54

294 59 1
                                    

***

Mereka berkendara, tapi tidak satupun bicara. Jennie menatap keluar jendela, melihat jalanan yang mereka lewati. Sementara Lisa hanya mengemudi, dengan sebelah tangannya yang ia pakai bersandar ke pintu mobil, lalu memijat pelipisnya sendiri. Teleponnya berdering, langsung tersambung pada speaker mobilnya. Di layar navigasi, pemberitahuan kalau ada telepon dari Kwon Jiyong muncul.

Jennie melirik notifikasi panggilan itu, tapi berlaga tidak peduli. Sedang Lisa menjawab teleponnya. "Aku sedang menyetir dengan Jennie sekarang," kata Lisa, sebelum Jiyong mengatakan apapun.

"Kau terluka?" tanya Jiyong, setelah beberapa detik ia terdiam. Mencoba untuk membiasakan dirinya, tidak menyebut Jennie sebagai ibunya Lisa.

"Tidak, hanya sedikit di dorong tapi aku tidak jatuh, ada Jennie di belakangku, jadi aku hanya menabraknya," cerita Lisa. "Sepertinya aku tidak akan pulang hari ini. Bisa tolong selesaikan masalah di sana? Beberapa orang pasti merekam kami tadi," pintanya kemudian.

"Hm... Aku akan mengurusnya, tapi kemana kau akan pergi? Jangan terlalu jauh, perutmu sakit tadi pagi. Ajak saja Jennie ke rumah kalau kau tidak bisa meninggalkannya sendirian," susulnya, kali ini membuat Jennie langsung menoleh ke arah Lisa. Langsung menggelengkan kepalanya, ingin mengatakan kalau ia tidak mau pergi ke rumah G Dragon.

"Tidak perlu khawatir, aku hanya akan makan malam bersama Jennie hari ini."

"Jangan minum alkohol-"

"Augh! Astaga! Oppa, jangan khawatir, akan aku kirim alamatnya nanti, kau bisa datang kalau mau menyusul," potong Lisa, lantas berpamitan untuk mengakhiri teleponnya. Mengaku kalau ia harus fokus menyetir sekarang.

"Kau mau membawaku kemana?" kali ini Jennie yang bertanya. Tepat setelah panggilan Lisa berakhir. "Shift kerjaku belum selesai, aku harus kembali ke cafe," susulnya.

"Pantai," kata Lisa, tetap mengemudi meski Jennie menolak ajakannya.

Jennie ingin kembali ke cafe. Ia merasa perlu kembali ke sana. Ingin ia jelaskan situasinya pada bosnya, memohon untuk tidak dipecat, agar ia tidak perlu di usir dari gudang cafe itu. Meski begitu, Lisa tidak merubah arah laju mobilnya. Mereka akan tetap ke pantai, Lisa bersikeras. Sama keras kepalanya seperti Jennie.

Melompat dari mobil pun tidak mungkin Jennie lakukan, karenanya, setelah hampir satu jam berdebat Jennie menyerah. Di tengah perjalanan menuju pantai, baru keduanya kembali diam. Jennie mendengus kesal kemudian mendorong turun sandaran kursinya. Gadis itu merajuk, sebab Lisa tidak mau menuruti keinginannya. 

Ketika mereka akhirnya tiba di pantai, Jennie masih terlelap. Lisa membiarkannya tetap tidur, sementara ia duduk di kursinya, melepaskan sandalnya, menaikan kedua kakinya ke jok mobil, memeluk lututnya sendiri. Ia menumpukan dagunya di atas lututnya. Menatap pada laut biru yang berada jauh di depannya. Mobil itu berhenti di tempat parkir sekarang, masih ada jalanan setapak yang perlu mereka lewati sebelum bisa menginjak pasir pantainya.

Lisa tidak mengatakan apapun, hanya beberapa kali ia hela nafasnya. Ini kali pertamanya pergi ke pantai bersama ibunya. Jennie selalu menolak menemaninya ke pantai. Ibu yang Lisa kenal membenci pantai. Ibu yang Lisa kenal, tidak pernah sudi pergi ke pantai bersamanya.

Kira-kira dua puluh menit Lisa memikirkan ibunya. Merindukan ibunya di 2051 yang ia tinggalkan. Penasaran bagaimana kondisi ibunya sekarang. Penasaran apa yang terjadi pada tahun itu setelah kepergiannya. Di tengah lamunannya, handphonenya kembali berdering. Sekali lagi Jiyong meneleponnya, sekaligus membangunkan Jennie di kursi sebelah.

Sebentar gadis itu kelihatan bingung. Jennie melihat sekeliling, untuk mencaritahu dimana mereka berada sekarang. Sementara Lisa mengatakan ia akan menjawab teleponnya di luar.

"Aku di pantai sekarang, baru saja akan mengirimimu alamatnya," kata Lisa, setelah ia menutup kembali pintu mobilnya. "Aku ingin menginap satu malam di sini, menyetir ke sini ternyata melelahkan, kenapa aku jadi mudah lelah sekarang? Apa semua yang hamil begini?" ocehnya, sebelum Jiyong punya kesempatan untuk mengomelinya.

"Di pantai mana? Aku bisa menjemputmu," tanya Jiyong, yang sebenarnya cukup sibuk hari ini. Ia sedang merekam sekarang, berencana untuk menyanyikan ulang sebuah lagu lama.

"Kalau oppa menjemputku, aku tetap harus duduk di mobil berjam-jam, aku mau menginap saja, besok aku kembali, ada beberapa hotel di dekat sini," kata Lisa. "Lelah sekali, rasanya aku ingin tidur di ranjang," susulnya.

Akhirnya Jiyong menyerah. Pria itu juga harus ingat, kalau Lisa bukan anak-anak yang akan hilang di pantai. Gadis itu pasti bisa menjaga dirinya sendiri, ia hanya perlu mempercayainya. "Kalau begitu, carilah hotel yang bagus. Jangan tidur di sembarangan penginapan. Akan aku kirim uang untuk mencari penginapan," kata pria itu kemudian.

"Aku punya uang," balas Lisa. "Tapi kalau oppa memaksa memberiku uang jajan, aku tidak keberatan," susulnya kemudian terkekeh.

"Aku tidak memaksa, kau boleh menolaknya," komentar Jiyong.

"Tidak, aku mau menerimanya, karena oppa memaksa," canda Lisa lalu terkekeh, sengaja begitu agar Jiyong tidak terlalu khawatir.

Panggilan berakhir, lalu setelah beberapa menit berfikir, Lisa mengajak Jennie masuk ke sebuah restoran di tepi pantai. Restorannya kelihatan mahal, dengan balkonnya yang menjorok ke laut. Mereka duduk di balkon sekarang, makan dengan deru ombak yang terasa sangat dekat.

"Aku sudah, apa yang kau mau?" tanya Lisa pada ibunya, setelah gadis itu memesan empat porsi makanan dan dua gelas minuman.

"Eonni, kau akan makan semua itu sendirian?" heran Jennie, sebab ia pikir, tadi Lisa memesan juga untuknya.

"Hm... Aku lapar, pilih makananmu sendiri," angguk Lisa. "Pilih apapun, aku yang traktir," susulnya, hanya ingin membuat Jennie merasa sedikit lebih tenang. Ia bisa makan apapun tanpa memikirkan harganya sekarang.

Mereka makan dalam diam. Menikmati suap demi suap tanpa mengatakan apapun. Makanannya enak, tapi obrolan ringan terasa canggung bagi keduanya. Haruskah aku bilang makanannya enak? Haruskah aku menawarinya mencicipi makananku?— Jennie tidak tahu bagaimana ia harus bersikap sekarang. Begitu pun dengan perempuan di depannya.

Makanan utamanya habis. Jennie kelihatan sedikit terkejut melihat Lisa bisa menghabiskan semua makanan itu. Dan gadis itu jadi lebih terkejut lagi ketika Lisa kemudian memesan lagi. Kali ini dessert, bersama segelas jus kiwi. "Kau masih bisa makan?" heran Jennie, akhirnya berkomentar.

"Aku juga terkejut melihat diriku sendiri, sejak hamil aku selalu lapar," balas Lisa, setelah pelayan yang mencatat pesanan keduanya pergi. "Aku tidak pernah mual, tidak ada morning sickness, aku bahkan bisa makan apapun yang diberikan padaku, sebelumnya aku benci mie instan, karena ibuku selalu memberiku mie instan, tapi sekarang aku menyukainya. Walaupun setelah itu aku dimarahi, katanya ibu hamil tidak boleh makan mie instan," cerita Lisa.

"Itu lebih baik daripada terus muntah," komentar Jennie, kemudian mengatakan kalau ia juga ingin punya seorang anak. Ia ingin membuat keluarganya sendiri, sebab sang ayah tidak menganggapnya sebagai keluarga. "Aku minta maaf, atas sikap ayahku," gadis itu sekarang menundukan kepalanya. Menahan rasa malu yang selama ini mengganggunya. "Aku sudah menyuruhnya untuk berhenti. Aku sudah memintanya untuk berhenti mengganggumu. Aku sudah mencobanya, tapi dia tidak mau mendengarkanku. It's always been the same old story. Sejak aku bisa bicara, dia selalu menyuruhku untuk diam. Aku tidak bisa menghentikannya, maaf," susulnya.

"Kau tidak ingin pergi darinya?" tanya Lisa, ingin tahu. "Kau tidak bisa langsung membuat keluargamu sendiri, tapi kau bisa pergi darinya. Lalu pelan-pelan bertemu seorang pria yang baik, kalian bisa menikah dan kau bisa membuat keluargamu sendiri. Aku bisa membantumu, untuk pindah dan menetap di suatu tempat."

"Kenapa? Kenapa kau harus membantuku? Kau ingin mendapatkan sesuatu dariku?"

"Apa yang bisa aku dapatkan darimu?"

"Tidak ada. Karena itu, kenapa kau terus terlibat?"

"Uhm... Simpati? Empati? Ayah tiriku juga bajingan," jawab Lisa, mengingat Lee Jaewook yang sudah lama tidak pernah muncul lagi. Ia belum sempat bertanya bagaimana hubungan Jennie dengan pria itu di sini.

***

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang