1

582 70 4
                                    

***

Hari ini sang ibu pulang ke rumahnya. Berkunjung dengan banyak sisa makanan bekas pesta kemarin. Semua kelihatan enak. Semua terlihat seperti makanan yang baru saja dimasak. Tapi Lisa tahu, ia selalu tahu kalau makanan yang ibunya bawakan untuknya, hanya makanan-makanan sisa yang tidak suaminya inginkan lagi.

"Aku tidak mau!" Lisa berseru, menolak semua makanan sisa yang ibunya bawakan.

"Kenapa? Ini makanan mahal! Makan saja, kapan lagi kau bisa makan makanan seperti ini? Gajimu tidak akan pernah cukup untuk menikmati semua ini," balas sang ibu, bersikeras menaruh semua makanan yang ia bawa ke dalam lemari esnya.

Lisa menghela nafasnya sekarang. Menahan sesak di dadanya. Menahan tangisnya agar tidak meledak keluar. Ini bukan kali pertama. Ini bukan penolakan pertamanya. Kalau ia melanjutkan pembicaraan mereka, ini juga tidak akan jadi pertengkaran pertama mereka. Pertengkaran itu sudah sering terjadi sebelumnya.

"Apa kita pengemis?" tanya Lisa, akhirnya tidak tahan, setelah ia dengar ibunya membual tentang betapa enaknya lobster yang dibawanya.

Sang ibu marah, maka pertengkaran yang sudah sering terjadi itu harus sekali lagi mereka lewati. Lalisa Kim tidak pernah tahu siapa ayahnya. Sedari kecil hingga ia tumbuh dewasa, hanya ada ibunya di sisinya. Mereka hanya bisa saling mengandalkan, hanya berdua, awalnya.

Sekarang sang ibu menikah, dengan seorang duda setelah tiga bulan mengencaninya. Ketika masih berkencan, semua berjalan baik. Pria itu terlihat baik. Pria itu menyukai ibunya dengan sepenuh hati— meski ternyata sang ibu membohonginya. Sampai memutuskan mereka akan menikah, sang ibu tidak memberitahunya tentang keberadaan Lisa. "Aku masih lajang," begitu kata sang ibu, enggan mengakui kalau ada seorang gadis yang pernah ia lahirkan bertahun-tahun lalu.

"Berhenti dengan omong kosongmu itu!" sang ibu meneriaki Lisa. "Kita akan jadi gelandangan kalau aku tidak menikahinya! Kuliahmu, hidupmu, bahkan pekerjaanmu sekarang, kau tidak akan mendapatkan apapun kalau aku tidak menikah dengannya! Kau hanya perlu menikmati semuanya, kenapa kau selalu mengeluh?" heran wanita itu, membuat tangis Lisa jatuh ke pipinya.

Meski sang ibu menikahi seorang pewaris perusahaan besar, Lisa tidak pernah tinggal bersama mereka. Ia tetap tinggal di apartemen lamanya, yang sedari kecil ditinggalinya bersama sang ibu. Tidak sekali pun Lisa pernah menginap di rumah mewah ayah tirinya itu. Tidak juga ia bergabung dalam acara-acara keluarga pria itu. Bahkan ironisnya, Lisa dilarang datang ke hari pernikahan ibunya sendiri.

Tidak ada lagi kebahagiaan yang ia rasakan setelah ibunya menikah. Tapi setiap kali bertengkar, ibunya terus memaksanya untuk menikmati sisa-sisa buangan orang kaya itu. Lisa yang sekarang terluka, teramat terluka hingga tidak lagi bisa melihat jalanan di depannya, melangkah keluar rumah. Ia banting pintu rumahnya, setelah meninggalkan sang ibu yang terus memarahinya. Terus menyuruhnya untuk bersyukur, karena tidak jadi gelandangan di jalan.

"Aku lebih suka jadi gelandangan," gerutu gadis itu, berkali-kali mengusap air matanya, sembari melangkah di trotoar depan gedung apartemennya.

Ia terus melangkah. Melewati beberapa restoran, beberapa cafe sampai tiba di persimpangan. Masih sambil menangis, sesekali mengusap air matanya, gadis itu berbelok untuk menyeberangi jalanan di depannya.

Nothing ever lasts forever
In the end, you changed
There is no reason, no sincerity
Take away such a thing as love
Tonight, I’ll be crooked

Samar-samar Lisa mendengar alunan musik yang asing baginya. Ia tidak pernah mendengar musik itu sebelumnya. Lalu di detik berikutnya, dirasakannya sebuah benturan yang luar biasa keras. Ah... Aku tidak akan bisa mendengar lagu ini sampai selesai— pikirnya, sembari dirasakannya tubuhnya melayang di udara, terlempar jauh setelah sebuah mobil menabraknya.

***

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang