***
Tidak perlu menunggu terlalu lama. Dua hari setelah pemeriksaan pertamanya dilakukan, berita kehamilan Lisa— asisten G Dragon muncul di berita. Kalau hanya berita kehamilan seorang asisten yang dirilis, publik tentu tidak akan peduli. Tapi nama G Dragon disebut di sana, apapun dengan label namanya pasti akan jadi perbincangan. G Dragon menghamili asistennya. Mereka benar-benar berkencan, atau kehamilan itu terjadi karena tindak pelecehan yang G Dragon lakukan pada staffnya, orang-orang penasaran.
Melihat semua kemesraan yang Jiyong tunjukkan di depan reporter dalam semua acara harusnya membuat orang-orang percaya kalau mereka berhubungan seksual karena sama-sama menginginkannya. Tapi beberapa komentar jahat tetap muncul. Beberapa reporter tetap menambahkan embel-embel pelecehan, prostitusi dan semua istilah yang merujuk pada definisi sejenis.
Jiyong tidak peduli, sebab euforia kehamilan kekasihnya masih memabukkannya. Lisa masih tinggal di rumahnya, Jiyong pun sama. Setelah tiga minggu lamanya ia tidak berkunjung, ia merindukan rumah itu. Malam ini Jiyong duduk di meja makan, menulis jurnal kehamilan yang harusnya diisi oleh si calon ibu. Lisa sudah mengomentarinya, karena buku yang seharusnya ia isi justru dipakai kekasihnya. Tapi pria itu bersikeras, dia sangat menyukainya, menggambar di sana.
"Asistennya di perkosa saat mereka bekerja bersama sampai pagi," kata Lisa, berbaring di sofa membaca komentar yang muncul di bawah berita kehamilannya. Ia sengaja membacanya dengan keras, agar kekasihnya bisa mendengar berita itu. "Mau tidak mau dia harus bertanggung jawab, sampah, pecandu narkoba itu berengsek," susulnya, sama sekali tidak menghapus senyum di wajah Jiyong.
"Hm... Aku akan bertanggung jawab," santai Jiyong, sibuk mengganti pena warna-warninya untuk menggambari jurnal kehamilan itu.
"Itu untuk pemeriksaan ke dokter, berhenti mencoret-coretnya," tegur Lisa, untuk ketiga kalinya.
"Besok minta dokternya memberimu jurnal baru, yang ini untukku," kata Jiyong, seolah tidak ada hal penting lain di depannya. Ia sedang bersenang-senang sekarang, setelah seharian bekerja.
"Aku sudah mengirim surat pengunduran diriku," kata Lisa, hanya ingin menarik perhatian pria itu dari jurnal yang sedari tadi ia coret-coret. Mengalihkan perhatian Jiyong dari gambar USG yang dokter berikan pada mereka kemarin.
"Ya, aku sudah menyetujuinya, kau pengangguran sekarang, selamat," santai Jiyong, lagi-lagi tidak menoleh. Tidak ada yang lebih menarik daripada jurnal di depannya sekarang. "Kau sudah memikirkan nama untuk anakku?" tanya Jiyong, tetap menunduk, menggoreskan penanya ke jurnal kehamilan itu.
"Kita akan menikah?" tanya Lisa. "Bagaimana dengan pertemuan keluarga? Aku dengar kita bisa membayar orang untuk berpura-pura jadi keluarga, kita akan melakukannya?"
"Kita perlu melakukannya?"
"Oppa tidak mau menikah?" tanya Lisa, sekarang duduk untuk melihat kekasihnya di meja makan. Menatap tajam pada punggung pria itu. "Orangtuamu menyuruh kita menikah, kau tidak akan melakukannya?" tanya Lisa sekali lagi. Ia tidak mendambakan apapun, ia hanya khawatir orangtua Jiyong akan marah kalau mereka tidak menikah. Mengatasi kekacauan dari berita-berita miring yang muncul juga akan jauh lebih sulit kalau mereka tetap berkencan.
"Tentu saja menikah, apa yang sedang kau bicarakan? Mana mungkin tidak menikah?" tanya Jiyong, sekarang menoleh, ingin melihat bagaimana raut wajah lawan bicaranya. Karena nada bicara Lisa yang tiba-tiba berubah, kedengaran kesal. "Maksudnya menyewa tamu bayaran. Orangtuaku tahu kau sebatang kara di sini. Karena itu mereka memintamu tinggal di rumah. Kau ingin pesta besar seperti milik SE7EN hyung atau pesta tertutup seperti milik Gummy noona?" tanyanya kemudian, meski ia sudah tahu jawabannya. Lisa tidak ingin pesta apapun, ia terlalu malu untuk jadi pusat perhatian.
"Harus ada pestanya?" tanya Lisa dan Jiyong mengangguk.
"Setidaknya hanya untuk keluarga, tidak apa-apa kan? Sebentar saja?" tawar Jiyong, mengaku kalau ia sangat menginginkannya— pesta pernikahan itu.
"Pesta kecil, lebih kecil dari milik Gummy, ya?" tawar Lisa dan Jiyong menganggukan kepalanya. "Aku hanya ingin mengundang ibuku, tidak ada yang lain," susulnya kemudian. Merasa kalau dirinya tidak punya siapapun untuk diundang.
"Kakekmu?"
"Tidak mau, dia jahat," geleng Lisa.
"Kalau begitu, aku akan menyelesaikan pekerjaanku, dan karena kau pengangguran sekarang, kau yang mengurus pernikahannya?" tanya Jiyong dan Lisa menatap curiga pada pria itu. Rasanya mustahil Jiyong akan memberikan kesempatan itu padanya.
"Sungguh? Aku boleh mengurusnya?" tanya Lisa dan Jiyong menganggukan kepalanya.
"Tentu saja kau harus selalu menanyakan pendapatku, tapi... Kau yang mengurusnya, bagaimana? Kau mau melakukannya?"
"Ya, akan aku lakukan," angguk Lisa. "Sekarang kemari lah," susulnya, merentangkan tangannya agar Jiyong segera menghampirinya, segera masuk ke dalam pelukannya.
Jiyong menurutinya dan Lisa memeluk pria itu. Tapi pelukannya tidak berlangsung lama, sebab Lisa berbisik pada pria itu. "Mana pesangonku, bos?" katanya, dalam bisikan pelan yang kemudian membuat Jiyong mengeluh. Menghela nafasnya kemudian berseru kalau ia akan segera mengirimnya.
"Oppa," Lisa memanggilnya sekali lagi.
"Apa? Apa lagi? Aku sedang mengirim pesangonmu," gerutu Jiyong, dengan handphone di tangannya. Ia berdiri di sebelah meja makan sekarang, sedang mengirim uang pada kekasihnya yang baru saja diberhentikan. "Mana ada pegawai mengundurkan diri yang dapat pesangon? Kau bahkan bukan pegawai tetap," keluh Jiyong, tapi tetap mengirimi Lisa uang yang ia minta.
"Oppa," sekali lagi Lisa memanggilnya.
"Sudah aku kirim, apa lagi?"
"Oppa," Lisa terus memanggilnya.
"Apa sayang? Apa lagi yang kau inginkan?" tanya Jiyong, sekali lagi.
"Oppa," Lisa hanya memanggilnya, akan terus memanggil sampai Jiyong melepaskan handphonenya, sampai Jiyong menghampirinya.
"Astaga! Ada apa sayangku? Apa yang kau mau?" tanya Jiyong, akhirnya mendekat. "Awas saja kalau ini hanya soal pesangon lagi," gerutunya.
Lisa memeluk kekasihnya lagi sekarang. Membuat pria itu harus duduk di sofa, di depan Lisa dan balas memeluknya. Lisa mengusap-usap punggung Jiyong, sedang Jiyong mengusap rambutnya. "Oppa," panggil Lisa sekali lagi.
"Jangan membuatku ingin mengigitmu," ancam Jiyong, membuat ancang-ancang untuk menggigit bahu Lisa, yang sekarang ada di depan wajahnya.
Jiyong dicium. Leher dan pipi pria itu dicium, beberapa kali hingga ia terkekeh karenanya. Jiyong menyukainya, ciuman-ciuman itu. Sentuhan ringan yang sempat sangat dirindukannya. Sepintas pikiran muncul dalam kepala pria itu— apa yang akan terjadi padaku kalau aku kehilangannya? Akankah aku bisa mengatasi kehilangan itu nanti?— takut Jiyong, membuat ia memeluk semakin erat. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh kekasihnya.
"Aku sangat bahagia sekarang, bahagia sekali, terimakasih," bisik Jiyong, dalam pelukannya. Menyembunyikan rasa takut yang dirasakannya sendirian. Menaruhnya di sudut paling dalam dari dirinya. Memastikan Lisa tidak akan menemukannya. "Tomorrow hasn't come yet. Apapun yang akan terjadi nanti, tidak apa-apa, kita akan mengatasinya, aku bisa mengatasinya. Jadi jangan terlalu khawatir. You're the best thing that's happened to me," katanya, masih berbisik dalam pelukannya.
"Kalau nanti anak ini lahir, oppa juga akan menyayanginya, kan? Apapun yang terjadi?"
"Tentu saja," tegas pria itu. "Dia juga akan jadi the best thing that's happened to me, kau bisa mempercayaiku," yakinnya.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Ashes
أدب الهواةI can't hold you like the ashes You're spreading out Searching for your scent to call you back I can't see you through the flash My eyes are blurred Searching for your flashback in my mind 🎶 Ashes - Zior Park ft. Ai Tomioka