Part 4 (s)

348 24 0
                                    


Sheila memasuki rumahnya. Di sana sudah ada mamahnya sedang menonton televisi.

"Assalamu'alaikum,"

"Waalaikumsalam, kamu dari mana ko baru pulang?" Tanya sang mamah yang sudah cemas sedari tadi.

"Maaf mah, tadi ada tugas kelompok," ujar Sheila berbohong.

"Ouh yasudah, sana mandi, setelah itu makan malam." Sheila bernafas lega, mamahnya tidak banyak bicara. Dia mengangguk lalu segera masuk ke kamarnya. Dia berdoa semoga mamahnya tidak mencurigainya.

Baru pergi sekali dengan Duta dia harus berbohong pada mamahnya. Tidak ada pilihan lain jika dia jujur. Sama saja membuat lubang untuk mengubur dirinya sendiri.

Hidupnya selalu di dedikasikan untuk sekolah dan belajar. Dia tidak berkeinginan yang aneh-aneh. Semua berbanding terbalik ketika dia bertemu dengan seorang Duta. Sheila menggelengkan kepalanya. Sepertinya tingkat kewarasannya sudah berkurang.

Angin berhembus dengan beraturan, rambut dan poninya mengikuti arah angin tersebut. Membuat sang empunya beberapa kali membenarkan rambutnya. Lalu, mengikat dengan tali rambut.

Udara yang dingin membuat Sheila merasa nyaman. Dia suka sunyi, suka menyendiri, tapi tidak suka gelap.

Mungkin bagi seorang Sheila, jika harus memilih lebih baik meninggalkan, dari pada ditinggalkan. Setidaknya Sheila tidak akan merasa kecewa, karena sudah menjadi pilihannya sendiri.

Tidak banyak orang yang mengerti akan Sifat Sheila, dia selalu bersikap biasa saja.  Namun di balik itu semua, dia lebih rapuh dari kayu yang sepuh dan hatinya banyak mendapati luka yang tak kunjung sembuh.

Kenapa bisa? Seorang Sheila yang keinginannya selalu dituruti, anak satu-satunya. Mempunyai seorang ayah yang bekerja dan mencukupi kebutuhan hidupnya. Mempunyai banyak teman di sekolahnya dan tidak pernah di hukum karena melanggar peraturan sekolah.

Apa yang salah ?
Hidup manusia tidak akan selalu berjalan baik. Hati manusia tidak akan selalu merasakan bahagia dan beban pikiran yang tidak pernah di tunjukan kepada orang lain membuat dia menjadi sosok sempurna tanpa Cacat, di mata yang melihat.

Sekali lagi jika Sheila mengingat rentetan kejadian hidupnya rasanya dia sudah tidak ada alasan untuk tetap tinggal di dunia ini. Selain bertahan untuk menemukan cinta sejati lalu hidupnya akan berubah menjadi lebih berwarna.

Hanya itu alasannya saat ini masih duduk di jendela kamarnya dengan air mata yang tidak permisi dan juga belum berhenti sedari tadi.

Suara getaran yang diperoleh dari telepon seluler yang di genggamnya. Membuat dia menghentikan tangisnya.

Alisnya bertautan menandakan dia sedang  berpikir. Untuk apa Duta menelponnya, biasanya dia yang akan menghubungi Duta duluan. Sheila pun memencet tombol merah, kemudian mencari kontak Duta dan  menelponnya. Dasar aneh.

"Hallo," ucap Sheila.

"Iya," jawab Duta.

"Tadi ada apa nelpon?" Tanya Sheila to the points.

"Kenapa tadi telponnya di reject?" Bukan menjawab pertanyaan duta malah balik bertanya.

"Engga apa-apa, biarin aku aja yang ngabarin kamu, jangan kamu yang ngabarin aku duluan,"

"Kenapa harus gitu?" Tanya Duta bingung.

"Karena cewe mudah baper, kalau sekali kamu kasih kabar duluan dan besoknya lupa kasih kabar, mungkin aku bisa uring-uringan mikir kalau kamu udah lupain aku."

"Apa semengerikan itu?"

"Bisa lebih parah malah, udah jangan di bahas. Kamu ada apa nelpon aku?"

"Cuma mastiin kalau anak rumahan kaya kamu ga masuk rumah sakit, karena kecapean ikut ngamen." Dengan intonasi suara yang datar, kesannya bukan khawatir tapi mengejek.

"Belum kerasa sih, tapi ga tau deh kalau malam, mungkin bakal diinfus." Ucap Sheila lalu mematikan telponnya.

Andai saja orang yang menyebalkan itu bukan Duta, mungkin Sheila akan marah besar. Diolok-olok seperti itu, tidak ada dalam kamus hidupnya.

Sheila berniat untuk mengambil air putih. Namun suara ketukan pintu membuat dia mengurungkan niat tersebut. Dia berjalan lalu membukakan pintu rumahnya.

"Eh kebetulan non, ini ada paket buat non," ucap satpam rumahnya.

"Dari siapa?" Tanya Sheila, karena merasa tidak pernah membeli sesuatu.

"Kurang tau non, tadi yang bawanya kurir, katanya buat Non," jelasnya. 

"Ouh yaudah, makasih pak Diman."

Sheila mengambil paket berwarna coklat tersebut, lalu pergi ke kamarnya untuk membuka isi paket tersebut.

Ini sangat lucu, ternyata isi paketnya adalah plester obat penurun panas. FYI dia tidak demam sama sekali. Ada surat juga ditempel di plester tersebut.

To anak mamih

Ini hanya bentuk rasa bersalah saya sama Kakak.

Kenapa isinya tidak langsung bilang kalau dia khawatir. mungkin Sheila akan sangat bahagia. Biarlah, sekecil apapun hal yang dilakukan oleh Duta berefek besar pada kinerja jantungnya.

Di tempat lain seseorang menepuk pundaknya Duta.

"Hey, kenapa lu? Jangan-jangan Kesambet ya?  dari tadi ngelamun sambil senyum-senyum melulu," ucap bang Roy pemilik rental PS dan warnet ini.

"Kaga, cuma ya sudahlah." Dia enggan menjelaskan, terlalu kaku, jika harus membicarakan tentang perempuan. 

"Alah, anak kecil jangan so dewasa, main rahasia-rahasian, paling lagi jatuh cinta."

"Engga kok."

"Sampe lu mewek Bombay gara-gara galau. Pokoknya langsung gue pecat."

"Haha siap Bos" sesekali Duta tertawa, tapi hanya bersama orang-orang terdekatnya saja.

Sheila on Duta (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang