Razka dilarikan ke rumah sakit pukul delapan pagi. Kondisinya kritis setelah dinyatakan mengalami gagal napas. Anak itu sudah kambuh dari semalam, tapi ia tak mengatakan apapun pada Yohan, maupun kedua orang tuanya.
Yohan menunduk sambil mengacak rambutnya frustasi. Kenapa kedua adiknya harus merasakan penderitaan sebesar ini karena penyakitnya???
Ka... Abang mohon... Kamu harus baik baik aja...
Di ruang IGD, tubuh Razka yang lemah terbaring di atas ranjang. Napasnya terdengar berat, hampir terhenti. Tim medis bergerak cepat di sekitarnya.
"Ventilasi mekanik, segera! Saturasi oksigen rendah, hanya 72%! Siapkan juga epinefrin!" Teriak dokter Abizar sangat tegas.
Salah satu perawat memasang masker oksigen ke wajah Razka, sementara yang lain menyiapkan tabung ventilasi. Mesin berbunyi dengan nada monoton, memperkuat ketegangan di ruangan itu.
"Denyut jantung tidak stabil, Dok. Tekanan darah menurun!"
Dokter Abizar sedikit mengerang. "Tingkatkan oksigen menjadi 15 liter per menit. Monitor saturasi setiap detik! "
Tangan Abizar dengan cekatan memasukkan jarum infus ke pembuluh darah Razka. Cairan obat mulai mengalir, sementara perawat lainnya mengecek pupil mata yang mulai melemah.
"Tidak ada respons, Dok..." Lirih salah satu perawat, ia sudah berkaca kaca. Merasa sangat iba karena anak di depannya ini masih kecil, tapi harus merasakan sakit yang luar biasa ini.
"Naikkan ventilasi! Ayo, Ka... bertahan..."
Tiba-tiba, monitor detak jantung berbunyi lebih pelan. Semua orang berhenti sejenak, menatap angka yang hampir mendekati nol.
"Kompresi dada, sekarang! Budi, siapin adrenalin lagi!"
Abizar memulai kompresi dada, berusaha mengembalikan ritme jantung Razka. Suara alat monitor dan instruksi dokter bersahut-sahutan di tengah ketegangan.
"Satu... dua... tiga... Berikan napas tambahan!"
Ruang IGD menjadi lebih ketika suara monoton monitor jantung yang melambat. Tim medis masih berjuang. Kompresi dada terus dilakukan, dan ventilasi mekanik bekerja keras mendorong udara ke paru-paru Razka.
"Lanjutkan kompresi! Jangan berhenti sampai ada respons!" Salah satu dokter mengintruksi Abizar.
Abizar mengangguk, ia mengusap keringat di dahinya, tangannya tetap fokus memompa dada kecil Razka. Napas berat terdengar dari mesin ventilator. Lalu, tiba-tiba—
Razka terlonjak lemah, tubuhnya sedikit melengkung di atas ranjang. Matanya terbuka separuh, mencari udara dengan satu tarikan napas panjang yang terdengar serak.
"Aaahh... Hah, hah, hah, "
"Dok, dia bernapas lagi!" Seru Budi menunjuk Razka semangat dengan mata yang berkaca kaca.
Monitor detak jantung berbunyi lebih teratur. Saturasi oksigen mulai naik, dari 72% menjadi 85%.
"Bagus... Stabilkan Razka. Ventilasi tetap jalan."
Razka terlihat lemah, tetapi dadanya mulai naik-turun secara perlahan, seiring dengan irama mesin ventilator. Tangan kecilnya sedikit bergerak, seperti mencoba meraih sesuatu.
"Dok, kondisinya stabil, meskipun masih kritis."
"Kamu bertahan, dek. Kita semua di sini sama kamu."
Di dalam ruangan, Razka kembali memejamkan matanya, ia tertidur dalam ketenangan, tubuhnya masih terhubung ke alat bantu medis. Monitor jantung berdetak perlahan, seolah menunjukkan kalau kondisinya masih jauh dari kata baik baik saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Raka Not Razka
Fiksi RemajaRaka Sahasya, laki laki yang hidupnya tidak pernah bahagia bahkan tidak pernah merasakan kasih sayang yang tulus itu meninggal dunia usai menyelamatkan seorang siswa yang terjatuh di jalan raya. Namun bukannya di berangkatkan ke surga, ia malah di...