Yudas si kakak sengsi

572 62 10
                                    

"Loe kenapa sih? "

Yudas dibuat bingung dengan Razka yang tiba tiba badmood dan tidak mau pergi ke rumah sakit setelah apa yang ia lakukan untuknya tadi.

"Jangan tanya ah! Udah sana keluar aja, cape gue. " Keluhnya yang membuat Yudas menghela napas.

"Gua keluar. Kalau butuh sesuatu, kasih tau. " Kata Yudas yang hanya dibalas gumaman oleh si bungsu.

Lagian aneh banget. Sore masih jingkrak jingkrak, sekarang abis makan malem, di samper buat ke rumah sakit malah gak mau.

Kenapa?! Wee? Sampe Yudas harus nurunin emosi dia buat gak marah ama si bungsu.

Setelah memastikan Yudas benar benar keluar, Razka berjalan lunglai mendekati pintu dan menguncinya. Tubuhnya lalu meluruh, bersandar pada pintu dengan tangan yang memegang dadanya.

Serangan asma nya tiba tiba datang.

Mulut Razka terbuka, berusaha keras untuk menghirup udara, namun hasilnya hanya sedikit.

Suara napasnya terdengar seperti siulan panjang dan menyayat, menciptakan bunyi serak dan tinggi setiap kali ia mencoba menarik napas.

Dadanya naik-turun dengan cepat, namun tetap terasa hampa. Wajahnya mulai pucat dengan semburat kebiruan di sekitar bibir, dan keringat dingin mengalir di pelipisnya.

Pandangannya semakin buram, sementara suara siulan itu semakin jelas, menandakan betapa terjepitnya paru-parunya dalam keadaan itu.

Razka menggeleng. Ia sudah menahan diri untuk tidak terlihat sakit di depan Yudas. Ia sengaja menenggelamkan wajahnya diantara bantal bantal, padahal jauh di dalam hatinya ia merasa panik dan takut.

Hhhhhh, hhhhhh, hhhhhh, uhukk!

Razka menutup mulutnya, takut takut batuknya terdengar oleh Yudas.
Tubuhnya terasa semakin berat, hampir tak mampu menopang dirinya sendiri.

Dengan sisa tenaganya, ia mengulurkan tangan ke arah meja di dekatnya, berusaha meraih inhaler yang tersimpan di dalam laci.

Jari-jarinya yang gemetar menyentuh gagang laci, berusaha menariknya terbuka, tapi kekuatannya sudah sangat menipis.

Mata Razka setengah terpejam, sesekali terbelalak mencoba fokus, namun pandangannya mulai kabur.

Laci itu terbuka sedikit, memperlihatkan inhaler di dalamnya, tetapi terasa begitu jauh.

Dengan tangan gemetar, Razka akhirnya berhasil meraih inhalernya dan segera membawanya ke mulut.

Ia menekan inhaler itu, menghirup dalam-dalam meski paru-parunya terasa penuh sesak.

Tarikan napas pertama sedikit meringankan, namun masih jauh dari cukup.

Ia menarik napas lagi, membiarkan uap obat masuk lebih dalam, mencoba memulihkan irama napasnya yang tersengal.

Pada hirupan ketiga, perlahan, dada yang tadinya terasa seakan terhimpit mulai mereda, memberi ruang untuk udara.

Napas Razka yang semula serak dan tersendat berubah menjadi lebih tenang, meski tubuhnya masih terasa lemas.

Ia menutup matanya sejenak, membiarkan efek obatnya bekerja, bersyukur karena bisa bernapas lebih lega di tengah kepanikan yang hampir melumpuhkannya.

Mulutnya masih sedikit terbuka, tapi Ia sudah merasa lebih baik.

"Nyebelin... " Gumamnya sangat pelan.

"Nyebelin banget, iiiih... "

Sekarang anak itu terduduk di dekat ranjang, tanpa ada nya tenaga untuk naik ke atas kasurnya.

I'm Raka Not RazkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang