Bab 68

240 4 0
                                    

Alana datang ke kelas pagi ini. Sangat jelas anak kelasnya sudah siap menghamdapi ulangan tengah semester yang akan di laksanakan beberapa minggu ke depan. Tapi sangat beda dengan raut muka Tifa, Nopi, Nita, dan Fitri yang titunjukkan kepada Alana seperti ada kemarahan di dalamnya. Alana tak mengerti namun yang Alana lakukan adalah memberikan mereka senyum tapi tetap saja, tidak ada balasan senyum yang di dapat Alana. Selesai upacara tiba-tiba kursi Alana sudah ada tas Ani mantan sebangku Alana dulu. Alana hendak memindahkan tetapi Fitri tiba-tiba datang.

"Biar Ani aja yang duduk disini. Lo duduk sama serly aja," tunjuk Fitri kearah kursi Serly yang terletak sedikit belakang.

Alana menuruti keinginan Fitri tanpa bertanya Alasannya. Alana duduk di sebelah Serly dan sepertinya Serly menerima Alana duduk di sebelahnya. Alana tak ingin berpikir tentang masalah kecil hari ini, ia memutuskan untuk fokus pada pelajaran hari ini. Setelah pelajara selesai Alana melihat Tifa, Fitri, Nita dan Nopi ke kantin bersama Septi. Alana hanya bisa memehartikan dari kursinya sampai mereka benar-benar meninggalkan kelas.

"Gue aneh sama kalian," Alana menoleh kesebelah saat ia mendengar Serly bersuara.

"Kemarin gue lihat kalian jauhan sama Septi dan sekarang lo yang dijauhin mereka. Sebenarnya ada apa sih Lan?" tanya Serly.

"Gue nggak tau. Mungkin mereka marah ke gue karena gue nggak pergi ke acara Party kelas," ucap Alana.

"Masa Cuma itu. Tapi gue lihat kemarin mereka semua udah main bareng sama Septi," Alana semakin dibuat penasaran.

"Lo datang di party kelas," Serly mengangguk.

Apalagi kali ini dilakukan oleh Septi kepadanya, tak cukup ia mengambil Fiki kenapa sekarang sahabatnya. Alana sibuk dengan pikirannyaa sehingga rasa lapar tak sedikitpun menghampirinya.

***

Sesampai dirumahnya Alana memainkan ponselnya, ia membuka sosial medianya. Alana melihat sahabatnya berfoto dengan Septi. Alana tak mengerti mengapa mereka bisa akrab setelah party kelas dan Alana tidak ada disitu.

Alana kembali belajar karena ia tidak ingin membiarkan fokusnya terganggu dengan masalah ini. Buku demi buku sudah habis dibaca oleh Alana, Alana mendengar suara berisik di lantai bawah. Alana membuka pintu kamarnya dan menyaksikan kedua orangtua sedang beradu mulut.

"Ini yang kamu lakukan selama ini. Apa nggak cukup uang yang aku cari selama ini!," ucap Riffan, Papanya Alana.

"Uang kamu hanya sedikit dibanding dia. Kamu Cuma bisa kasih kebutuhanku tapi tidak untuk kemewahan," ucap Siska.

"Tapi setidaknya kita tidak kelaparan seperti gelandangan," ucap Riffan.

"Tapi nggak cukup Cuma itu saja. Aku ingin seperti teman-temanku yang setiap minggu selalu beli tas mahal, yang setiap bulan selalu liburan dan apa kamu bisa kasih aku semua itu. NGGAKKK!!! Kamu Cuma bisa kasih aku makan, pakaian dan tempat tinggal," ucap Siska.

"Sekarang apa mau mu kalau aku tidak bisa memberikan apa yang kamu mau," ucap Riffan.

"Aku mau kita CERAAAAI," Alana tak tahan untuk membendung airmatanya saat ia mendengar orangtua sebentar lagi akan cerai.

"Apa kamu sadar apa yang katakan!!!," bentak Riffan.

"Aku sadar sesadar-sadarnya. Aku ingin cerai darimu. Dan aku ingin hidup dengan laki-laki pilihan ku," Siska belari kekemarnya dan keluar sudah membawa koper yang berisi baju dan barang-barangnya. Alana segera turun untuk menghampiri orangtuanya, sebisa mungkin untuknya agar tidak menangis.

"Papa," ucap Alana.

"Alana," Alana segera berlari menghampiri Riffan.

"Mama mau kemana pa?" Riffan hanya diam.

"Aku tunggu surat dari pengadilan," ucap Siska. Alana segera menghampiri Mamanya bermaksud untuk menahan agar jangan pergi.

"Mama mau kemana?" tanya Alana dengan airmata yag sudah jatuh kepipinya.

"Mama mau pergi Lan, Mama nggak sanggup lagi harus tinggal sama Papa kamu," ucap Siska sedangkan Riffan hanya diam.

"Tapi Ma, kenapa Mama ninggalin aku?" tanya Alana dalam tangisan.

"Kamu masih bisa telpon Mama dan kita masih bisa bertemu," bujuk Siska.

"Tapi Ma..." ucap Alana terpotong.

"Sudah Alana, biarkan Mama mu pergi dengan laki-laki lain. Papamu tidak bisa memberikan kemewahan," ucap Riffan dan Alana berhenti menahan Mamanya.

Siska segera keluar dan masuk ke dalam mobil yang mewah yang sudah menunggu dari tadi. Alana hanya menangis di pelukan Papanya.

"Sudah Lan, kita cukup tinggal bertiga sama adikmu," ucap Riffan.

"Tapi bagaimana bisa Erix menerima kepergian Mama Pa," ucap Alana di sela tangisannya.

"Adik kamu udah terbiasa tanpa Mama kamu. Mama kamu udah terlanjur sering meninggalkan adik kamu sendiri di rumah dan hanya bibi yang menemaninya setiap hari," Alana hanya diam.

"Kamu kembali ke kamar kamu. Jangan pikirkan soal ini. Jangan sampai ujian tengah semester kamu terganggu," ucap Riffan dengan tegarnya.

"Iya Pa," Alana segera naik kekamarnya.

***

Alana [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang