Chapter 37 : A Letter

431 34 1
                                    


"Entahlah..., Aku juga tidak tau. Entah sejak kapan itu dimulai. Tetapi..., setiap kali hari berganti, yang ada dipikiranku selalu muncul putri disana. Aku pasti sudah tidak waras."

Seberkas nada menyedihkan terdengar dari ucapan Lei barusan. Pandangan di manik coklatnya juga tampak kosong.

.

.

.

"Jangan disangkal."
Tegas Rayl menatap tajam pada Lei.

"Apa?"
Lei kembali menoleh pada Rayl yang masih berdiri dihadapannya.

"Jangan disangkal. Akui saja! Aku lebih rela putri bersamamu. Daripada bersama kudanya."

"Kuda?"
Lei mengernyit bingung.

"Ya.., beraninya dia menghinaku dihadapan putri saat malam Debutante! Semakin diingat-ingat lagi, rasanya aku ingin sekali menghunuskan pedang padanya."
Tiba-tiba ekspresi Rayl menjadi semakin seram. Ia bahkan mengepalkan salah satu tangannya.

"Kau bertemu putri saat malam Debutante?"
Tanya Lei masih memapar wajah bingung.

Rayl menghela nafas dan berdehem pada Lei yang terduduk di sofa.
"Sudahlah. Ini hampir fajar. Aku mau pulang dulu dan bersiap. Pagi ini ada upacara pembukaan, jika aku tidak mengikutinya pak tua itu akan marah besar. Kau tetap tidak mau pulang?" Imbuh Rayl mengganti topik.

"Tidak. Urusanku masih banyak disini. Kau pergi saja."

.
.
.

Step..., Step..., Step...

Rayl tidak berkata lagi. Ia mulai menapak kakinya bergerak ke arah pintu perpustakaan, dan meninggalkan Lei.

"Oh iya, ayahmu berpesan makanannya jangan dibuang."
Pekik Rayl tanpa mengalih pandang. Ia hanya melambai tangan membelakangi Lei.

Namun kawannya tersebut tidak menjawab ucapan Rayl. Lei hanya termenung sembari duduk di sofa. Bersama sorot menatap jauh punggung Rayl. Benaknya merauk kusut permasalahan dalam dirinya.
.
.

'Itu mudah bagimu untuk dikatakan. Bahkan jika hal itu tetap disandarkan pada perasaan yang jauh dari kenyataan. Tidak mudah bagiku untuk mengakuinya. Karena harga yang harus dibayar untuk menutup mata sendiri.' 

"Kau tidak tau.., betapa putus asanya perasaan ini bagiku. Karena.., putri dan aku berada di dunia yang berbeda. Orang-orang seperti kita tidak boleh terikat dengan kepolosan seperti cinta."
Gumam Lei mengalih sorot pada makanan di keranjang itu.

_______________________________________

.
.
.

Step..., Step..., Step...

Langkah kaki Theodore di atas permadani mewah yang menutupi seluruh lantai ruangan itu. Dalam area kerja yang tampak sunyi. Hanya terdapat sang raja terduduk di kursi mewah, dan asistennya berdiri dihadapan meja sembari memegang berkas istana.

Srkk...
.

"Ini lembar pemasokan kualitas barang yang akan dikirim ke wilayah kerajaan Stecarlt. Apa kita perlu mengurangi jumlahnya atau ada hal lain?"
Jelas Theodore memberikan setumpuk kertas dimeja Federick.

"Diterima. Selanjutnya."
Federick menandatangani lembaran itu dengan pena bulu, tanpa membaca isinya.
.
.
"Ada masalah pada pembangunan ulang jembatan di sungai satoria. Akibatnya beberapa pedagang terhambat mengirimkan barang."

"Kenapa masalah itu sampai dilaporkan ke dalam istana kita? Sungai satoria merupakan jalur perdagangan kerajaan Espwine. Mereka yang menutup blokade karena pernyataan perang, seharusnya ini menjadi permasalahan kerajaan itu. Ditolak!"
Titah Federick yang berekspresi kaku.
.
.

True PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang