111

3.8K 560 85
                                    

"Oh... Jadi, di masa depan juga Chenle bukan anak dari kehamilan pertama...." Mark menganggukkan kepala mendengar penuturan Haechan dari balik layar komputernya. "Berarti, bisa dibilang kita belum kehilangan siapa-siapa, kan? Selain orangtua Renjun sendiri. Aku sempat kaget, kukira di masa ini Chenle tidak akan lahir."

Haechan mengangkat bahunya. Dia merasa gugurnya anak pertama Renjun juga harusnya masuk sebagai 'kehilangan'. Mungkin Mark tidak tau, tapi Haechan di masanya berasal juga sempat menjadi salah satu dari sekian orang yang menunggu-nunggu kelahiran anak pertama Jeno dengan Renjun. Jelas jika dia mendengar berita duka untuk yang kedua kali ini masih bisa membuatnya meringis.

Tapi ya, kalau Mark hanya ingin menghitung orang-orang yang pada dasarnya pernah dia kenal, Haechan bisa apa? Dia memang mengenal Mark adalah orang yang seperti itu. Lagipula, Haechan juga sedikit banyak sudah mengira tidak akan ada banyak hal yang berubah walaupun ada intervensi dari berbagai arah.

Saat ini, Mark dan Lucas sudah kembali ke Korea. Sesegera kabar duka jatuhnya pesawat ke laut bersamaan dengan datangnya telfon dari Jaemin yang menyuruh cepat pulang, mereka juga langsung berkemas. Suara Jaemin yang benar-benar mendesak itu tidak bisa dilawan Mark ataupun Lucas sama sekali.

"Cepat pulang!! Orangtua Renjun ada di daftar penumpang pesawat yang jatuh!!" Kata Jaemin di telfonnya dengan Mark. "Jasadnya belum ditemukan sampai sekarang, dan emosi Renjun benar-benar membahayakan kandungannya...—"

"Kandungan? Siapa yang hamil?" Benar, mereka yang ada di Kanada tidak tahu menahu tentang kehamilan Renjun.

"Renjun, kak! Renjun hamil dan sekarang sudah enam bulan! Ya, sudah selama itu kalian pergi sampai tidak tau apa-apa!" Lalu sambungan telfon terputus dengan Jaemin sama sekali tidak menyebutkan keadaan yang seperti apa yang saat ini Renjun alami tepatnya.

Tidak seperti yang semua orang bayangkan. Renjun tidak menangis meraung-raung. Dia berhari-hari hanya duduk diam di teras depan. Tidak merespons sama sekali terhadap apapun yang harusnya menarik atensinya. Tidak pada panggilan orang, tidak pada suara tawa anak kecil yang lewat depan rumah, ataupun pada bujukan Jeno untuk tetap makan dan istirahat. Ya, Renjun tidak mau makan. Duduk diam dengan pandangan yang jauhnya siapapun tak ada yang tau.

Keadaan Renjun mengkhawatirkan. Semua orang yang peduli langsung berkunjung ke rumah, merasa Renjun tidak bisa dibiarkan sendiri untuk saat ini. Doyoung dan Jaehyun ketika diberi kabar juga langsung melesat ke kota asal Renjun dengan bawaan yang dipersiapkan untuk menetap lumayan lama.

Tapi Renjun menolak semuanya. "Aku ingin sendiri." Dan terus begitu. Sampai akhirnya dia benar-benar sendiri karena nyawa kecil yang ada dalam perutnya juga sudah pergi.

Yang paling merasa terpukul selain Renjun dan Jeno sendiri, mungkin orangnya adalah Doyoung. Melihat bagaimana Jaemin terus menemani Renjun di saat Renjun bahkan menolak Jeno mendekat, dia tidak bisa untuk tidak teringat pada waktu itu saat dirinya memeluk Ten yang juga sehabis ditimpa bencana yang sama. Semua yang terjadi saat ini seperti sesuatu yang terus terulang kembali.

Selama beberapa hari Renjun tidak bisa diajak bicara. Begitu Renjun terlihat sudah membaik dan semua lega, pemberitahuan bahwa jasad orangtuanya sudah diketemukan datang langsung membuat keadaan menegang lagi.

Renjun, matanya bengkak, tapi masih bisa terus mengalirkan airmata yang semua orang dapat mengerti alasannya. Ditemani Jeno dan Jaemin, dia terus menyalami orang-orang yang datang mengucap bela sungkawa.

"Turut berduka, nak... Kami juga sama sekali tidak menyangka hal ini...," Renjun mendengar kalimat ini dari banyak tetangganya yang datang. "Papa dan mamamu orang baik. Tuhan juga rupanya sudah ingin memangku mereka lagi. Ikhlaskan ya, nak?"

[✓] decathect ; norenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang