Selamat membaca 📖
Vani terus berlari, ia mempercepat laju larinya. Sekarang ia sudah berada di taman Kota.
Semuanya nyalahin gue,emang sebegitu salahnya gue? mereka cuma salah paham doang. Kemaren juga gue mau minta maaf tapi, mereka udah nge-judge gue sebegitu dalamnya. Ini pasti ulah lo kan, Sya. Lo yang udah buat Aldo kasar sama gue.
Vani terus berlari dengan helaian rambutnya yang beterbangan.Hingga ia mulai merasakan kakinya lelah.
Vani terjatuh, kakinya keseleo. Ia jatuh tersungkur dengan luka yang membekas dan rasa nyeri yang luar biasa. Ia merasakan sakit di kakinya, tapi hatinya jauh lebih sakit.
"Gue bingung.... gue harus gimana? " racau Vani sambil terisak-isak. Vani hendak bangkit. Namun, nihil, ia tak bisa. Sepertinya luka di hatinya sudah menjalar ke kakinya.
"HUHUHUHU!!!" Vani berteriak sambil memukul kakinya yang tak bisa tergerak.
"APA YANG SALAH SAMA GUE?! HUH?! BAHKAN KAKI GUE SENDIRI GAK MAU NURUT SAMA GUE!" Vani semakin berteriak tak jelas. Untuk di taman itu sedang tidak ada orang.
Vani terus menangis, hingga ia mulai kelelahan. Ia segera mengambil Handphonenya dan memanggil seseorang yang belakangan ini dekat dengannya 'Exel'
"Ex-el..." lirih Vani lemah.
"Lo kenapa Van?" tanyanya panik.
"Sakit, Xel,"
"Lo di mana? biar gue susul?" Exel mengerti Vani sedang dalam keadaan darurat.
"Taman kota," Ucap Vani sambil menangis.
"Sekarang lo tenang dulu, gue bakal susul. Jangan ke mana-mana,"
Tut....
Exel mematikan sambungan dan dengan cepat mencari kunci motornya. Padahal, sekarang masih jam belajar, meski kelas Exel sedang jam kosong alias guru tak datang.
"Lo mau ke mana? cabut?" tanya teman se-meja Exel.
"Urgent, gue buru-buru. Nanti lo bawa tas gue ya, gue mau pergi," ucapnya sambil berlalu.
Temannya hanya geleng kepala melihat sikap aneh Exel. Namun, ia tetap mengingat pesannya.
Exel memacu motornya dengan sangat cepat. Ia hanya memerlukan waktu 15 menit untuk tiba di taman kota.
Sesampainya di sana, ia mencari keberadaan Vani. Hingga ia akhirnya menemukannya.
"Vani!" teriak Exel kencang.
Sementara Vani hanya bisa menangis, ia tak mampu menggerakkan kakinya.
"Lo kenapa?" tanya Exel sesudah menghampiri Vani.
"Kaki gue keseleo, Xel. Gue gak bisa berdiri," Vani mengucapkannya dengan tetesan air mata yang mengalir di pipinya.
"Udah lo jangan nangis lagi, bentar gue mau liat," tanpa disangka-sangka Exel justru mengendong vani ala bridal menuju bangku di taman kota. Vani terpaku. Namun, sesaat itu juga ia merasakan sakit di kakinya.
"Aww..." ringisnya kesakitan.
"Lo jangan gerak dulu, gue mau beli obat," Exel sudah berlari meninggalkan Vani.
Sesudah mendapatkan obat merah, Exel mulai mengobati luka Vani dengan telaten. Ia berjongkok di tanah sedangkan Vani duduk di bangku.
"Lo habis ngapain, sampe luka gini?"
"Jatuh..."
"Aww... sakit Exel," Exel sengaja menekan di bagian luka itu.
"Semua orang juga tahu, kalo luka gini pasti habis jatuh. Maksud gue lo ada masalah apa?"
"--------" Vani memilih diam dan tak menjawab.
"Oke, udah selesai," Exel meletakkan kembali peralatan pengobatannya. Ia sekarang duduk di samping Vani.
"Yaudah kalo lo gak mau ngomong, gue pergi dulu ya. Tas gue masih di kelas," Exel ingin pergi namun, tangan Vani lebih dulu menarik seragamnya.
"Lo mau ninggalin gue di saat gue lagi gini?"
Akhirnya Exel duduk kembali dan menghadap ke arah Vani.
"Bagaimana?" tanya Exel menggantung.
"Apanya?"
"Bagaimana perasaan lo? udah baikan?"
Vani hanya mengangguk kecil.
"Lo kok nanyanya bagaimana? kaya lagi belajar Bahasa Indonesia aja," tanpa sadar Vani sudah tertawa dan melupakan rasa sakit di kakinya sejenak.
"Gak apa-apa, karena bagaimana itu istimewa,"
"Maksud lo?" Vani kebingungan.
"Kalau gue tanya apa? artinya gue gak tahu apa yang lo alami, tapi gue tanya bagaimana? artinya gue paham lo lagi dalam situasi apa, tapi gue gak tau seberapa lukanya,"
Si Exel pake apa sih? makin hari kok makin manis... Vani bergumam dalam hati. Tapi, buru-buru ia kembali ke alam sadar dan menjawab pertanyaan Exel.
"Gue lagi down banget, Xel, gue bingung harus ngapain?" Vani memulai ceritanya.
Exel masih setia mendengarkan Vani.
"Te-men gue... mereka.. mereka jahatin gue, gue gak kuat," mata Vani mulai berkaca-kaca.
"Iya emang gue akui gue salah, gue gak cerita kejadiannya secara menyeluruh. Tapi, kenapa mereka sampai begini, Xel, padahal gue udah berniat minta maaf," Vani menjeda kalimatnya sebentar.
"Bahkan, tadi sahabat gue dari kecil mau dorong gue, untung gue gak jatuh," mata Vani sudah basah.Exel? jangan tanya. Sejak tadi, dia sudah ingin mengusap punggung Vani. Namun, ia enggan. Ia takut mendapat kesan buruk dari Vani. Buru-buru ia mengangkat kembali tangannya yang sempat terulur.
"Gue gak kuat, Xel kalau harus dijauhin semua sahabat gue, gue butuh mereka, gue juga gak mau berada di posisi kaya gini," Vani tambah sedih.
Exel sudah tak tahan lagi, ia menggeser badannya agar lebih dekat dengan Vani. Kemudian, ia memegang kepala Vani dengan tangan kirinya yang bebas. Exel mulai memiringkan kepala Vani ke arah kanan.
"Lo kalau sedih pakai bahu gue aja," ujar Exel spontan. Vani yang tersadar malah mendongakkan kepalanya menghadap Exel. Vani melihat raut wajah Exel dulu, lalu ia kembali lagi menangis. Tapi, kali ini ia sudah menyandarkan kepalanya ke bahu kiri Exel.
'Nyaman' satu kata itu yang menggambarkan hati Vani sekarang.
Vani terisak-isak di bahu Exel. Ia menumpahkan seluruh kesedihannya di sana.
"Xel, gue pinjam bahu lo dulu ya, sampai gue berhenti nangis,"
"Iya, pake aja. Sampai lo tenang, baru kita pulang,"
Kemudian Exel mulai melamun, ia mulai berpikir kira-kira bagaimana mereka nanti pulang? sementara Exel ia hanya membawa motor. Padahal, kaki Vani sedang sakit. Ia terus memikirkannya.. lama... hingga akhirnya, ia menemukan jalan keluar.
Exel mengetikan pesan singkat pada teman sekelasnya.
Gio lo datang ke taman kota ya, bawa mobil lo, gue perlu bantuan lo, sekarang.
Setelah mengetik pesan itu, Exel berniat untuk mengajak Vani pulang. Namun, ia urungkan karena temannya belum juga datang. Hingga 40 menit kemudian, barulah Gio datang. Dari kejauhan Exel sudah melihat Gio dengan lambaian tangannya di depan gapura taman kota.
"Van, lo udah selesai sedihnya? ini udah sore, ayo balik, gue udah punya jalan keluar buat lo pulang,"
"-------"
"Yaudah kalo lo belum siap, gak apa-apa," Exel menunggu sekitar 15 menit. Namun, juga tak ada pergerakan.
"Van, ini udah senja loh, ayo pulang,"
"-------" masih tak ada jawaban dan hanya suara napas teratur yang didengar Exel.
"Astaga.. lo tidur ternyata," Exel geleng-geleng kepala. Segera ia mengangkat Vani dengan ala bridal, perlahan menuju ke mobil, agar tak membangunkan Vani dan membuat kakinya terasa sakit kembali.
TBC
Sabtu, 17 Maret 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Salah Jodoh [Completed✔]
Teen Fiction[Revisi 70 part] Diprivate acak demi keamanan, karena ada akun mirror. Follow kemudian re-login. Ini bukan sekadar cerita cinta anak remaja tapi, cerita fiksi berkombinasi dengan ilmu pengetahuan seputar Olimpiade dan pengetahuan lainnya. Bukan ceri...