"Setiap detak lemah yang masih ada adalah hasil dari pertarungan sunyi antara rasa sakit dan harapan."
••••••
"Razka anak bunda... Rajanya bunda... Kesayangannya bunda... Jangan gini sayang... Ambil nafasnya pelan pelan... Jangan kayak gini... Hiks, "
Di tengah malam yang sunyi dan damai, Ratih dibuat panik oleh anaknya sendiri.
Tubuh Razka tiba tiba mengguncang hebat di atas tempat tidur, membuat Ratih semakin cemas.
Ia memegangi tangan Razka erat-erat sambil menahan air mata yang terus mengalir.
Suara napas Razka tersendat, terdengar jelas dalam kesunyian malam, membuat hati Ratih semakin teriris.Tidak ada pilihan lain selain menelepon dokter Abizar yang langsung bergegas datang begitu mendengar kondisi Razka. Karena ia memang sengaja menginap, ditakutkan hal seperti ini terjadi.
Tak butuh waktu lama, dokter Abizar tiba dengan tas medisnya. Dengan tenang, ia segera mengecek kondisi Razka, mengamati napas dan detak jantungnya yang tak beraturan.
Ratih menyaksikan dengan hati yang cemas, berusaha sekuat tenaga tetap berada di sisi anaknya, namun ia tak bisa menahan rasa takut yang begitu menyiksa.
"Tante, tenang. Kita akan bantu Razka untuk melewati ini," ujar dokter Abizar berusaha menenangkan Ratih.
Dokter Abizar dengan sigap memasangkan infus pada lengan kecil Razka dan menyuntikkan obat penenang untuk meredakan kejangnya.
"Napasnya harus di stabilkan dulu," katanya sambil memasang masker oksigen yang sempat di lepas Razka sebelum tidur tadi.
Ratih hanya bisa memegangi tangan Razka, mengusapnya dengan lembut sambil berdoa agar kejang ini segera berakhir.
Beberapa menit kemudian, napas Razka perlahan-lahan mulai teratur, tubuhnya yang tadi mengguncang hebat kini mulai mereda.
Ratih merasa sedikit lega, meski tangisnya belum sepenuhnya reda.
"Razka butuh banyak istirahat dan perawatan intensif. Aku bakal bantu buat pantau kondisinya," kata dokter Abizar sambil tersenyum.
Ratih mengangguk pelan, masih memegangi tangan Razka yang kini mulai lebih tenang.
Ia membiarkan dirinya menangis lega sambil terus menggenggam tangan kecil putranya, bersyukur bahwa Razka masih bertahan di sisinya.
Mungkin anak itu tidak akan sadar bahwa lagi lagi dirinya membuat sangat ibunda menangis.
Kejang yang dialami oleh Razka, kemungkinan besar karena ia mengalami kekurangan oksigen atau biasa di sebut hipoksia. Ini berdampak dari asma nya yang kambuh beberapa jam yang lalu. Kadar oksigen di otaknya menurun drastis. Kekurangan oksigen ini menyebabkan sel-sel otak kesulitan bekerja dengan baik dan bisa menghasilkan aktivitas listrik abnormal, yang memicu kejang.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Raka Not Razka
JugendliteraturRaka Sahasya, laki laki yang hidupnya tidak pernah bahagia bahkan tidak pernah merasakan kasih sayang yang tulus itu meninggal dunia usai menyelamatkan seorang siswa yang terjatuh di jalan raya. Namun bukannya di berangkatkan ke surga, ia malah di...