"Sheil, kenapa lari-larian begitu?"
Saga yang hendak membuka pintu mobil, mengurungkan niatnya. Dia berjalan ke arah Sheila, dia sama terkejutnya dengan Sheila, perempuan itu tidak bisa bergerak sedikitpun. Seperti ada alat yang memintanya untuk berhenti, nafasnya pun tercekat.
Saga berjalan mendekati Sheila. Dia menepuk bahu gadis itu pelan. Barulah Sheila mencoba untuk bernafas secara perlahan-lahan.
"Kak Saga?"
"Iya, kenapa kamu ada di sini? Bukannya kamu sedang tidur? Kamu sakit?" Saga menempelkan tangannya pada dahi Sheila. Sedikit hangat.
Lelaki itu terdiam. Dia menunggu Sheila untuk menjawab beberapa pertanyaannya.
"Aku sehat Kak," Sheila terdiam lagi. Gadis yang memakai baju tidur itu pun, berusaha untuk tidak memandang langsung ke mata Saga. Dia takut ketahuan, bahwa telah berbohong.
"Lalu, kenapa kamu tidur di rumah sakit?" Saga masih berusaha menekan gadis itu untuk jujur.
"Maaf Kak, aku tadi gak jujur pas Kakak telpon."
"Gak masalah, yang aku tanya, kamu ngapain di rumah sakit ini?"
"Aku," Sheila enggan untuk melanjutkan ucapannya.
"Kamu?"
"Aku jenguk teman."
"Selarut ini? Dan pakai baju tidur?"
"Aku panik tadi, makanya gak sempat ganti baju."
"Kamu bisa cerita di perjalanan nanti, sekarang sudah sangat larut malam. Besok kamu harus sekolah. Ayo pulang." Saga memberi Sheila untuk bernafas. Dia tidak ingin, membuat gadis itu merasa terintimidasi. Dia juga ingin memastikan, bahwa yang ada di dalam pikirannya tidak seperti kenyataannya.
Di perjalanan yang cukup sepi, dengan jalanan yang terlihat basah karena hujan tadi. Sheila memegang sabuk pengaman itu dengan erat. Seakan jika melepaskannya, dia akan terjatuh.
"Kamu bisa cerita sekarang." Setelah mengatakan itu, Saga kembali fokus pada jalanan.
"Orang yang Kakak tolongin, itu adalah Sahabat Aku."
Saga mengangguk, sedikit merasa lebih lega sekarang. Setelah mendengar kata sahabat.
"Kenapa dia ada di jalanan menuju rumah kamu?"
Sheila menunduk, rasa bersalahnya kembali muncul.
"Aku yang minta dia pergi dalam kondisi hujan petir. Aku jahat banget udah buat dia jadi kayak gitu." Sheila mulai menangis. Suaranya mulai bergetar. Dia takut, setelah ini Duta akan kembali menjauhinya. Sekalipun, dia melakukan itu dengan ketidaktahuan.
"Kamu? Sheil, jangan nangis hey." Saga menepikan mobilnya, dia berusaha menenangkan Sheila, dengan mengusap-usap bahu gadis itu pelan.
"Iya Kak, aku gak tau dia punya hipotermia. Aku baru tau, setelah telepon Bang Roy. Sumpah kalau tau akan begini, Aku gak akan ngusir dia."
"Sheila udah! Kamu jangan nyalahin diri kamu sendiri, keadaannya kan sudah baik-baik saja."
"Iya, karena kakak nolongin dia tepat waktu, kalau enggak. Mungkin sekarang Duta udah gak ada." Sheila merasa sesak. Dia masih membayangkan kemungkinan terburuk itu.
"Sheila, tolong kamu jangan begini. Aku yakin, walaupun gak ada aku, Duta akan selamat. Karena semua atas ijin Allah. Tidak baik menyalahkan diri sendiri seperti itu. Udah ya,"
Kali ini, Saga mengusap air mata Sheila. Dia meminta agar Sheila tidak lagi menangis, untung saja, di mobil masih ada air mineral yang belum dibuka olehnya.
Setelah meneguk, seperempat isi air mineral tersebut. Sheila sudah tidak lagi menangis, hanya matanya masih terlihat sembab dan pipi serta hidungnya memerah.
Saga masih penasaran dengan remaja lelaki itu, siapa sebenarnya dia? Apa hubungan mereka tidak sesederhana itu? Kenapa Sheila terlihat sangat menyanyanginya dan takut kehilangan. Tapi dia tidak berani bertanya lagi, dia tidak ingin melihat Sheila menangis.
"Aku mohon sama Kakak, intinya Kakak harus janji, gak akan kasih tau mamah soal ini."
"Kenapa?"
"Aku gak bisa kasih tau alasannya, tapi aku mohon banget. Kakak janji sama Aku. Pleasee." Sheila memohon pada Saga, dia juga memberikan kelingkingnya agar Saga menautkan kelingking miliknya dengan punya Sheila.
Saga tersenyum, Sheila memang semanis itu. Mereka kembali melanjutkan perjalanan ke rumah Sheila. Setelah sampai, Saga tidak lupa memberikan bingkisan yang tadi akan diberikannya pada Sheila.
"Makasih ya Kak, jadi ngerepotin gini."
"Gak apa-apa, kata Papahku, semoga kamu suka."
"Suka banget. Pokoknya bilangin sama papah Kakak, aku makasih banyak."
"Siap. Oh iya, ini udah larut malam sekali, aku harus segera pulang, maaf tidak bisa pamit sama Tante."
"Iya gak apa-apa Kak, hati-hati di jalan ya, sampai jumpa."
"Iya, selamat istirahat."
Sheila keluar dari mobil, lalu melambaikan tangannya, tanda perpisahan.
Setelah berhasil menyakinkan Saga, dia sekarang bingung, bagaimana caranya bisa masuk ke rumah tanpa harus masuk pintu depan. Takutnya pintu depan sudah dikunci, Sheila melihat ke jendela dan semua sudah rapi, dia kebingungan sekarang, tapi saat dia mencoba membuka pintu utama, ternyata belum terkunci, Sheila bernafas lega. Dia membuka pintu tersebut dengan hati-hati, lalu perlahan masuk. Lampu di ruangan masih menyala. Sheila buru-buru berlari ke kamarnya.
"Sheila, dari mana kamu?"
Deg
Sheila Saga apa Sheila Duta nih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sheila on Duta (SELESAI)
Teen FictionFollow dulu sebelum baca Gebetan akan selalu kalah dari mantan terindah! Warning! Cerita ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta. Jadi jangan berani-berani untuk menjiplak.