15

11.2K 2.2K 338
                                    

Renjun terlihat senang waktu Jeno kembali ke kost-nya dengan kabar soal Jaemin mengiyakan untuk bantu-bantu.

"Baguslah!" Katanya, hanya sebatas itu, lalu bertanya, "Jadi kenapa wajahmu seperti itu?"

"Seperti apa?" Jeno langsung merasa ingin mencari cermin di sana, ingin melihat wajah seperti apa yang sedang ia tunjukkan.

"Yah... Kamu terlihat lelah sekali. Ada apa?" Renjun masih terus bertanya, berkesan yakin kalau Jeno ini memang terlihat berbeda dari sebelumnya. Kalau memang ada apa-apa, sebenarnya Renjun akan merasa bersalah, mengingat yang membuat Jeno menemui Jaemin adalah Renjun sendiri.

Jeno tidak begitu merespon. Dia hanya mengendikkan bahu sambil berlalu melewati Renjun, dan langsung ke kamar mandi.

"Jeno?" Renjun masih memanggil pada Jeno. "Tadi Jaemin bilang apa saja? Kalian sudah kenal sebelumnya kan?"

Hah. Jeno dari dalam kamar mandi, sedang membasuh muka (karena dikomentari Renjun), langsung meneguk ludah. Renjun tahu soal mereka kenal? Dan bukan sebatas teman fakultas?

"Tadi aku sempat chat sama Jaemin, terus dia bilang kalian dulu pernah satu divisi buat acara angkatan... Aku kira kalian bakal banyak ngobrol."

Satu divisi acara angkatan. Entah kenapa, ada perasaan lega dalam diri Jeno waktu tahu hanya sebatas itu yang Renjun dengar. Padahal, ada cerita lagi selain itu.

Tapi apa Renjun butuh tahu? Tidak tahu juga. Tapi yang Jeno mengerti di situ, dia butuh sesuatu dari Renjun, yang sesuatu itu tidak dapat Jeno katakan secara gamblang.

"Kenapa?" Renjun mendongakkan kepalanya pada Jeno yang tiba-tiba menghadap padanya, dengan Renjun duduk di tepi tempat tidur, sementara Jeno berdiri di depannya.

Jeno tidak menjawab. Dia hanya menatap sendu Renjun.

Renjun yang sama sekali tidak mengerti, hanya diam, menunggu instingnya berkata untuk merentangkan kedua tangan. "Peluk?"

Jeno tidak menghabiskan waktu lama untuk mendekat tanpa mengiyakan.

Renjun sempat terhenyak. Dia tadi menawarkan untuk memeluk, bukan dipeluk. Tapi lihat. Jeno yang sekarang justru memeluknya.

"Kenapa sih? Pasti ada apa-apa deh." Renjun menepuk-nepuk punggung Jeno yang masih enggan bicara. "Untung Chenle udah tidur. Kalo belom pasti dia bakal ikut nyempil di tengah, ikut peluk-peluk."

Percaya atau tidak, Jeno masih bisa membalas celetukan Renjun dengan tawa samar-samar. Suara tawa Jeno yang menggelitik telinga itu membuat Renjun ikut tersenyum.

Untuk beberapa saat, Jeno masih tidak melepas pelukannya. Renjun juga terus mengajaknya bicara, tanpa sedikitpun gestur mengusik.

"Jeno, sepercaya apa kamu soal Tuhan?" tanya Renjun, dengan topiknya yang kesekian. "Di kalangan temanku, ada yang tidak percaya Tuhan. Katanya, itu karena hidupnya susah tanpa support ayahnya yang pemabuk keras, yang akhirnya hanya jadi beban keluarga. Dia percaya, kalau memang Tuhan ada, pasti hidupnya tidak akan semenyedihkan itu."

Jeno tidak tahu kenapa Renjun tiba-tiba memulai topik sebegini beratnya kalau memang niatnya adalah untuk menenangkan Jeno. Tuhan. Jeno hanya menjawab dalam hati, bahwa dia percaya Tuhan itu ada. Tapi sayangnya, dia tidak percaya dia ini termasuk orang yang akan mendapatkan pertolongan Tuhan.

"Aku, aku percaya Tuhan. Aku percaya Tuhan selalu menjawab doaku."

Selain bisikan lembut Renjun, yang terdengar di sana hanya napas. Napas dari mereka yang saling memeluk, lalu napas dari Chenle yang tertidur.

Jeno membuka mulutnya, "Apa doamu baru-baru ini?" Karena rasa percaya Renjun ini lagi-lagi jadi satu hal baru yang akan dia kagumi mulai sekarang.

"Doaku, aku ingin satu lagi alasan untuk tetap hidup," jawabnya.

Pikirannya tertuju pada saat dia pertama kali memegang pisau dan mengarahkannya pada pergelangan tangan. Dia tahu waktu itu dia butuh bantuan. Dan bantuan yang dia harapkan pertama adalah dari Tuhan.

"Tapi kau tahu? Tuhan justru memberiku dua."

Jeno melepaskan peluknya. Dia ingin melihat bagaimana ekspresi Renjun saat ini, setelah membuatnya penasaran soal dua alasan yang dia dapatkan.

"Sekarang, yang kuingat pertama tiap kurasa ingin membuang semua yang aku punya, itu Chenle," dia menjeda, hanya untuk mencubit hidung mancung Jeno yang menurutnya sekarang ini terlalu serius.

"Kamu ingin membuang Chenle?"

"Hah? Bukan!" Dia memukul pelan punggung Jeno, sambil memikir-mikirkan lagi soal kata-katanya tadi. "Maksudku, tiap aku ingin mati, aku akan berusaha mengingat Chenle. Ada Chenle yang masih butuh aku ---ah, tuh kan! Aku jadi bilang 'mati'!"

Jeno tertawa miris. Bahkan kata 'mati' akhirnya keluar. Padahal selama ini Renjun sendiri menganggapnya tabu di antara mereka. Untuk itu, Jeno menciumi pucuk kepala Renjun untuk minta maaf. "Kamu hanya ingat Chenle?" Katanya. "Aku? Kamu tidak ingat aku?"

Renjun menggeleng. "Kamu salah satu alasanku tetap hidup sekarang. Alasan kedua." Dia menjawab. "Tapi aku tidak merasa kamu butuh aku. Jadi aku tidak ingat kamu seperti aku ingat Chenle."

"Apa-apaan itu? Aku juga butuh kamu. Mungkin lebih dari Chenle butuh kamu."

"Bohong." Dia tertawa. Karena memang pada dasarnya dia tidak percaya. "Buktinya?"

"Buktinya aku masih memelukmu sampai sekarang."

Itu buktinya? Boleh. Renjun tidak keberatan. "Kalau begitu, mulai sekarang, aku juga bakal ingat kamu seperti aku ingat Chenle."

Jeno tidak percaya ini tapi dia juga sebenarnya masih terlalu sadar soal hubungannya dengan Renjun yang jatuhnya masih orang asing. Belum ada setengah tahun mereka kenal. Tapi dia juga tidak bohong waktu ditanya lagi oleh Renjun, "Apa sekarang kamu sudah merasa lebih baik?", lalu dia menjawab, "Iya. Terima kasih."

Renjun membuatnya merasa lebih baik.

.
.
.
Tbc.

A/n. Tidak kubaca ulang ia males wkwk.

Menurut kalian
Ini ceritanya bakal ke arah mana? 👀

[✓] decathect ; norenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang