Part 2 (s)

556 26 1
                                    


Sudah satu minggu dari kejadian itu, mati-matian Sheila mencoba untuk melupakan. Namun sesekali dia kembali teringat. Dia selalu berusaha memperhatikan jalanan, ketika hendak pergi atau pulang sekolah, berharap menemukan orang yang sama.

Sebenarnya, Sheilapun tidak tau, akan seperti apa, jika kembali bertemu nanti. Yang pasti dia ingin bertemu.
Mengingat ujian nasional untuk pelajar SMP sudah selesai, kemungkian mereka sudah bebas dan jarang ke sekolah. Memupuskan harapannya. Berdiri di depan gerbang sekolahan ini, akan menjadi hal yang sia-sia.

Sheila menghela nafas kemudian berbalik untuk berjalan ke halte.

Brukkk

Seseorang tidak sengaja menabraknya, dengan pertahanan diri yang kurang, Sheila merasa dirinya akan jatuh, beruntungnya orang tersebut bisa menahannya.
Membuat Sheila bernafas lega.

"Maaf kak, saya buru-buru kakak gak apa-apa kan?" tanya si penabrak. Yang masih remaja laki-laki tersebut. Sambil mengangkat kedua tangannya yang saling menempel, tanda memohon maaf.

"Iya gak apa-apa." Sheila tersenyum, menandakan dia baik-baik saja.

"Syukur kalau begitu, aku lagi buru-buru, soalnya gak enak sama si Duta, udah nungguin buat latihan band."

"Duta?" tanya Sheila setelah mendengar nama itu keluar dari ucapan lelaki ini.

"Eum iya kak, temen aku, kakak kenal?" tanya si penabrak.

"Ouh engga kok," ucapnya sambil mengangkat tangannya.

"Yasudah, aku pergi dulu kak,"

"Ok."

Sheila mengangkat bahunya dan membenarkan tasnya. Nama Duta tidak hanya satu, ini bukan sinetron, tidak ada namanya serba kebetulan.

Sheila berjalan meninggalkan gerbang sekolah tersebut.

Bergegas pergi ke salah satu toko buku. Karena ada tugas sekolah.
Walaupun dia mempunyai teman dan sahabat. Sheila lebih senang bepergian sendiri. Karena bepergian sendiri lebih menghemat waktu. Kecuali jika ingin liburan.

Matanya mengamati buku-buku yang ada di rak tersebut. Hampir semua novel dia sukai. Akhirnya pilihannya jatuh pada novel kenamaan untuk dia revisi.

Setelah keluar dari toko buku tersebut, dia melihat seseorang yang sedang dia cari beberapa hari ini. Langkah kakinya di percepat untuk mengejar laki-laki itu. Sheila tidak berniat untuk memanggil Duta yang berjalan sambil menggenggam gitar.

Melawan terik matahari seakan bukan masalah untuk seorang Sheila yang sebentar lagi bisa dipastikan jika kulitnya akan memerah dan keringat akan mengalir seperti hujan, deras.

Sheila masih mengatur jaraknya agar tidak ketahuan oleh Duta. Sampai Duta berhenti di gang lalu berbalik. Sheila segera mengamankan dirinya.

"Jangan sembunyi kak, kalau mau ketemu, jalannya di samping saya," ucap Duta santai, sambil menghampiri perempuan itu.

Sheila terkejut dengan ucapan Duta. Walaupun malu. namun sudah terlanjur. Akhirnya Sheila menghampiri Duta dengan wajah menunduk.

Sheila gugup bukan main, jarinya tidak berhenti untuk meremas plastik yang berisi buku novel yang dia beli tadi.

Sesampainya di hadapan Duta, Sheila tetap menunduk. Membuat Duta harus menautkan alisnya. Lalu, mengangkat dagu Sheila dengan tangannya.

"Gak usah malu kak,"

"Maaf."

"Gak ada yang perlu dimaafkan, lain kali panggil aja namaku, jangan sembunyi-sembunyi ngikutin aku. Jadi ada apa ngikutin saya?" Tanya Duta memastikan.

"Aku anu eum," ucap Sheila gugup.

Duta tidak mau lebih lama lagi menunggu Sheila untuk berbicara, dia pun menarik tangan Sheila. Dengan langkah tergesa-gesa Sheila menyeimbangkan langkahnya dengan langkah Duta. Walaupun Sheila sudah SMA namun tingginya kalah olah Duta.

Di sini lah mereka menghirup udara segar, menikmati angin yang berhembus. Membuat rambut Sheila harus mengikuti arah angin tersebut.

"Ini, minum dulu kak,"

"Iya, makasih," ucapnya lalu meminum air mineral yang diberi oleh lelaki itu.

"Nikmatin boleh, asal jangan sampai ketiduran di sini," ucap Duta bercanda.

"Haha enggalah, tapi kok sejuk banget ya di sini," ujar Sheila sudah mulai akrab.

"Kenapa? Baru tau ya, Jakarta masih punya tempat sebagus ini," kata Duta sombong.

"Tapi, ini kamu yang buat?"

"Bukan,"

"lalu?"

"Entah"

"Aneh"

"jadi, sekarang apa udah bisa cerita kenapa kakak ngikutin saya?"

"Gak ada maksud kok, ya tadi gak sengaja ngeliat, lalu aku ngikutin kamu."

"Termasuk datang ke sekolah saya, apa itu juga ga disengaja?"

Mata Sheila membulat. Dia ingin tenggelam dari bumi ini saja rasanya. Saat ini dirinya merasa seperti ketauan habis mencuri.

"Maaf, aku hanya mau berteman sama kamu aja ko,"

"Apa harus seperti itu."

Sheila mengangguk mantap.

"Jangan kak, masih banyak manusia yang mengasikkan di dunia ini."

"Kamu asik kok,"

"Tapi saya gak bisa jadi teman kakak."

Sheila menatap Duta, baru dia sadari jika penampilan Duta berubah 180 derajat, rambut acak-acakan. Penampilan yang santai membuat Duta seperti bad boy. Jangan lupakan anting di telinganya.

Sheila merasa ada yang salah. Apa dia yakin sekarang, benar-benar ingin berteman dengan seorang badboy, ah tidak, mungkln lebih cocok seperti berandalan.

"Kenapa? Aneh ? kakak masih mau berteman dengan saya yang hanya seorang berandalan atau Duta niceboy?"

Sheila bungkam, dia bingung, bukan tidak memilih-milih teman. Namun dia belum siap untuk keluar dari zona nyamannya. Duta terlalu misterius untuk seorang Sheila yang terlalu polos.

Sheila masih diam, bingung untuk menjawab apa. Pasalnya selama 16 tahun dia di dunia ini. Sekalipun tidak pernah berteman dengan orang yang masuk ke dalam kategori nakal.

"Mendingan kakak pulang, terima kasih sudah tertarik kepada saya, mungkin orang seperti kakak harusnya tetap besama orang-orang baik." Duta menekan kata baik, membuat Sheila tidak enak hati dan egonya sedikit tersentil.

"Kamu juga baik, mari kita berteman."
Sheila menggenggam tangan Duta, membuat sang empunya tangan kaget lalu diam tanpa ekspresi. Tidak akan lama. Duta tidak akan membiarkan siapapun mengusik ketenangan hidupnya.

Mungkin, sedikit memberikan pelajaran bahwa dunia luar tidak baik untuk Sheila bukan ide yang buruk untuk seorang duta.

Mereka menikmati indahnya Jakarta dari sisi berbeda. Melihat begitu megahnya Jakarta. Gedung tinggi dengan segala arsitektur nya. Selain itu juga dia bisa melihat ragam manusia yang menghuni ibu kota ini.

Dari atas rumah pohon ini Sheila bisa membuka matanya, hidup terlalu singkat untuk disia-siakan. Selamat datang di dunia yang sebenarnya Sheila.

Sheila on Duta (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang