, dipenjara atau dikirim ke rumah sakit jiwa tidak akan berakhir baik baginya.
Sekarang, ia berdiri seorang diri di depan kantor polisi itu. Menghela nafasnya, mencari solusi untuk masalahnya yang paling mendesak— dimana ia bisa bermalam saat ini?
Merasa kalau keinginannya baru saja dikabulkan, sekali lagi Lisa menghela nafasnya. Ia benar-benar jadi gelandangan tepat setelah berkata begitu sore tadi— lucu sekali, pikirnya.
Sembari terus menghela nafasnya, gadis itu pergi ke halte terdekat. Duduk di sana, seorang diri dalam malam yang gelap. Tetap terasa gelap meski beberapa lampu dibiarkan menyala.
Sedang ditempat lain, Jiyong tidak bisa berhenti memikirkannya. Polisi pasti akan melakukan sesuatu padanya— yakin Jiyong. Merasa kalau tidak akan ada masalah meski ia meninggalkan Lisa di kantor polisi. Polisi pasti akan membantunya. Tapi bagaimana kalau polisi juga tidak mempercayainya? Bagaimana kalau mereka tidak bisa menemukan orangtua anak itu? Bahkan dirinya sendiri tidak bisa percaya kalau Lisa datang dari masa depan, bagaimana polisi bisa mempercayainya?
Jiyong terus penasaran. Lalu ia putuskan untuk kembali. Ia harusnya mengantar Lisa masuk ke kantor polisi. Ada seorang anak yang punya sedikit masalah dengan ingatannya, dia kelihatan linglung dan terus bicara kalau dirinya datang dari masa depan, sepertinya dia benar-benar sakit, tolong bantu mencarikan orangtuanya— harusnya Jiyong berkata begitu di kantor polisi. Karenanya sekarang ia memutuskan untuk kembali.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ashes
FanfictionI can't hold you like the ashes You're spreading out Searching for your scent to call you back I can't see you through the flash My eyes are blurred Searching for your flashback in my mind 🎶 Ashes - Zior Park ft. Ai Tomioka