40

264 53 2
                                    

***

Mereka keluar dari auditorium besar penuh mobil-mobil baru itu. Lisa sempat gugup, tapi seorang pengawal yang biasa mendampingi kekasihnya melihatnya. Mungkin Jiyong yang menyuruhnya, ketika Lisa diajak keluar dari auditorium, pengawal itu mengikuti mereka— meski tetap menjaga jarak agar tidak terlalu terlihat.

Mereka duduk di area merokok, di atas sebuah bangku taman, cukup jauh dari beberapa perokok lainnya. Bangku taman itu untuk tiga orang, dan Lisa membuat jarak satu bangku di antara mereka. Dari pantulan tempat sampah stainless steel di depan mereka, Lisa bisa melihat pengawal Jiyong, berdiri beberapa meter di belakang mereka.

Ia merasa cukup aman ketika duduk di sana, meski Kim Junghyun tidak kelihatan begitu. Beberapa kali pria itu batuk, seolah tidak tahan dengan asap rokok. Lisa menyadarinya, tapi enggan memberi perhatian apapun. Khawatir pria itu akan menyalahartikan perhatiannya. Ia tidak ingin punya konflik dengan kakeknya sendiri.

"Aku minta maaf atas apa yang terjadi tempo hari," kata Kim Junghyun, memulai pembicaraan mereka setelah bisa ia biasakan dirinya dengan udara di taman terbuka itu.

Lisa mengangguk, mengiyakannya. "Saat itu aku sedang sedikit tertekan karena bisnisku. Biasanya aku tidak begitu, tapi kemarin aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri, sekali lagi aku minta maaf," ucap Kim Junghyun sekali lagi. Dan lagi, Lisa menganggukan kepalanya, ia tidak punya alasan untuk menolak permintaan maaf itu.

"Tapi... Boleh aku tahu alasanmu datang? Anak itu tidak mau memberitahuku, kenapa kau datang ke rumah kami," susulnya, langsung melukai Lisa. Pria ini bisa menyebut Jennie dengan namanya, atau anakku, atau putriku, dari semua panggilan, kenapa dia memilih anak itu sebagai panggilannya?

"Aku datang untuk mengantarnya pulang," jawab Lisa. "Dia baru saja mengalami hari yang berat, jadi aku membiarkannya menginap di rumahku, lalu mengantarnya pulang," katanya.

Junghyun tidak menanggapinya. Pria itu tidak lagi bicara sekarang. Ia terdiam. Saat berangkat tadi, ia bermaksud untuk menjadikan Jennie alasan untuk menemui Lisa. Tentu setelah ia berhasil membujuk temannya agar bisa datang ke acara siang ini. Tapi sekarang, Junghyun tidak bisa mengatakan apapun. Ia tidak tahu apapun tentang Jennie. Ia tidak pernah mau tahu apapun tentangnya.

"Istriku meninggal sembilan belas tahun lalu," cerita Junghyun, menyerah mencari-cari informasi tentang putrinya dalam kepalanya. "Dia seorang balerina, nama panggungnya Lalice. Aku pertama kali melihatnya di panggung, cantik sekali. Aku langsung menyukainya, sejak pertama kali melihatnya. Aku langsung jadi penggemarnya waktu itu. Aku menemuinya keesokan harinya, setelah pementasan terakhirnya. Kami berkenalan, mulai dekat lalu berkencan. Tapi orangtuanya tidak merestui hubungan kami. Aku tidak tahu apa yang mereka lihat, tapi mereka membenciku. Kami melarikan diri setelah itu, aku membawanya pergi setelah itu," katanya, langsung membuat Lisa bisa mengira-ngira alasan orangtua Lalice melarang hubungan mereka. Alih-alih berusaha mendapatkan restu calon mertuanya, orang ini justru membawa kabur putri mereka, apa yang dia harapkan dari tingkahnya itu?— Lisa mencibir dalam hatinya sendiri.

"Saat pertama kali melihatmu, aku merasa seperti melihatnya lagi, My Lalice," kata Junghyun, meski Lisa hanya diam mendengarkannya. Ia tidak tertarik dengan kisah cinta kakek dan neneknya. Ia hanya tertarik pada ibunya, hanya Jennie. "Aku sangat terkejut sampai tidak bisa mengendalikan diriku lagi. Lalice meninggal karena melahirkan anak itu. Sedari awal, kami sudah di beritahu kalau tubuhnya lemah. Ia tidak bisa mengandung. Aku memintanya untuk merelakan anak itu. Kami tidak perlu punya anak, kami bisa bahagia meski tanpa anak sekalipun. Tapi dia bersikeras melahirkannya. Aku tahu dia keras kepala, aku harusnya berusaha lebih keras untuk meyakinkannya-"

Kim Junghyun belum selesai bicara ketika Lisa menyela ucapannya. Lisa tidak bisa menahannya, emosi karena Kim Junghyun melukai ibunya. "Meski tahu tubuhnya lemah, istrimu tetap berusaha melahirkannya. Itu bukan keras kepala, itu caranya menunjukan kasih sayangnya, pada anak dalam kandungannya. Dia lebih menyayangi anak dalam kandungannya, memastikan anak itu bisa hidup, meski harus mempertaruhkan hidupnya, meski dia tahu dia akan kehilangan nyawanya. Saat itu dia pasti percaya kalau anak dalam kandungannya, akan hidup sangat bahagia, akan tumbuh dengan sangat baik, jadi semua pengorbanannya akan sebanding. Tapi sepertinya, perkiraannya meleset," potong Lisa, berharap ucapannya bisa menyadarkan kakeknya.

"Bagaimana aku bisa memaafkan pembunuh istriku? Bagaimana aku bisa membiarkan seorang pembunuh hidup bahagia setelah ia merebut wanita yang aku cinta?" tanya Kim Junghyun. "Setiap kali melihatnya, aku merasa sangat marah. Bagaimana dia bisa menatapku setelah mengambil hal paling penting dalam hidupku? Bagaimana dia bisa tertawa setelah merenggut hidup ibunya? Bagaimana dia bisa minta kue dan lilin dihari kematian ibunya? Dia ingin merayakan kematian ibunya? Dia senang ibunya meninggal karenanya?" katanya, tetap menyalahkan Jennie.

Tangan Lisa terkepal di sebelah tubuhnya. Dadanya terasa begitu sesak sekarang. Pria di sebelahnya ini gila, otaknya bermasalah. Jennie tidak akan bahagia hidup bersama orang gila itu, meski pria itu berjanji untuk berubah. Mungkin ini alasan Jennie tidak pernah mengenalkannya pada kakeknya. Mungkin ini alasan Jennie memutus hubungan dengan keluarganya, agar ia tidak perlu bertemu pria sinting ini.

"Kalau kau sangat membencinya, lalu kenapa merawatnya?" tanya Lisa, setelah ia paksa dirinya sendiri untuk bersabar. "Kau bisa meninggalkannya pada orangtuamu, atau mertuamu. Meski kau meninggalkannya di panti asuhan sekalipun, aku yakin dia akan baik-baik saja," katanya— menahan dirinya agar tidak berkata kalau Jennie mungkin akan lebih bahagia jika ditinggalkan di panti asuhan, daripada hidup bersama ayah gilanya itu.

"Baik-baik saja? Setelah dia membunuh istriku, dia juga harus hidup baik-baik saja?" tanya Kim Junghyun, sama sekali tidak berusaha untuk kelihatan baik. Tidak berusaha terlihat normal. Mungkin ini alasan bisnisnya bangkrut sekarang. Orang waras mana yang mau berbisnis dengan pria gila sepertinya?

"Kalau begitu, istri yang sangat kau sayangi itu juga tidak akan baik-baik saja di tempatnya sekarang. Mungkin dia sedang menangisi hidup putrinya, atau sibuk mengutukmu karena melukai anak yang berusaha dilahirkannya," kata Lisa, lantas bangkit dari duduknya. Ia tidak lagi bisa mendengar lebih banyak cerita sekarang. "Kemungkinan paling buruknya, dia sedang menyalahkan dirinya sendiri karena mempercayakan putrinya padamu, menyesali keputusannya memilihmu untuk jadi ayah putrinya," susul gadis itu, lantas menundukan kepalanya, mengatakan kalau ia harus kembali ke dalam.

Jiyong sudah ada di dekat pintu area merokok itu ketika Lisa berdiri. Mereka sempat bertukar tatap, lantas Lisa langkahkan kakinya untuk menghampiri prianya. Belum sampai tiga langkah gadis itu pergi, Kim Junghyun menahan tangannya. Akan pria itu katakan sesuatu, tapi pengawal yang sedari tadi mengikuti mereka sudah lebih dulu memisahkan mereka. Memberi tatapan tajamnya pada Kim Junghyun, lalu mengatakan kalau Lisa harus segera masuk sekarang.

"Anak itu pantas mendapatkannya," Kim Junghyun tetap berucap, meski ia tidak bisa menahan Lisa untuk tetap mendengarkan ceritanya.

Tanpa menanggapinya, Lisa melangkah masuk kembali ke auditorium. Pengawalnya mengekor di belakang, membantu ia membuka pintu, kemudian kembali menjaga jarak setelah Lisa menghampiri kekasihnya. "Bajingan, kalau ini bukan acara resmi, sudah aku injak wajahnya," kesal Lisa, berbisik setelah ia rasakan tangan Jiyong merangkul pinggangnya.

"Tersenyum lah," suruh Jiyong. Tidak ingin mendengar keluhan Lisa sekarang. Melihat wajah gadis itu saja, Jiyong sudah tahu kalau obrolannya tidak berjalan lancar. "Kita akan berpamitan sekarang, tahan emosimu sampai kita kembali ke mobil," susulnya, memilih untuk pergi daripada emosi kekasihnya mengacaukan acara itu. Meminimalisir resiko kekacauan, juga termasuk dalam profesionalitasnya.

***

AshesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang