93

3.7K 737 55
                                    

Kemarin, Renjun bilang, dia hari ini tidak ada kelas. Tidak ada juga praktikum. Jadilah dia bilang kalau dia ingin menginap di kost Jeno bersama Chenle juga setelah sekian lama mereka tidak menghabiskan malam bertiga.

"Juga, aku merasa akan sakit dalam waktu dekat ini. Di praktikum baru-baru ini aku sempat oleng sampai aku kena suntik bakteri yang lumayan bahaya...," Katanya, saat Jeno sempat terlihat terkejut mendengar Renjun kali ini bicaranya terang-terangan. "Kata dosen, selama aku berjaga-jaga agar sistem imunku tetap bagus, aku tidak akan sakit. Tapi ya, namanya jaga-jaga, lebih baik aku di sini saja sama kamu supaya di skenario terburuk ternyata aku memang jadi sakit, aku bisa minta kamu antar aku ke rumah sakit. Ya kan?"

Jeno sempat terdiam. Mengantar Renjun ke rumah sakit? Jeno akan lakukan itu walaupun misalnya Renjun tidak sedang menginap di kamarnya. Andai kata, Renjun mengeluh sakit saat Jeno sedang di cabang kampusnya di kota sebelah, Jeno tau dia pasti juga akan langsung melesat pulang tanpa pikir panjang. Jadi, tidak ada hubungannya sama sekali soal Renjun menginap, maka Jeno bisa diminta mengantar ke rumah sakit tanpa merepotkan.

"Apakah menular? Maksudku, di sini ada Chenle... Dan aku tidak begitu yakin soal imunnya."

Renjun menggeleng. "Tidak, kok. Selain aku belum pasti sakit, ini tidak akan menular. Memang anak kecil lebih rentan, tapi yang bisa aku bilang ya infeksi yang seperti ini tidak akan menular. Tenang."

Jeno mengangguk perlahan sebelum mengenakan jaket jeans-nya. Ngomong-ngomong, dia ini sedang bersiap ke kelas. Mendengar Renjun saat ini sedang senggang, yang pertama muncul dalam pikiran Jeno adalah Chenle bisa ditinggal dengan Renjun, sehingga dia sendiri bisa datang ke kelas.

"Titip Chenle ya," kata Jeno dengan senyum yang entah kenapa terlihat sedikit memelas. "Dan kalau kamu mulai merasa sakit, cepat hubungi aku biar aku cepat pulang."

"Tidak, ah. Kalau nanti sakit, aku bilangnya pas kamu sudah pulang saja. Aku tidak ingin mengganggu kuliahmu. Sudah, sana berangkat!"

Jeno inginnya masih berkeras untuk membuat Renjun berjanji untuk cepat menghubunginya kalau ada apa-apa, tapi siapapun juga tau Renjun ini juga keras kepala. Jadilah Jeno memutar kepalanya, berusaha memikirkan cara lain yang kira-kira bisa diiyakan, "Oh, kalau begitu, hubungi orangtuamu! Tante Winwin, atau Om Yuta!" Kata Jeno pada akhirnya. "Kalau kamu tidak ingin menelfonku, ya sudah, telfon orangtuamu. Mereka tidak akan langsung ke sini sih, tapi mereka pasti lebih tau harus menyuruhmu melakukan apa."

Menelfon Winwin dan Yuta? Jujur, Jeno pikir itu memang adalah ide terbagus. Mereka mungkin memang tidak akan berkunjung untuk menjenguk, tapi Jeno yakin mereka pasti akan langsung memberitaunya supaya cepat pulang. Walaupun nantinya Renjun menolak untuk menelfon sendiri, pasti Yuta akan langsung menghubungi Jeno tanpa pertimbangan lain.

Renjun tertawa pelan setelah sempat diam sejenak, "Iya, iya! Aku bakal bilang papa mama! Sudah, ih, nanti kalau telat, pasti aku yang kamu salahkan!"

Jeno kemudian pergi dengan sedikit merasa tak enak, terlebih dia bisa lihat Chenle yang sedang makan bubur pisang di meja belajarnya itu seperti memberikan tampang tidak mau ditinggal —oleh Jeno, tepatnya. Tapi pada akhirnya, Jeno memang harus pergi. Dalam hati, Jeno berjanji setelah ini dia akan membelikan Chenle es krim sebagai ganti.

Tapi sebenarnya juga, Jeno tidak mengerti. Kenapa Chenle jadi tidak terlalu senang kalau ditinggal Jeno? Padahal, Jeno berani pergi karena Renjun ada. Harusnya, Chenle tidak akan merasa sedih atau apapun. Kan, ada Renjun.

"Nah," gumam Renjun setelah pintu tertutup. Dia sisir rambutnya dengan jari, sebelum berbalik dan tersenyum pada Chenle yang menggigit sendoknya. "Kita berdua lagi nih, Le. Hari ini mau apa kita?"

Chenle menelan ludah. Melihat senyum yang seperti itu dari Renjun, Chenle tanpa sadar menarik duduknya menjadi jauh lebih ke dalam kursi putar milik Jeno.

"Kayaknya papa bakal lama lagi. Mau jalan-jalan ke luar? Mall, misal? Mama lagi banyak uang, nih, soalnya!"

Jalan-jalan? Jeno tidak pernah membawa Chenle ke luar selama dia berubah tingkah beberapa hari terakhir. Baru Renjun saja yang mengajaknya.

"Juga ya, karena katanya, dalam keadaan lelah, kita bakal cenderung jadi lebih jujur untuk bercerita apa adanya —makanya ada yang mereka sebut pillow talk. Nah, rencananya, mama mau membuatmu lelah, supaya kamu mungkin bisa tanpa sengaja bicara banyak tentang hal yang ingin mama tau... Jadi, mau kan? Main?"

Ah.

Rupanya, justru malah karena hanya Renjun saja yang ada di sana, Chenle jadi takut ditinggal Jeno.

.
.
.

Tbc

[✓] decathect ; norenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang