10

381 74 11
                                    

***

Di tempat parkir, selepas Lisa memasukan semua barang bawaannya ke mobil, Jiyong menghampirinya. Pria itu baru datang setelah menyapa dan memeluk ibunya. Ia datang dengan pakaian yang Lisa pilih untuknya. Alih-alih langsung masuk ke mobil, pria itu menghampiri Lisa di kursi pengemudi. Melihat Lisa yang tengah mempelajari mobilnya.

"Kenapa? Mobilnya berbeda dengan yang biasa kau pakai?" tanya Jiyong, berdiri di sebelah pintu pengemudi yang masih terbuka.

"Tidak, hanya navigasinya yang berbeda," kata Lisa, masih mencari cara memakai navigasi Lamborghini itu di internet.

"Kalau begitu biar aku saja yang menyetir," kata Jiyong. Mengatakan kalau ia juga akan mengajari Lisa caranya menyetir.

Lisa mengangguk, tidak ia bantah apa kata bosnya sekarang. Jiyong sudah memberinya ruang untuk keluar dan pindah ke kursi sebelah, tapi gadis itu justru memilih untuk melompati bagian tengahnya. Ia pindah ke kursi penumpang tanpa keluar dari mobilnya, seperti seorang anak-anak.

"Kau tahu apa yang ibuku katakan barusan?" tanya Jiyong, sembari terkekeh masuk ke mobilnya.

"Apa?"

"Putraku, kau tidak memperkerjakan anak dibawah umur kan?" kata Jiyong, mengulangi pertanyaan ibunya sebelum ia berangkat tadi.

Lisa bercermin di kaca tengah sekarang. Memandangi wajahnya yang terpantul di sana. Hanya wajah biasa, tidak ada yang spesial— nilai gadis itu pada dirinya sendiri. Sepanjang hidupnya, wajahnya tidak pernah jadi kelebihan yang menguntungkan baginya. Memang beberapa pria menganggapnya cantik, tapi kebanyakan dari mereka hanya ingin tidur dengannya. Dalam hidupnya, ia tidak pernah merasa lebih dari sebuah alat tanpa jiwa. Aku hanya hidup karena sudah terlanjur lahir— begitu caranya hidup selama ini.

"Apa semua orang diwaktumu sepertimu?" tanya Jiyong dan Lisa mengangguk, menyelesaikan kegiatan bercerminnya. "Sepertinya dokter kulit luar biasa di sana," komentar Jiyong dan sekali lagi Lisa menganggukan kepalanya.

"Tidak terlalu mahal juga, tapi tetap saja aku tidak pernah pergi ke sana," kata Lisa.

"Apa kau sedang merendah sekarang? Untuk pamer kalau kau cantik sedari lahir?"

"Aku miskin, itu yang mau aku katakan," balas Lisa. Membuat Jiyong tidak lagi bisa menanggapinya. Apa yang Lisa harapkan dengan bicara begitu? Dikasihani atau diberi hadiah? Jiyong tidak yakin mana yang paling benar, karenanya ia memilih untuk diam.

Mereka berkendara, tapi alih-alih pergi ke villa tempat acara diadakan, Jiyong justru menghentikan mobilnya di depan sebuah toko. Ia ajak Lisa turun, kemudian masuk ke dalam toko pakaian itu. Menyuruh Lisa memilih beberapa baju untuk dibawanya ke villa. Gadis itu tidak mungkin akan memakai sepasang pakaian selama berhari-hari, tanpa mengganti pakaian dalamnya juga.

"Aku akan menunggu di mobil, pilih saja pelan-pelan, bayar dengan ini, kau tahu caranya kan?" tanya Jiyong mengulurkan sebuah kartu pada Lisa.

Gadis itu menganggukan kepalanya, lantas Jiyong berbalik untuk meninggalkannya ke mobil. Tapi sebelum pria itu melangkah lebih jauh, ia berbalik, "ah! Pilih yang kelihatan sedikit dewasa, jangan buat aku kelihatan berjalan dengan keponakannya," pesan Jiyong sebelum pergi.

Lagi-lagi Lisa menurutinya. Ia pilih beberapa kemeja juga celana dan tentu saja pakaian dalam. Untuk baju tidur, dipilihnya beberapa kaus dan celana yang lebih nyaman. Merasa kalau ia harus mengganti semua uang itu nantinya, jadi gadis itu tidak memilih banyak pakaian. Hanya ia beli apa yang benar-benar dibutuhkannya.

Tiga puluh menit setelahnya, gadis itu kembali dengan semua barang belanjaannya. Tidak banyak, sampai Jiyong bertanya-tanya apa semua itu cukup. "Padahal kau boleh menghabiskan lebih banyak uang," komentar Jiyong, kembali menyetir ke lokasi MT.

"Terima kasih, tapi ini cukup... Aku tidak ingin punya lebih banyak hutang," kata Lisa, lebih sibuk memperhatikan cara Jiyong menyetir juga jalan yang mereka pilih. Ia hanya ingin bekerja dengan baik, ia selalu ingin bekerja dengan baik meski tahu keberadaannya tidak akan lama di sana. Ia berharap begitu.

Tiba di villa, sebuah bus dan beberapa van sudah lebih dulu ada di sana. Tentu Lisa tidak tahu siapa saja yang akan ada di sana, hanya ia keluarkan tubuhnya dari mobil, akan mengambil barang-barang bawaan mereka tapi Jiyong sudah lebih dulu menahannya.

"Nanti saja, kalau sudah perlu, siapa tahu kita bisa pulang malam ini," kata Jiyong, menahan Lisa agar tidak bekerja terlalu keras. Ia sedikit kasihan melihat gadis kurus itu berkeliling dengan banyak bawaannya.

"Ya," angguk Lisa, lagi-lagi menuruti perintahnya.

"Nanti kalau ada yang bertanya, bilang saja kalau kita sudah lama saling kenal. Saat aku wamil? Di suatu tempat dekat camp militerku?" kata Jiyong, merasa malu kalau ia harus mengatakan Lisa adalah gadis yang baru kemarin ia temui.

"Katakan saja ibuku bekerja di restoran di dekat camp militermu? Kita berkenalan lalu kau dengar rumahku kebakaran, aku dipecat, jadi kau membantuku, bagaimana?" tawar Lisa, merasa dirinya bisa mengerti alasan mereka perlu berbohong— tidak akan ada yang percaya kalau ia datang dari masa depan.

Jiyong menganggukan kepalanya. Tapi kemudian ia berkata kalau dirinya bukan seseorang sebaik itu, yang akan membantu seorang kenalan karena rumahnya terbakar. "Tapi kau bilang begitu pada ibumu?" balas Lisa. "Samakan saja ceritanya, sulit mengingat terlalu banyak cerita," kata Lisa dan Jiyong sekali lagi mengangguk.

"Karena itu, karena aku bilang begitu pada ibuku, dia pikir aku menyukaimu," keluh Jiyong, kemudian mengatakan kalau orang-orang di perusahaan sekarang akan berfikir hal yang sama. "Tidak bisa bilang kalau kau sepupuku saja?" katanya kemudian, mulai ragu membayangkan dirinya sendiri yang mengundang gosip orang-orang.

"Apa akan ada orang yang percaya aku sepupumu?" tanya Lisa dan Jiyong menggeleng. Lantas ia ulurkan tangannya, memberi Lisa tanda agar segera melangkah ke villa yang ada beberapa meter di depan mereka. "Tapi kau tidak menyukaiku kan? Kau tidak boleh menyukaiku, kau akan terluka kalau aku tiba-tiba pergi," susul Lisa, kali ini membuat Jiyong menaikan alisnya.

"Kau pikir jatuh cinta itu mudah? Kita baru bertemu kemarin, mana mungkin aku menyukaimu? Aku bilang kau cantik, karena kau memang cantik, hanya itu, tidak ada perasaan apapun. Kecuali kalau kau tahu nomor lotre yang akan menang," kata Jiyong.

"Kau sangat suka lotre?" komentar Lisa. "Memang berapa hadiahnya?"

"Dua sampai lima milyar."

"Bayaranmu lebih banyak dari itu."

"Tapi aku tidak perlu bekerja," kata Jiyong dan Lisa hanya menganggukan kepalanya. Lagi-lagi setuju.

Jiyong menoleh ke belakang, menatap pada Lisa yang tidak menanggapi ucapannya. Ingin tahu apa gadis itu merespon atau mengabaikannya. Dilihatnya Lisa menangguk, menyetujuinya, tapi ia tidak bisa menahan raut heran di wajahnya.

"Apa kau selalu begitu?"

"Begitu?"

"Tidak banyak bicara?"

"Tidak, aku banyak bicara," geleng Lisa.

"Tapi?"

"Tapi? Ah... semuanya masih terasa asing, aku belum selesai menyesuaikan diri," katanya kemudian.

"Kalau begitu, mulai sekarang, panggil aku oppa, agar terlihat dekat," suruh Jiyong. "Aku akan kelihatan sangat aneh kalau membawa seseorang yang tidak dekat denganku ke sini, bahkan membiarkannya tinggal di rumahku," susulnya.

"Baik, oppa," angguk gadis itu, tapi Jiyong justru merasa ada sesuatu yang salah di sana. Rasanya ada sesuatu yang tidak benar di sana. Sama seperti Lisa, rasa-rasanya Jiyong juga belum selesai menyesuaikan dirinya.

***

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang