Selamat membaca📖
Akhirnya, hari yang dinanti tiba.
Saat ini, teman-teman Tasya sudah memadati halaman belakang rumah Tasya, yang telah disulap menjadi lokasi pesta.Suasana di sana tampak aman-aman saja, sebelum akhirnya Tasya mengambil alih mikropon dan berkata, "Maaf temen-temen, sebelumnya gue di sini hanya memberi tahu apa sebenernya tujuan pembuatan pesta ini," Tasya menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata lagi...
"Hari Minggu ini, gue bakal pergi ke Yogyakarta untuk ikut orangtua. Itu artinya, gue gak akan melajutkan SMA di Jakarta. Gue juga mau minta maaf sama kalian semua, yang selama ini mengenal gue. Maaf atas kesalahan gue, baik perbuatan ataupun ucapan sama kalian semua dan... dan gue bakalan rindu kalian semua," ucap Tasya sebelum akhirnya matanya berkaca-kaca dan ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan butiran bening itu jatuh dari pipi mulusnya.Semua yang hadir sangat terkejut mendengar ucapan Tasya tadi. Pasalnya, Tasya yang meminta pada Vani, agar tidak memberi tahu apa sebenarnya tujuan dari pembuatan pesta ini. Begitu juga dengan Aldo Elizer, Jerry Keizaro, Tomi Dominic yang selama ini sangat dekat dengan Tasya. Mereka sangat terkejut akan kepergian teman dekat mereka yang satu ini.
Begitu selesai berbicara, Tasya langsung berlari menuju Mamanya. Di sana, di dalam pelukan mamanya, ia menangis sejadi-jadinya. Dia sudah tidak bisa menahan butiran bening itu. Namun, di sisi lain, Mamanya Tasya memberi kekuatan kepada putri tunggalnya itu. Lewat usapan di punggung Tasya yang sepertinya mengalirkan energi listrik, yang dapat memberi kekuatan dan energi baru bagi Tasya.
Setelah merasa baikkan, akhirnya Tasya berniat untuk ke tempat kerumunan temannya. Namun, ia terlambat. Teman-temannya sudah datang lebih dulu. Dengan pandangan sayu, dan sesekali sesenggukan isakan terdengar.
"Sya, lo jangan nangis lagi ya? Kalau lo sesedih itu buat ninggalin kita, gue bakalan pindah juga deh Sya.... Gue gak mau buat lo sedih lagi." Aldo berusaha menghentikan kesedihan di hati Tasya, yang malah membuat Tasya makin sedih. Bibir Tasya berusaha untuk tersenyum, tapi matanya tidak bisa dibohongi. Matanya terus mengeluarkan cairan bening nan hangat itu.
"Iya, Sya. Lo perginya kok jauh Banget sih? Nanti kalo gue sedih dan pengen peluk seseorang, gue bakalan sama siapa coba?" Vani memeluk Tasya sangat erat. Vani sadar, beberapa hari lagi, tidak akan ada sosok sahabat yang bisa ia peluk sewaktu sedih dan memerlukan dukungan.
"Sya, lo kalo pindah nanti, gue bakalan gak bisa jail lagi dong sama lo? Kalau gak sama lo, siapa yang bisa gue jailin kayak biasa? Yang selalu nasehati gue tiap kali nakal." Mimik wajah Tomi mulai terlihat sedih. Padahal, Tomi adalah orang yang paling jail di antara mereka semua. Tapi, di situasi sekarang ini, justru sikap jenakanya tak muncul dan ia malah terlihat sedih dengan tatapan sendu dan mata sembabnya yang sudah merah.
"Apaan si kalian? Liat tuh Tasya jadi tambah sedih kan. Kita sebagai teman harusnya memberi semangat, bukannya buat dia jadi makin drop gini.
Kita memang berjauhan nanti. Tapi, kita kan masih bisa komunikasian sama Tasya. Lewat media sosial, buat Telepon, SMS atau bahkan video call." Jerry berusaha menengahi. Jerry memang terkenal dengan kebijakannya. Jadi wajar bila harus Jerry yang turun tangan"Sudah-sudah. Pokoknya, kita gak bakal nangis lagi, oke. Kita harus bantuin Tasya, karena hari minggu ini kan dia mau berangkat. Jadi, kita hanya punya 3 hari lagi buat kumpul gini." Jerry menarik napas sebentar lalu lanjut berkata "Sekarang mari kita selesaikan, udah malam juga."
Sebenarnya, Jerry bukan tidak sedih atas kepergian Tasya. Hanya saja, jika nanti Jerry berkata sesuatu yang sedih juga di saat kondisi seperti ini entah siapa yang akan mencoba menguatkan mereka satu sama lain. Jadi, Jerry mencoba untuk mengalah dan menahan Keras kesedihan itu tersirat di wajahnya.
"Lo benar, Jer. Kita harusnya bukan nangis gak Jelas gini melepas Tasya. Tapi, harusnya kita bahagia, kan dia di sana bukannya gak sekolah, malah dia bakalan lebih banyak dapat ilmu di Kota Pendidikan itu." Aldo menghapus bekas tetesan butiran bening yang sudah berjatuhan sejak tadi.
"Iya juga. Lo gak bakal lupain kita kan, Sya? Kita bakalan rindu banget sama lo. Kapan-kapan, lo main ya Ke Jakarta, untuk berkunjung." Vani tak mau kalah dengan Aldo.
"Yasudah kita pulang dulu ya Om, tante. Udah malam juga, gara-gara nangis kita jadi gak bisa tahu waktu dan kondisi lagi. Sekarang sudah sunyi kaya gini aja ya, perasaan tadi masih ramai aku liat. Berarti kita lama banget ya." Tomi mencoba tegar.
"Ya iyalah, kalian itu dari tadi nangis terus tahu gak? Sampe lupain orang di sekitar dan udah jadi sunyi gini kan. Yaudah Om, Tante, kita balik dulu ya. Udah malam, gak enak nanti di liatin tetangga." Jerry menyudahinya dan di akhiri dengan mencium punggung tangan kedua orang tua Tasya diikuti oleh teman-temannya yang lain.
Akhirnya semua anak-anak yang tadinya memadati halaman belakang rumah Tasya, sekarang sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Karena hari sudah larut dan angin malam, tidaklah baik bagi remaja awal seperti mereka ini.
Kini, di dalam rumah Tasya sedang berpikir bagaimana mungkin ia bisa tetap tegar di sana sementara keempat sahabatnya itu tidak berada di sisinya untuk mendukungnya. Atau paling tidak menyemangati Tasya dengan senyuman ketulusan dari mereka.
Di saat yang sama mama Tasya yang melihat Tasya sedih langsung masuk kedalam kamar Tasya bersama papanya Tasya.
"Sya? Belum tidur, Nak?"
"Bentar lagi Ma." Tasya buru-buru menghapus bekas butiran-butiran cair itu.
"Anak Papa, sudah bisa ya bersandiwara sekarang."
"Apaan sih, Pa!"
"Siapa suruh sok-sokan Bohong, bilangnya mau tidur, tahunya malah nangis. Papa tahu kalau kamu sedih banget buat ninggalin mereka, Sya. Kamu itu kan putri kecil papa."
"Iya Pa, Tasya sedih banget tapi, ya gak mungkinlah Pa, Tasya sama Mama dan Papa beda kota. Mana bisa Tasya Hidup kaya gitu, kan Tasya anaknya Mama dann Papa."
"Lagian, papa kan pergi ke sana buat pindah tugas, bukan karena keinginan Papa, yakan, Pa?"
Papanya hanya mengangguk kecil membenarkan ucap Tasya barusan.
"Yasudah, sekarang sudah malam, kamu tidur ya nak. Gak bagus anak remaja kaya kamu, belum tidur jam segini," Mama Tasya memberi kecupan hangat anak semata wayangnya itu di puncak kepalanya. lalu, Tasya membalas dengan sebuah pelukan hangat.
"Ohh jadi gitu ya, sekarang udah bisa gak adil ke Papa. Masa iya, mama aja yang dipeluk? Tasya gak sayang Papa ya?" goda papa Tasya dengan wajah yang di buat buat mengambek seperti anak kecil kehilangan permennya.
"Ihh! Papa genit ya, yaudah deh Tasya sayang sama Papa juga kok." sembari memeluk papanya dengan hangat menyalurkan semua rasa kesedihan yang tadi sempat melanda dirinya.
"Yasudah, kamu tidur ya nak. Semoga mimpi indah, selamat malam." Mama Tasya mematikan lampu belajar dan menyalakan lampu tidur.
Akhirya Tasya tertidur pulas dengan sebuah senyum merekah terukir di bibirnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Salah Jodoh [Completed✔]
Novela Juvenil[Revisi 70 part] Diprivate acak demi keamanan, karena ada akun mirror. Follow kemudian re-login. Ini bukan sekadar cerita cinta anak remaja tapi, cerita fiksi berkombinasi dengan ilmu pengetahuan seputar Olimpiade dan pengetahuan lainnya. Bukan ceri...