104

3.6K 623 156
                                    

Renjun menangis semalaman. Kalau kalimat ini membuat kalian ingin mengatai Renjun cengeng dan lemah, kuharap kalian simpan itu saja dalam kepala, dan lakukan segala apapun yang bisa dilakukan supaya Renjun tidak tau itu.

Jeno sudah berusaha menenangkannya, menenangkan tangisan Renjun yang tak bisa reda. Atas kata-kata Yuta, Winwin pun juga tidak banyak bicara untuk membantu membuat Renjun merasa lebih baik. Katanya, sambil menyiapkan secangkir susu madu hangat dan sepiring kue kering, lebih baik biarkan Renjun menangis dulu tanpa ada yang mengganggu. Oh, Winwin juga sempat bilang, kalau Jeno meminta restu darinya, Winwin sudah memberikan dari saat Renjun bilang Jeno-lah yang berhasil membuatnya ingin pulang lagi ke rumah.

Ada juga Chenle, yang begitu mendengar Renjun menangis dari halaman belakang langsung siap melesat kalau tidak Winwin yang menahan. Dan soal omongan Winwin untuk membiarkan Renjun sendiri, Chenle akhirnya tidak mendengarkan. Chenle terus ada di kamar Renjun, sepertinya juga menjalankan perintah Jeno untuk terus mengingatkan Renjun tetap menjaga minumnya.

"Benar tidak apa-apa begini?" Tanya Jeno saat pagi datang dan Winwin memintanya membawakan sarapan untuk Renjun juga Chenle. Winwin balas bertanya apa yang dimaksud Jeno dengan 'begini'. "Membiarkan Renjun menangis sendiri dalam kamar...."

Winwin tersenyum. "Tidak apa-apa. Jarang-jarang Renjun bisa menangis sekencang itu. Dia biasanya malu-malu menunjukkan emosi di depan kami...." Tangannya menyusuri lengan lainnya tanda dia sebenarnya gelisah. "...lagipula, ini bukan yang pertama dia merenung sendiri di kamar... Seharusnya tidak apa-apa...."

Jeno tidak mengerti, sebenarnya. Menurutnya, ada batasnya untuk seorang orangtua membebaskan anaknya. Juga, dia sebenarnya sudah mengira akan diberi banyak pertanyaan mengenai Renjun ke depannya sebagai jaminan dia tidak akan menelantarkan Renjun di tengah jalan, walaupun bukan berarti dia ada rencana begitu.

Dan, tolong, jangan lupa. Renjun belum menjawab lamaran Jeno tadi malam. Restu Winwin memang sudah ia dapatkan, tapi restu Yuta turunnya bersamaan dengan jawaban 'iya' dari Renjun.

Winwin sempat mengingatkan lagi untuk tidak terlalu banyak mencampuri pikiran Renjun saat ini, tapi Jeno pada akhirnya hanya mengiyakan. Jeno akan minta maaf nanti pada calon mertuanya juga. Untuk larangannya yang pertama itu, Jeno sudah akan melanggarnya.

"Renjun?" Jeno memanggil seraya membuka perlahan pintu kamar Renjun yang sudah coba dia ketuk berkali-kali tapi tidak ada yang menjawab. "Renjun? Lele? Tidur semua?"

"Sst." Ada yang bersuara pelan. Jeno mencari-cari, tapi tidak lama sampai bisa dia lihat Renjun yang terduduk di kasur dengan punggung bersandar pada dinding. Di sebelahnya, ada Chenle yang memeluki pinggangnya. "Chenle baru bisa tidur. Jangan berisik."

Oh. Jeno langsung mengunci mulutnya, juga menutup pintu kamarnya. Dalam keadaan tidak terlalu mengerti kenapa dalam kamar lagi-lagi dia malah melihat keadaan yang bisa disalahartikan sebagai Chenle merajuk, dia tetap mendekat dan bicara dengan suara yang dia usahakan sepelan yang dia bisa, "Makan dulu. Mamamu sudah menyiapkan sarapan untuk kalian berdua."

Renjun mengusap rambut yang menutupi kening Chenle, "Nanti saja. Aku tidak lapar."

Jeno simpan nampan yang ia bawa di meja belajar, lalu duduk di kursi dekat kasur tempat Renjun duduk memangku Chenle. Jeno mulai memikirkan lagi dalam diam perihal niatnya tadi untuk melanggar larangan Winwin. Tapi sekarang dia jadi bingung sendiri. Dia kira, Renjun masih menangis. Dia sudah menyiapkan kata-kata yang sekiranya akan sedikit berpengaruh, tapi itu semua skenario yang akan berjalan kalau Renjun masih dalam keadaan menangis terlepas dari Chenle ini dalam keadaan bangun atau tidak. Tidak mungkin kan sekarang Jeno sampai sengaja membuat Renjun menangis lagi supaya dia bisa kembali ke rencana awal dengan kata-kata yang sudah ia susun sedemikian rupa?

[✓] decathect ; norenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang