Keesokan paginya, rencana yang telah disusun Renjun untuk sarapan harus sedikit berubah.
"Ma, aku kan sudah bilang kemarin---"
"Ayolah, kapan lagi papamu ada mood masak pagi-pagi?" Balas mamanya sambil terus menata meja. "Kamu kan kemarin cuma bilang ke mama. Kalo mama sih, boleh-boleh aja kalian nyari makan di luar. Tapi papa tadi pagi tiba-tiba bilang pengen masak sarapan buat kalian berdua, jadi yaudah, turutin papa ya? Sekali ini aja kok, biar papa kamu seneng."
Renjun merengut. Padahal dia sudah membangunkan Jeno pagi-pagi untuk bersiap, juga sudah memandikan Chenle dan segala macamnya. Padahal, kalau memang ujungnya sarapan di rumah, mereka tidak perlu serapi itu dari pagi.
Renjun beralih pada Jeno yang kakinya sedang dipeluki Chenle. "Jen, maaf ya. Kayaknya kita makan di rumah."
Jeno menggelengkan kepala. "Maaf kenapa? Aku penasaran masakan papamu, lho." Dia tertawa. "Lagian, kita masih bisa mampir kok setelah sarapan. Santai aja."
"Tuh, Jeno-nya juga gak keberatan. Ayo, sini duduk. Papa lagi semangat nih! Masakannya rame!"
Renjun menghela napas. Masakan macam apa yang rame, coba?
"Selamat pagi, tuan-tuan semua. Waktunya sarapan!" Papa Renjun datang dengan membawa nampan berisi... Stew?
"Papa! Kok stew buat sarapan!!"
Dirprotes anak satu-satunya tidak membuat si papa merajuk. Dia hanya tertawa dan menghampiri istrinya setelah meletakkan nampan di meja. "Mamamu ini ribut dari pagi. Katanya, hari ini rasanya lebih dingin dari biasanya. Jadi papa rasa, stew untuk menghangatkan badan bukan ide terburuk!" Katanya, yang terdengar seperti pembelaan. "Ya kan? Winwin-ie."
Si mama yang tengah dirangkul papa jadi tertawa geli. "Apa sih, Pa? Nanti aku yang kena protes."
"Protesnya Renjun mah nggak usah didengar. Dia hanya sedang ingin pamer ke keluarga kecilnya yang baru ini soal tempat-tempat di sekitar rumah."
Renjun mukanya sudah sangat memerah, antara kesal dan malu karena ulah papanya yang benar-benar disengaja. Jeno juga tidak tahu harus bicara apa sampai akhirnya mereka bisa mulai makan.
"Hm? Ini enak," kata Jeno setelah suapannya yang pertama. Dia bisa merasakan tubuhnya yang semalam menggigil langsung menghangat.
"Iya, sebenarnya ini untuk Jeno. Jeno tidur di ruang TV kan?" Mama Renjun menanggapi, senada dengan papa yang terkekeh bangga. "Pasti dingin sekali kan tidur di luar seperti itu?"
"Tidak terlalu kok, tante. Saya soalnya sudah pakai jaket dan selimut dari Renjun----"
"Aku sudah bilang supaya dia tidur di kamar! Tapi dia memaksa! Katanya aku saja yang tidur di kamar...."
Jeno menoleh pada Renjun di sebelahnya yang juga sambil menyuapi Chenle. "Kan aku sudah bilang, mana mungkin aku membiarkanmu tidur di luar."
"Apanya yang tidak mungkin? Kan di sini kamu yang tamu!"
"Ya tapi---"
"Hei, sudah, sudah! Jangan berdebat di meja makan!" Mama menengahi. "Maksud mama, kenapa tidak dua-duanya saja di kamar? Memang bertiga tidak cukup? Kasur Renjun kan luas!"
Bertiga?
Renjun dan Jeno saling melempar pandang. Dalam kepala juga terdengar satu kata tadi. Bertiga.
"Masa bertiga sih, ma!" Renjun memprotes, lagi. "Jeno mana mau!"
"Ah? Masa sih?" Mamanya tertawa lalu menoleh pada si papa, minta pendapat.
"Jeno, kamu keberatan memang kalau semalam tidur bertiga? Padahal enak, kamu nggak perlu kedinginan kayak gitu."
Jeno tertawa yang terdengar sedikit dipaksakan. "Bukan keberatan juga sih... Tapi aku kira Renjun yang justru tidak mau---"
"Ah, mana mungkin. Renjun itu kadang masih suka ditemani tidurnya," kata mama sambil tertawa. "Kelakuannya masih seperti itu, jadi tidak aneh kan kalau papanya sampai sekarang masih sangat protektif?"
Jeno mengerjap. "Oh, Renjun tidurnya masih---"
Renjun memerah. Apalagi waktu dia lihat Jeno sempat menahan tawanya. "Mama, ah!!" Teriaknya sambil berharap itu bisa membuat mamanya berhenti menggodanya, yang mana malah jadi makin kelihatan senang.
Inilah salah satu alasan kenapa Renjun ingin secepatnya membawa Jeno pergi dari rumahnya. Mulut mamanya ini sangat tidak tahu kapan saatnya berhenti membeberkan rahasia-rahasianya.
.
.
.
.Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] decathect ; noren
FanfictionJeno yakin dirinya adalah lelaki baik-baik. Dia selalu mendengarkan kata-kata orangtuanya untuk tidak memperlakukan orang sembarangan. Kalaupun pada akhirnya dia melanggar, dia tau dia harus bertanggung jawab. Makanya waktu tiba-tiba ada anak kecil...