***
Karena Jennie tidak menghubunginya, Lisa pun berusaha untuk tidak mencari tahu lagi. Ia khawatir, bantuannya sekarang akan jadi kepak kupu-kupu kecil yang nantinya membentuk badai di masa depan. Ia khawatir, masa depan akan banyak berubah karenanya. Tentu tidak akan jadi masalah, kalau masa depannya bisa berubah baik seperti dalam drama. Tapi tidak ada jaminan masa depan itu akan berubah baik, bagaimana kalau justru sebaliknya? Bagaimana kalau masa depan yang 'baik' itu bisa terjadi tanpanya?
Satu hari, dua hari, satu minggu, Lisa menjalani hidupnya seolah ia tidak pernah mengkhawatirkan ibunya. Seolah tidak pernah ia ketahui penderitaan ibunya. "Kalau memang harus merubah dunia, akan aku lakukan setelah aku lahir," yakin Lisa, memaksa dirinya sendiri untuk menunggu sampai 2024, setelah ia lahir. Kalau sampai 2024 aku masih ada di sini, akan aku lakukan apapun untuk membantu ibuku— niatnya, yang meski ragu tetap Jiyong setujui. Akan Jiyong dukung apapun keputusan gadis itu, hanya begitu yang bisa ia lakukan untuk kekasihnya.
Sekarang, satu-satunya yang mereka lakukan hanya memastikan Jennie tetap hidup. Bagaimana gadis itu akan hidup, Lisa tidak mau ikut campur. Tidak akan ia ganggu hidup ibunya, berharap dengan begitu dirinya tetap bisa dilahirkan. Berharap dengan begitu, Jennie tidak akan mengugurkannya.
"Ironis sekali," kata Lisa, di mobil Jiyong dalam perjalanan mereka ke tempat kerja. Jiyong di undang untuk menghadiri launching produk baru hari ini, dari brand yang bekerja sama dengannya. "Sebelum ke sini, aku bilang aku mau mati, tapi sekarang aku stress karena takut tidak jadi dilahirkan," keluhnya, pada pria yang sekarang mengemudikan mobil mereka.
Sedari salon tadi, Jiyong sudah siap untuk turun dari mobil dan berfoto. Ia sudah memakai pakaiannya, sudah menata rambutnya, sudah juga memakai sedikit riasan di wajahnya. Pria itu siap untuk bekerja, tapi Lisa asistennya tidak mau menyetir untuknya. Jiyong harus menyetir mobilnya sendiri siang ini.
"Kau jadi menghargai hidupmu sekarang?"
"Aku bahkan menghargai semua butir nasi yang aku makan tadi lagi. Bagaimana kalau aku tidak jadi dilahirkan? Aku tidak akan pernah merasakan nasi hangat seumur hidupku? Bagaimana bisa?"
"Tapi dalam kasusmu, bukankah tidak dilahirkan akan sama seperti mati?"
"Kalau begitu oppa masih akan mengingatku? Tapi tetap saja itu jadi masalah, berarti aku akan mati sebentar lagi?"
"Augh! Kepalaku sakit," kata Jiyong, tidak bisa memijat kepalanya sendiri, sebab tidak ingin rambunya berantakan lagi. "Bisa berhenti membicarakan ini? Obrolan ini akan merusak moodku seharian," tambahnya.
"Sorry, aku tidak ingin moodku rusak sendirian," balas Lisa, menatap pada Jiyong dengan senyum terpaksanya. "Tapi oppa, kakakmu belum hamil?" tanyanya kemudian.
"Sepertinya belum, memang kapan keponakanku lahir?"
"Februari," jawab Lisa. "Tapi kakakmu dan suaminya melakukannya kan? Mereka tidak pisah ranjang atau bertengkar seperti kakaknya Seunghyun oppa, iya kan?"
"Kau sangat ingin keponakanku lahir? Kenapa? Kau ingin mengencaninya? Sudah merindukannya?"
"Oppa masih cemburu pada keponakanmu sendiri?"
"Tentu saja!" seru Jiyong, sesekali melirik ke gadis di sebelahnya. "Kalian membuat tato couple tapi kau tidak mau melakukannya denganku," susulnya.
"Itu hanya stiker, digosok sedikit saja hilang," balas Lisa. "Kalau oppa mau, aku tidak keberatan. Masalahnya oppa ingin tato sungguhan, aku tidak mau tato sungguhan, aku takut ditusuk jarum, sakit, no, no, no," gelengnya, terus menolak.
"Tidak sakit-"
"Siapa yang mau kau bohongi?" ketus Lisa, melirik sinis pada kekasihnya kemudian merengek lagi— mengatakan kalau ia tidak mau bertemu jarum dalam bentuk apapun. Lisa tidak mau membuat tato sungguhan di tubuhnya.
