9

318 66 11
                                    

***

Makanan yang biasa Lisa makan, jauh lebih mahal daripada yang ada di depannya sekarang. Lobster, kepiting, daging sapi, caviar semua yang biasa Lisa keluarkan dari lemari esnya berasal dari tempat-tempat luar biasa. Bahan makanan kualitas premium, nomor satu, super mahal yang hampir setiap hari membuatnya menangis.

Jennie— ibunya— yang membawa semua makanan enak itu. Dari istana mewahnya bersama sang suami, Jennie membawa semua makanan itu. Menyimpannya di dalam lemari es, khusus untuk putrinya yang tinggal sendirian. Khusus untuk Lisa yang ia tinggalkan sendirian di Green House Villa. Sang ibu bermaksud baik, ingin ia beri putrinya makanan yang sebelumnya tidak pernah mereka rasakan.

Tapi semua makanan itu, adalah makanan curian, terkadang justru makanan sisa dari bangsawan yang tinggal di istana. "Ini bukan makanan sisa, ini bukan sampah, aku tidak mengambilnya dari piring kotor apalagi tempat sampah, kenapa kau selalu sinis begitu? Makan saja, makanannya tidak bersalah. Kapan lagi kau bisa makan makanan seperti ini?" begitu yang Jennie katakan, setiap kali Lisa menolak makanan bawaannya. Memang bukan dari piring kotor, memang bukan dari tempat sampah, tapi Lisa tahu makanan-makanan yang tidak habis itu akan dibuang jika Jennie tidak mengambilnya. Bahkan para pelayan tidak membawa sisa makanan dari rumah majikannya, ibunya benar-benar menyedihkan.

Sesekali, sembari menangis, Lisa menyuapkan makanan dingin itu ke mulutnya. Mengasihani dirinya sendiri, mengasihani ibunya, yang harus mengais sisa-sisa makanan orang lain untuknya. Duduk sendirian di hadapan semua makanan, Lisa tidak bisa membayangkan hal lainnya— selain komentar ayah tirinya setiap kali mereka bertemu. Gelandangan tidak tahu malu, pengemis menyedihkan, begitu yang selalu dikatakannya, bersama tatapan jijik yang tidak bisa ia sembunyikan.

Pagi ini, sekali lagi Lisa menangis di depan makanannya. Ia duduk bersama Nyonya Kwon di meja makan, semangkuk nasi dengan mangkuk sup ayam di sebelahnya, lalu ada telur goreng, kimchi dan sampingan lainnya dihidangkan untuknya. Ia memakai alat makan yang sama seperti Nyonya Kwon. Jumlah nasi mereka sama, potongan ayam dalam supnya pun sama. Segelas air mineral dituangkan untuknya. Meski bukan air mineral dari dalam botol kaca berlabel air pegunungan Alpen.

"Kau baik-baik saja? Kenapa menangis lagi?" tanya Nyonya Kwon, alih-alih terlihat kesal, tidak nyaman, wanita itu justru menatap kasihan padanya. Tatap keibuan yang amat dirindukannya, dibarengi sentuhan lembut di punggung tangannya.

"Aku merindukan ibuku," pelan Lisa, buru-buru menghapus air matanya. "Maaf, kalau aku membuatmu tidak nyaman," susulnya.

"Tidak apa-apa, makan lah sebelum supnya dingin," tenang wanita itu, tersenyum sembari meletakkan sebuah sendok di tangan Lisa. Menyuruh gadis itu untuk segera makan. "Saat di camp militernya kemarin, putraku juga menangis, katanya dia merindukan masakan rumah. Padahal kalau di rumah dia hampir tidak pernah makan," ceritanya, mengusap-usap punggung tangan Lisa, bermaksud menenangkannya. 

Lisa menganggukan kepalanya. Pelan-pelan tersenyum sembari sekali lagi mengusap pipinya. Menghapus air matanya, baru kemudian ia menyuapkan nasi hangat itu ke mulutnya. "Enak, sangat enak, enak sekali," katanya, terus mengisi mulutnya dengan semua makanan yang ada di depannya.

Nyonya Kwon tersenyum, lantas ia anggukan kepalanya. Mengatakan kalau Lisa bisa menghabiskan semuanya. Kalau gadis itu mau, dia juga bisa mengambilkan semangkuk sup lagi. "Makan lah pelan-pelan," kata wanita itu, membuat Lisa tersenyum malu, lalu mengurangi laju suapannya. Menurunkan laju degup jantungnya yang sekarang berlebihan.

"Jiyong memberitahuku," Nyonya Kwon tiba-tiba berkata. "Kau tinggal di sekitaran Green House Villa dan rumahmu kebakaran, kau sudah baik-baik saja sekarang?" tanyanya kemudian.

Lisa sempat diam, menebak-nebak bagaimana Jiyong mengarang kebohongannya. Tapi setelah ia telan nasi dalam mulutnya, gadis itu mengangguk. "Iya, sekarang aku baik-baik saja. Aku tidak terluka, hanya... Kehilangan segalanya?" ceritanya, berusaha mengikuti skenario yang sudah Jiyong karang. "ID card, lisensi menyetir, buku tabungan, ATM, semuanya terbakar, aku perlu mengurusnya lagi," katanya kemudian.

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang