***
Mereka tetap di mobil, berdua. Duduk di kursi masing-masing dan Jiyong luar biasa tertarik mendengar cerita Lisa sekarang. Pria itu duduk menyamping, melihat gadis yang terus menatap ke depan, tengah membuka dirinya.
"Ibuku bajingan," kata Lisa, membuka ceritanya dengan memberi Jiyong banyak ekspetasi— kisah ini akan menyenangkan. "Tidak benar-benar jahat, tapi mulutnya begitu. Bukan tipe savage keren yang selalu benar, dia hanya menyebalkan, fucking ass hole," susulnya. "Aku tidak pernah tahu dia ikut trainee, di YG, bahkan di masa depan, YG masih terkesan wah... Semasa hidupku, ibuku bekerja dimana-mana. Petugas kebersihan, barista, pelayan restoran, kasir minimarket, pencapaian terbesarnya dia bekerja di butik pakaian mewah, jadi manager tokonya. Kami bisa membeli sebuah apartemen kecil karena pekerjaan itu," ceritanya.
"Ibumu tidak debut?"
"Mungkin tidak? Mungkin karenaku?" jawabnya. "Saat kecil aku pernah ikut club menari di sekolah, lalu dia marah. Dia melarangku menari, dia melarangku ikut kegiatan seni apapun. Belajar saja, kau tidak akan bisa kuliah kalau sibuk menari!— sedari kecil dia bilang begitu, jadi aku hanya belajar. Meski begitu aku juga bukan peringkat satu, siswa teladan yang selalu belajar. Bagaimana bisa aku belajar di restoran? Saat menunggui ibuku bekerja? Bagaimana aku bisa mengalahkan mereka yang ikut bimbel dimana-mana sementara aku hanya diajak ibuku bekerja? Aku hanya siswa biasa, yang kebetulan dapat beasiswa kuliah karena miskin," katanya, tanpa sedikit pun menoleh pada Jiyong.
Tidak berani menatap raut kasihan, apalagi ketidaksukaan dari pria itu. Orang-orang yang pernah mendengar cerita hidupnya, biasanya kasihan. Atau justru berhenti menyukainya. Berhenti jadi temannya.
"Orangtua teman-temanku melarang anak mereka bermain denganku, karena ibuku," ia melanjutkan ceritanya, setelah beberapa detik menarik nafasnya. "Katanya ibuku kasar, jahat, saat aku masih sekolah dasar, dia bahkan mengataiku pelacur. Ya! Kemana kau akan pergi dengan baju begitu? Kau mau pergi melacur?— dia bilang begitu di depan teman-temanku, hanya karena aku keluar dari rumah dengan rok selutut, di musim panas. Padahal tidak sulit menyuruhku ganti baju, iya kan? Tapi sekeras apapun dia berusaha, mulutnya tidak bisa berhenti bicara begitu. Karena terlalu sering mendengarnya mengumpat begitu, aku jadi mengikutinya. Lalu orang-orang mulai menjauhiku. Saat itu aku mulai menyalahkannya, karena tidak ada yang mau bermain denganku. Aku mulai marah padanya, menyalahkannya, mengumpat padanya, hanya padanya, tapi dia tidak meninggalkanku. Apapun yang aku lakukan padanya, sekeras apapun aku padanya, dia selalu pulang, dia tidak pernah meninggalkanku. Meski malam itu hujan badai, dan dia bisa meningap di rumah pacarnya, dia tetap berlari pulang karena tahu aku sendirian di rumah. Dia basah seperti anjing lusuh saat tiba di rumah, tapi daripada memberinya handuk, aku hanya mengatainya bodoh lalu menutup pintu kamarku. Mengabaikannya. Dia bukan ibu yang baik, tapi aku juga bukan anak yang baik. Aku tahu itu, karena itu aku membiarkannya menikah dan meninggalkanku. Menikah saja dengannya, pergi saja ke rumahnya, tidak perlu mempedulikanku, aku juga tidak peduli dimana kau akan tinggal, aku sudah besar, aku tidak membutuhkanmu lagi— aku bilang begitu dan tidak pernah datang ke pesta pernikahannya."
"Kau membohonginya," kata Jiyong dan Lisa menganggukan kepalanya. Menahan tangisnya. Ia sudah banyak menangis hari ini. Ia sudah banyak menangis sejak menginjakkan kakinya di 2020.
"Kau tahu apa yang aku pikirkan setelah melihatnya di agensi waktu itu?" kata Lisa, menolak untuk menjatuhkan air matanya. Berusaha untuk tidak menangis dan terisak di sana. Ia tahu, dirinya tidak akan terlihat cantik saat menangis. Kalau malam ini tangisnya pecah, ia tidak akan bisa menangis dengan lembut dan tenang seperti tadi pagi. "Lisa, jangan lahir. Ibuku tidak pernah bilang kalau dia trainee di YG, dia tidak pernah bilang kalau dia berbakat. Padahal dia tipe orang yang selalu memamerkan apapun. Sesuatu yang buruk pasti terjadi di sini. Sesuatu yang mungkin berkaitan denganku? Mungkin ayahku? Tapi apapun itu, aku rasa ibuku tidak akan sengsara kalau aku tidak lahir," ucapnya, mengatakan apa yang dipikirkannya sekarang.
Jiyong mengulurkan tangannya. Menepuk-nepuk puncak kepala Lisa. "Hidupnya mungkin sulit, tapi aku yakin dia bangga bisa melahirkan dan menghidupi seorang putri yang cantik," katanya, terdengar luar biasa santai. "Tidak perlu merasa jadi beban untuknya, kau bukan beban, kau hanya konsekuensi yang harus dia tanggung. Karena dia tidak memakai kondom saat bercinta. Salahnya sendiri tidak memakai kondom, dia yang merusak hidupnya sendiri," susulnya, tetap santai.
"Whoa..." Lisa menoleh sekarang. Tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Jahat sekali," katanya mengomentari ucapan santai dari pria di sebelahnya. "Tapi anehnya, rasanya sedikit menghibur. Air mataku langsung kering," susulnya.
"Apa itu buruk?"
"Tidak terlalu," geleng Lisa. "Apa kau tahu? Kau bukan orang pertama yang bilang begitu," susulnya.
"Wah... Siapa orang keren yang bilang begitu sebelum aku?" tanya Jiyong. "Tidak, tidak, kalau dia mengatakannya di masa depan, aku duluan yang bilang begitu... Jadi siapa orang itu? Yang meniruku?"
"Pacarku? Bukan... Mantan pacarku," santai Lisa. "Kami putus karena orangtuanya tidak menyukaiku. Bukan sesuatu yang baru, meski sedikit disayangkan."
"Kau tidak mengencaniku di masa depan, kan?"
"Ya?! Whoa! Imajinasi macam apa itu?! Berapa umurmu sekarang? Kalau dimasa depan kita berkencan, kau seperti kakekku," protes Lisa, sedikit menghina.
"Ya! Aku tidak setua itu!"
"63 tahun, umurmu 63 tahun di 2051 dan aku masih 27. Kau lebih cocok jadi ayahku daripada mengencaniku," Lisa masih melanjutkan protesnya.
"Tsk... ulangtahunku akhir tahun."
"Itu tidak mengubah apapun, kepalanya tetap 6," balas Lisa.
"Augh! Kau menyebalkan sekali," komentar Jiyong. "Cantik tapi kurang ajar," susulnya. "Tapi aku akan memaafkanmu, kalau kau memberitahuku bagaimana aku dimasa depan. Apa aku pria tua yang penyakitan atau tetap sehat dan keren?"
"Oppa," Lisa menunjukan senyumnya sekarang. Senyum manisnya, ia tunjukkan untuk kali pertama. "Aku lapar setelah banyak bicara... Kita pergi makan saja, bagaimana? Jangan penasaran pada masa depanmu, tidak menyenangkan kalau kau sudah dapat spoilernya," bujuk gadis itu, tetap tersenyum.
"Kau pasti tidak tahu jawabannya."
Sekarang Lisa terkekeh. Tetap tersenyum, tapi kelihatan sedikit malu-malu. "Iya," akunya kemudian. Ia tidak pernah mengenal apapun tentang G Dragon sepanjang hidupnya. Bahkan saat menemukan majalah dengan wajah pria itu di covernya, Lisa tidak pernah membacanya. Tertarik pada gambarnya pun tidak.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ashes
ФанфикI can't hold you like the ashes You're spreading out Searching for your scent to call you back I can't see you through the flash My eyes are blurred Searching for your flashback in my mind 🎶 Ashes - Zior Park ft. Ai Tomioka