Mereka akhirnya tiba di lokasi acaranya. Sebuah mobil baru saja diluncurkan, begitu tiba, Jiyong yang lebih dulu keluar dari kursi pengemudinya. Di lobby tempat acara itu, puluhan reporter sudah berkumpul. Kilat kamera menyambar-nyambar ketika Jiyong keluar, menutup pintu mobilnya kemudian tersenyum. Menyapa beberapa orang yang perlu ia lewati untuk membukakan pintu mobil disebelah Lisa.
Melihat Lisa diperlakukan seperti bintang utamanya, para reporter bertanya-tanya, apa Lisa sedang hamil— sebab beberapa foto gadis itu memilih vitamin kehamilan di mall tersebar di internet. Lisa ingin mengatakan pada orang-orang itu kalau ia tidak hamil, tapi Jiyong tidak memberinya kesempatan. Begitu datang, pengawal yang bertugas langsung meminta keduanya untuk masuk. Tidak ada jeda bincang-bincang di sana.
Jiyong bekerja di sepanjang acaranya. Ia menyapa, mengobrol, bicara pada semua orang yang ditemuinya. Sedang Lisa hanya mengekor, sesekali bicara jika seseorang bertanya padanya. Tentu pertanyaan yang Lisa terima tidak pernah jauh dari— kapan kita bisa bertemu untuk membicarakan project selanjutnya? Kapan kira-kira jadwal G Dragon senggang?
"Sayang, bisa tolong carikan aku air?" pinta Jiyong, berbisik pada asistennya, sembari mengulurkan gelas champagne yang sekarang kosong.
Lisa menggumam untuk mengiyakannya. Lantas ia ambil gelas yang Jiyong berikan padanya. Membuat pria itu bisa kembali mengobrol dengan beberapa wanita di depannya, membicarakan rencana yang akan datang. Gadis itu memberikan gelas kosongnya pada seorang pelayan yang dilewatinya, lantas ia langkahkan lagi kakinya menuju sudut ruangan, dimana meja penuh air mineral ada di sana.
Ia baru saja meraih sebotol air mineral, ketika seorang pria menghampirinya. Kim Junghyun, Lisa ingat pria pucat itu, meski sekarang ia kelihatan normal dengan pakaian resminya. "Lalisa Kim?" sapa pria itu, jauh lebih sopan daripada sebelumnya.
"Ah? Ya," angguk Lisa, tidak berani tersenyum, tidak berani mendekat, sebab khawatir akan ada kesalahpahaman di sana. Akan sangat memalukan kalau Kim Junghyun bertingkah gila seperti terakhir kali mereka bertemu.
"Bisa kita bicara sebentar?" tanyanya, tenang dan sopan.
"Tentu, tapi tunggu sebentar," jawab Lisa, sekarang menunjukan botol di tangannya. Hanya memberi tanda kalau ia harus mengantarkan botol itu pada kekasihnya.
Sembari mengatur nafasnya. Menahan gugup, menenangkan dirinya, Lisa menghampiri Jiyong. Ia tersenyum pada orang-orang yang tengah bicara dengan kekasihnya. Dibukakannya botol air mineral itu, kemudian mengulurkannya pada Jiyong. Menanggapi obrolan orang-orang itu sementara Jiyong berbalik untuk menenggak airnya. Lisa tidak mengambilkannya gelas atau sedotan. Gadis itu sudah terlanjur panik karena tiba-tiba melihat Kim Junghyun di sana.
Sekarang Jiyong diajak berkeliling. Kembali melihat beberapa mobil yang sedang dipamerkan. Tentu Lisa mengekorinya, tapi kali ini ia pegang lengan Jiyong, meminta pria itu untuk melambat bersamanya. "Ayahnya Jennie ada di sini," bisik Lisa, melangkah seolah dirinya tidak gugup. "Jangan langsung di lihat!" bisik sebal gadis itu, menarik lengan Jiyong agar pria itu tidak menoleh ke belakang, tempat ia mengambil air mineral tadi.
"Dia ingin bicara padaku," tambah Lisa, masih berbisik, memberitahu Jiyong alasannya gugup.
"Jangan-"
"Aku sudah bilang akan bicara dengannya, tapi kalau dalam sepuluh menit aku tidak kembali, cari aku, ya?" potong Lisa. "Aku takut dia akan membuat keributan di sini, libat dahinya, masih terluka, bagaimana kalau dia melakukan itu lagi di sini? Pasti memalukan," katanya, tidak bermaksud membujuk Jiyong. Hanya ia beritahu pria itu apa keputusannya.
"Baiklah, tapi jangan terlalu jauh. Jangan ke tempat sepi juga," kata Jiyong, tidak bisa berdebat. Tidak bisa melarang, tapi pria itu tetap berbalik, membuat kontak mata dengan Kim Junghyun yang ada jauh di belakang mereka. Hanya ingin membuat kesan kalau ia akan memperhatikan mereka. Memastikan Kim Junghyun akan berfikir dua kali sebelum mengganggu Lisa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ashes
FanfictionI can't hold you like the ashes You're spreading out Searching for your scent to call you back I can't see you through the flash My eyes are blurred Searching for your flashback in my mind 🎶 Ashes - Zior Park ft. Ai Tomioka