Permintaan maaf

353 51 8
                                    

"Kemenangan buat abang... "

Kaivan tersenyum, lantas merengkuh adiknya, memejamkan matanya sambil sesekali mengelus kepalanya lembut.

"Ini karena hasil usaha kamu sendiri dek, berarti ini milik kamu. "

Razka mendongakkan kepalanya. Seketika ia lupa ia sedang bertengkar dengan Kaivan. Namun melihat wajah tenang abangnya dibalik masker, apakah artinya Kaivan sudah melupakan kejadian semalam?

"Kenapa? Terharu ya, sampe bercermin cermin begitu...? " Ledek Kaivan sambil menyeka air mata Razka yang hampir jatuh.

Razka lagi lagi memeluk Kaivan, dengan erat. Membuat Kaivan tertawa. Pasti adiknya memikirkan kejadian tadi malam. Kaivan menjadi merasa bersalah, karena dia juga penyebab otak Razka jadi nge-lag tadi.

"Abang, abang gak marah...? "

Kan, kaivan sudah menduga kalau Razka akan bertanya seperti itu. Penyebab ia menjadi lupa akan strategi dan taktik yang di berikan Kaivan, tidak lain karena ia terlalu memikirkan ucapan Kaivan malam tadi.

'Abang cuma pengen kamu ngerti... Abang gak butuh kamu teriak-teriak atau maksa abang... Abang butuh kamu di sini, di samping abang... Bukan malah nyakitin abang kayak gini... '

Kaivan membuka maskernya, sesek juga kalau tidak biasa memakainya. Ia menyuruh Razka untuk mendongakkan kepalanya dan menatap matanya.

"Makasih ya... Abang ngerti apa yang kamu pikirin, ka. "

Bukannya senang karena Kaivan tidak marah, Razka malah semakin menangis dan memeluk Kaivan lebih erat lagi. Dan sikapnya itu tidak luput dari perhatian beberapa siswa yang sedang lalu lalang disana.

"Udah dong, masa nangis. Harusnya seneng karena abang dateng buat liat kamu, " Ucap Kaivan berusaha menghentikan tangisan si bocah.

"Oooh... Pantesan tadi Kaivan murung... Ternyata adeknya galakin abangnya ya... " Adrian, yang tadi diam gemas melihat interaksi sahabatnya dengan si adek, kini mengompori biar Razka ngambek sama dia.

"Apaan sih, bang?! Ini seriusan... Abang marah gak, sama aku...? " Razka menatap Kaivan lagi dengan mata merahnya. Kaivan tertawa lagi.

"Nggak nggak. Abang sama sekali gak marah sama kamu, tadi malem abang cuma lagi cape... Maaf ya, jadi bikin kamu sakit hati. "

Razka menggeleng cepat. "Nggak... Ini aku yang salah kok, bukan abang... Aku gak ngertiin perasaan abang... "

"Udah udah, maapan aja... Saling mengerti satu sama lain, namanya juga adek kakak. Wajar aja kok, kalo berantem. " Sahut Adrian yang mengusap kepala Razka.

"Abang mau ke kantin gak? Aku, aku jajanin, deh... " Razka sesenggukan, nafasnya sedikit tersendat karena tadi menangis.

"Syut, udah udah... Liat, nafasnya sesek kayak gitu. Gak papa, gak papa... Udah, jangan nangis lagi, nanti asma nya kambuh... " Kaivan mengusap dada Razka pelan. Nafasnya menjadi cepat. Gitu doang dah bikin dia sesek. Karena dia udah tertekan sebelumnya juga.

"Mau pake inhaler gak? " Tanya Kaivan lagi, mulai khawatir ketika anak itu mulai memegangi dadanya.

Razka mengangguk pelan. Kaivan mencari inhaler nya di saku celana adiknya.

Ia meraih inhaler dari kantong Razka dengan tangan yang sedikit gemetar.

Kaivan perlahan mendekatkan inhaler ke bibir Razka, menjaga posisinya dengan hati-hati.

"Tarik napas dalam-dalam, oke? Satu... dua..." ujarnya dengan suara menenangkan.

Razka menurut, meski matanya berkaca-kaca. Kaivan menekan inhaler dengan mantap, memastikan obatnya terserap dengan baik. "Bagus, Sekarang pelan-pelan, ulangi lagi," katanya pelan. Razka mengangguk, tangan kanannya memegang tangan Kaivan yang memegang inhaler.

I'm Raka Not RazkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang