DARK ROMANCE! BACA TRIGGER WARNING DULU SEBELUM BACA INI!
Lara selalu merasa diawasi. Ke mana pun dia pergi, dia selalu merasa ada mata yang mengawasinya. Awalnya dia pikir semua ini hanyalah bayangannya saja. Sampai suatu hari. Dia menyadari, kalau...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MARK'S POV:
Aku pun kembali menelpon Victor. "Victor, ganti destinasi. Bukan ke Canada, ke Boston," ucapku.
"Malam ini, Boss?" tanya Victor.
"Nanti sore, jam lima," jawabku.
"Baik," jawab Victor. Setelah itu aku menutup panggilan itu, aku menatap Lara lagi. Dia terlihat begitu senang, matanya masih berbinar.
"Kau senang?" tanyaku, sambil menyibak rambutnya.
Tapi dengan cepat dia menutupi kesenangannya itu, dia mendeham. "Biasa saja," jawabnya dengan gengsi. Mataku berkilat geli.
Tapi aku menahan ringisanku ketika merasakan sakit dari luka tembak itu, tadi aku terlalu khawatir dengan keselamatan Lara sehingga aku melupakan rasa sakitnya. Sekarang rasa sakitnya terasa.
Lara sepertinya menyadari itu, karena wajah cantiknya sudah kembali menjadi khawatir, dia menunjukkan ini ketika di mobil tadi. Dan fuck, aku tidak tahu bisa merasa sesenang ini dikhawatirkan seseorang. Biasanya aku tidak suka membuat Ibuku atau Sierra khawatir.
"Kau harus minum obat, Mark!" Ucapnya tegas, alisnya berkerut khawatir. Tanpa menunggu jawabanku, dia melepaskan tanganku dari pinggangnya.
Lalu menarik tanganku agar berjalan menuju kasur untuk mengikutinya. Mataku berkilat geli melihatnya, belum pernah ada orang yang berani menarikku seperti ini.
Tapi aku tidak keberatan jika itu Lara.
Sesampai di kasur, Lara memaksakan aku duduk. Dia mengambil obat-obat yang diberi Dr. Benjamin tadi, lalu melihatnya. Aku memperhatikannya.
"Kau harus makan dulu sebelum makan ini, aku akan minta pelayan membawakan kau makanan," ucap Lara.
Ketika Lara sudah membalikkan badannya dan mau berjalan, tanganku sudah mencengkram pergelangan tangan Lara, menariknya ke kasur, dan menaikkan dia ke pangkuanku.
Dia membelakkan matanya. "Mark, aku mau panggil pelayan."
"Bisa dari sini," ucapku. Lalu aku mengambil telpon rumah yang ada di nakas, telpon yang hanya terhubung ke para pelayan.