Part 57

122 12 0
                                        

Sheila bisa bernafas lega. Karena alasannya cukup logis dan dapat diterima oleh sang mamah. Jadi, ketika sarapan begini, Sheila tidak lagi bertanya.

"Kamu mau ke rumah sakit tidak?" Pagi ini, Suhu badan Sheila 38°C dia mengalami demam semalaman. Beruntung ada obat penurun panas dan juga alat kompres praktis. Suhu badannya lumayan turun, tapi setelah bangun tidur dan bersiap untuk sekolah suhunya kembali naik. Maka dari itu, Mamahnya melarang untuk sekolah. Dia sudah menelpon Dira dan Raisa untuk keterangan hari ini.

"Enggak usah Mah. Dipake istirahat juga sembuh."

"Lain kali, jangan hujan-hujanan. Apalagi malam-malam. Mamah hari ini ada rapat di Tanggerang. Tadi mamah sudah telepon Saga, untuk jagain kamu."

"Mamah. Ngapain nelpon Kak Saga. Aku kan gak enak jadinya."

"Dia yang udah buat kamu sakit. Jadi biar dia yang tanggungjawab."

"Mah," rengekan Sheila justru membuat mamahnya tersenyum walaupun tipis.

"Mamah percaya Saga bisa jagain kamu."

Sheila diam. Kenapa harus Saga? Bisakah mamah sepercaya itu pada Duta. Bagaimana caranya? Jika Duta saja sama sekali tidak berprestasi. Seperti yang Mamah katakan untuk Saga. "Kamu hebat. Mandiri dan berprestasi, Tante bangga."

Sheila kembali ingat, dulu sebelum Duta  pergi ke Bandung. Duta pernah berbicara bahwa dirinya pernah memakai narkoba. Sheila mengeratkan tangannya yang menggenggam sendok itu. Makanannya hanya dia pukul-pukul pakai sendok. Akan sangat sulit, menjadikan Duta seperti yang Mamah inginkan.

"Mamah pergi dulu ya, cepat sembuh sayang."
Cup
Mamah Sheila mencium pipinya.

"Mah, lipstick-nya akan menempel dipipiku."

"Hadiah. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Sheila hanya menatap kepergian Mamahnya. Dia berdiri dari meja makan. Lalu pergi ke kamarnya untuk mengambil handphone.

Sementara itu, di rumah sakit. Sudah berapa kali Duta meminta untuk segera pulang.

"Bang, tolong urus administrasinya. Duta mau pulang sekarang."

"Bawel banget sih Dut. Iya gue urus."

"Ini Bang," Duta memberikan kartu berwarna emas.

"Lu pikir Gue miskin banget, sampe gak mampu bayarin rumah sakit Lu."

"Ya bukan gitu, Duta gak enak ngerepotin mulu."

"Kasih gula biar enak. Mending lu ganti aja uangnya di Saga, gak enak gue, anaknya Bae bener."

"Iya Bang, nanti kirimin nomornya."

"Yaudah tunggu sini, gue urus administrasinya dulu."

Duta mengangguk, dia bersyukur tubuhnya sudah kembali sehat dan bugar. Padahal semalam dia sudah sangat pasrah jika saja, tidak ada yang menolongnya dia sudah ikhlas. Berada di perumahan yang sangat minim sosial, ditambah kondisi hujan. Dia tidak menyangka, bahwa Allah masih menginginkannya untuk menjadi manusia yang lebih berguna lagi.

"Permisi, mau pulang ya? Saya cabut dulu infusnya ya?" Duta mengangguk. Tidak sampai lima menit, infus sudah tercabut.

"Mau pake kursi roda Dut?"

"Kaga Bang, udah kuat jalan kok." Duta berdiri dan mencontohkan bahwa dia bisa jalan.

"Lucu sekali adiknya Mas." Sudah sangat sering, jika mereka dikata adik dan kakak.

"Haha iya, makasih Mbak perawat."

Duta memepet Roy, dia sedikit berbisik.

"Bang, jangan mulai deh, anak baik-baik itu."

"Iya bawel."

Roy? Si playboy kelas kakap. Jangan salah, Roy sudah mematahkan  banyak hati wanita untuk satu wanita yang tak akan pernah bisa kembali ke dalam hidupnya lagi.

"Pake pelet apa sih Bang? Kok cewek-cewek banyak yang naksir? Perasaan gada ganteng-gantengnya."

"Yeeee, jangan salah. Gue kicep doang nih ya, cewe meleleh."

"Terus Kapan nikah?"

"Tabok juga nih."

"Percuma banyak yang naksir juga. Tetep aja jomblo."

"Obat dari dokter tadi jangan dimakan Dut."

"Kenapa?"

"Otak Lo jadi sengklek soalnya."

Duta tersenyum. Roy akan sangat merasa kalah jika ditanya soal kapan nikah? Maka dari itu, dia lebih memilih untuk diam di warnet ketimbang tidur di rumah orang tuanya. Sebagai anak laki-laki pertama yang sudah di runghal dua adik perempuannya, Roy selalu mendapatkan teror dari orangtuanya untuk segera menikah. Tak jarang dia juga dituduh tidak normal oleh keluarga besarnya.

"Dut,"

"Apa Bang?"

"Rumah Sheila, depan-depanan sama rumah gue, kok lu gak bilang sih?"

Duta hanya terdiam. Karena dia takut Roy sadar, ketika dia  menginap di rumah Roy, karena sedang ada acara,  Duta lebih sering diam di balkon dan memperhatikan rumah di seberangnya.

Jangan lupa follow vote dan  komen yaa...

Sheila on Duta (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang