31

9K 1.7K 401
                                    

Mereka di sana untuk bicara. Bicara banyak hal yang selama ini sudah mereka kesampingkan secara tidak sengaja, sehingga sekarang rasanya semua jadi beban yang terus menumpuk dan akhirnya memberatkan.

Tapi keduanya ini memang tidak biasa dengan suasana tegang. Jeno bilang dia tidak akan mulai bicara kalau Renjun tidak makan terlebih dahulu.

"Kamu kan belajar soal bagaimana tubuh bekerja. Harusnya kamu tau kalau kamu tidak makan tapi terus memaksa tubuhmu bekerja, itu artinya kamu menyiksa diri sendiri. Bagaimana sih?" Kata Jeno soal buku-buku Renjun yang tumben-tumbennya berserakan di meja, padahal biasanya di lantai.

Renjun hanya memajukan bibir seraya tangannya sibuk mengaduk-aduk makanan yang dibawakan Jeno untuknya. Kata Jeno, walau sedikit, yang penting makan. Dan jujur, Renjun sedang tidak bisa menerima banyak makan dalam perutnya. Jadi setelah tiga sendok, yang dia lakukan hanya mengaduk-aduk asal.

Jeno tentu sadar itu tapi ya dia memang tidak bisa memaksa. Dia hanya duduk di kursi sambil melihat-lihat sedikit buku Renjun, sementara Renjun sendiri duduk di kasur. "Ngomong-ngomong, Chenle mulai belajar lusa. Aku sudah kasih kontak gurunya kan? Dia teman ibuku."

Renjun mengangguk. Dia juga sudah sempat bertukar pesan dengan gurunya ini, yang isinya kira-kira permintaan tolong dan ucapan terima kasih.

"Lalu karena kamu sibuk dan aku juga, aku minta Jaemin menjaga Chenle dulu di tempatnya. Tapi lusa di fakultasku dan Jaemin ada acara. Kamu bisa antar Chenle ke tempat gurunya kan lusa?"

Lusa? Bisa. Lusa itu kebetulan satu-satunya hari di mana Renjun kuliah tidak sepagi biasanya. Kalaupun memang dia kuliah pagi, dia pasti akan tetap mengusahakan apapun asal Chenle bisa dijaga.

Tapi pada pertanyaan Jeno itu, Renjun tidak membalas cepat walaupun jawabannya sudah jelas.

"Kenapa?" Tanya Jeno, menyadari bagaimana Renjun telat membalas. Dia memang ingin melihat bagaimana Renjun bereaksi karena dia menyebut nama Jaemin pun bukan tanpa alasan. Jaemin ini akan jadi salah satu topik utama mereka. "Kamu terganggu soal Jaemin?"

Terganggu?

"Jaemin itu temanku, lho? Kenapa kamu bertanya begitu?" Renjun menilik, tapi tidak melihat tepat ke mata lawan bicaranya.

Jeno terkekeh, sadar benar bagaimana Renjun sebenarnya mengalihkan pembicaraan. "Terganggu soal teman sendiri juga normal, tau. Pertanyaanku bukan pertanyaan aneh," katanya, lalu melipat tangan sebagai tumpuan dagunya. Dia melirik pada Renjun dengan tatapan yang sedikit usil, "Aku bertanya begitu karena memang Jaemin terlihat tau sesuatu soal apa yang kita alami sekarang ---ingat soal om Mark yang disebut Chenle? Kurasa, Jaemin mengenalnya."

Mendengar lagi soal om Mark yang beberapa hari lalu dia dengar dari Chenle sebagai orang yang dapat membuatnya marah, Renjun tanpa sadar menggenggam tangannya lumayan erat.

Renjun sudah coba memikirkan berbagai kemungkinan darimana sekiranya dia bisa dapat kenalan dengan nama yang sangat tidak familiar macam Mark. Tapi bahkan setelah rasanya isi kepalanya sangat keriting dan tidak berujung lagi, dia masih merasa buntu.

Dan sekarang Jeno bilang, Jaemin, teman sekolahnya ini kemungkinan tau siapa om Mark?

"Tapi kamu jangan mengira Jaemin macam-macam dulu. Walaupun kemungkinannya besar, tapi itu belum pasti. Dan kalaupun memang dia kenal, bukan berarti secara otomatis mereka penyebab Chenle sampai bisa ke sini kan?"

Renjun mengernyit. "...tapi aku tidak mencurigai Jaemin sejauh itu."

"Oh ya? Lalu apa?"

Ya ampun. Jeno bertanya dengan tampang tidak mengerti sama sekali. Renjun ingin sekali mengusak kasar wajah Jeno sambil berharap itu bisa membuat Jeno lebih paham, lebih peka.

Tapi Jeno benar-benar setidak peka itu. Dia terus memaksa Renjun untuk menjelaskan apa yang dia curigai dari Jaemin. "Ayolah, aku bukan peramal. Aku tidak bisa menebak-nebak."

Lalu? Dia benar-benar berharap Renjun akan menjabarkannya? Haha. Dia pikir Renjun akan melakukan itu?

Iya.

"Aku takut Jaemin akan membawamu pergi."

Renjun benar-benar menjawab dengan jelas. Walaupun dia tidak menatap langsung pada Jeno, tapi dia bicara dengan jelas tanpa sedikitpun gestur menutup-nutupi.

Jeno terdiam. "Membawaku pergi? Dari mana? Ke mana?"

"Membawamu pergi," jawabnya. "...Ke mana saja, jauh dariku."

Membawa Jeno pergi dari Renjun. Jeno baru kali ini mendengar jenis ketakutan macam itu.

Takut ditinggalkan olehnya? Memang siapa Jeno? Jeno itu kan bukan siapa-siapa, jadi kenapa Renjun harus takut ditinggal dia?

"...aku bukannya suka kamu atau bagaimana, tapi... Ya... Entahlah." Renjun meringis, apalagi waktu dia lihat Jeno tidak berkata apapun. "Cuma, ya... Kita menikah kan, nanti? Beberapa tahun lagi? Jadi aku rasa, aku sepertinya jadi sedikit melihatmu sebagai... Yah, milikku? Mungkin?"

"Bukannya katamu, ikuti saja alurnya? Maksudnya, ya... Kita tidak perlu terpaku dengan apa yang mungkin terjadi di masa depan kan? Cukup jalani saja sebagaimana harusnya?"

Jeno ingat jelas apa yang Renjun katakan padanya waktu itu untuk mengikuti saja alurnya. Mentang-mentang katanya di masa depan mereka akan menikah, bukan berarti sekarang mereka jadi harus mulai pacaran dan segala macamnya padahal mereka sama-sama belum ada perasaan. Ikuti saja alurnya. Kalau memang mereka pada akhirnya jatuh cinta, mereka menikah. Kalau tidak, ya sudah. Seperti itu.

Semua itu Renjun yang katakan. Tapi sekarang Renjun seakan melawan kata-katanya sendiri dan menjadikan masa depan mereka sebuah patokan. Kontradiksi. Renjun ini kontradiksi.

Itu yang Jeno pikirkan sebelum akhirnya meyakinkan diri sendiri kalau Renjun bukan orang yang seperti itu.

Bukan hal sulit untuk berpikir begitu pada akhirnya waktu dia lihat bagaimana Renjun masih membuang muka.

Renjun lah yang pertama bilang untuk mengikuti alurnya. Berarti kemungkinan besar dia juga lah yang sedang mengikuti, atau malah terseret, terlalu kencang, dan terbawa menjauh.

Dengan suara pelan tapi jelas, Jeno bertanya, "...kamu mulai melihatku lebih?"

Melihatnya lebih. Pertanyaan yang bisa diartikan ke arah lain, tapi Jeno tetap bertanya seperti itu pada Renjun yang mengerutkan kening dan menggigit bibir, "...maaf," katanya. "Aku tidak sengaja ---aku tidak sengaja jadi berharap lebih padamu."

Biasanya, Jeno akan mengusap kepala Renjun. Tapi kali ini tidak. Dia hanya diam, memerhatikan Renjun dengan tampang datar dan sedikit rasa bersalah.

Bersalah, karena dia tidak melihat Renjun dengan perasaan yang seperti itu.

Jeno adalah orang baik. Renjun tau itu, sehingga kalau dia sekarang berharap agar Jeno menanggapi permintaan maafnya dengan lebih mendalam, itu bukan salahnya. Itu hal normal.

"...maaf."

Dan untuk merasa kecewa pada Jeno yang hanya meminta maaf karena tidak bisa membalas apapun yang dilihatnya dalam diri Jeno, itu juga bukan salahnya. Itu juga hal yang sama normalnya.

Ah. Renjun yang penuh penyesalan. Pernyataan cintanya yang pertama ternyata sesingkat dan semenyedihkan itu.

.
.
.
.

Tbc

[✓] decathect ; norenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang